Chapter 23

1662 Words
"Mereka tidak mengkhawatirkan aku, mereka mengkhawatirkan Ariella." Wajah Nibras berubah agak canggung, pasalnya suara sang keponakan pasti didengar oleh orang tua dari keponakannya. "Lia, Papa dan Mama kamu juga mengkhawatirkan kamu, kamu adalah anak mereka," ujar Nibras. Wajah Lia kecil tetap terlihat datar, namun dia tidak menolak bicara dengan orang tuanya, Lia kecil menerima ponsel dari Nibras dan mendekatkan ponsel itu di telinga kiri, kemudian dia berkata, "Jika Anda ingin saya mengundurkan diri dari akademi militer, maka saya katakan pada Anda, saya tetap akan masuk akademi militer." Jika dia telah menegaskan kata-katanya, itu berarti tidak ada yang dapat mengganggu gugat keputusannya. "Lia, tidak bisakah kamu memikirkan lagi, kamu ingin menjadi warga negara Perancis ataukah Indonesia?" tanya Eric. "Indonesia," jawab Lia kecil singkat dan jelas. "Lia, kamu benar-benar ingin menjadi tentara?" tanya Eric. "Ya," jawab Lia kecil. "Apa yang membuatmu tertarik hingga ingin menjadi tentara?" tanya Eric. "Keputusan pribadiku," jawab Lia kecil. "Jika saya bertanya pada Anda, apa yang membuat Anda begitu tertarik untuk menjadi diplomat, apa jawaban Anda?" Lia kecil bertanya balik. Beberapa detik sunyi. Eric terlihat memijat pelipisnya, dia terlihat agak stres sekarang. Bermain tanya jawab dengan Lia adalah bukan hal baik. Lia kecil memiliki banyak pengalaman meskipun dia masih muda. "Papa ingin mengabdi pada negara," jawab Eric. "Saya juga ingin mengabdi pada negara. Jadi, silakan Anda mengabdi pada negara Anda dan saya akan mengabdi pada negara saya tanpa perlu mencampuri urusan masing-masing," balas Lia kecil. "Tapi aku adalah Papamu, kami terikat hubungan darah meskipun kamu memutuskan melepaskan kewarganegaraan Perancis," ujar Eric. "Ariella Achtiana Rousseau yang adalah anakmu, bukan aku," balas Lia kecil dingin. "Lia, dengarkan Papa! Papa dan Mama akan ke Indonesia lagi, mari kita bicara baik-baik," ujar Eric. "Oh, seorang duta besar memiliki banyak pekerjaan, tugasnya adalah mewakili pimpinan negaranya di negara lain, namun sepertinya Anda memiliki banyak waktu luang, Tuan Rousseau," balas Lia kecil sarkas. Eric memijat pangkal hidungnya. Jika Lia Kecil mengatakan demikian maka dia tidak ingin melihat kedatangan mereka sama sekali. "Lia, dengarkan Papa, mari kita bicara dengan kepala dingin," ujar Eric. "Ah, Anda tidak lupa kan bahwa Anda tidak dalam kondisi bernegosiasi dengan saya. Yang membesarkan saya bukanlah Anda, Kakek dan Nenek buyut saya yang membesarkan saya," balas Lia kecil. Seketika Eric terdiam. Sesungguhnya dia tidak punya kata-kata lagi untuk membalas ucapan Lia. Benar apa kata Lia kecil, dia besar dalam asuhan kakek dan nenek buyutnya, bukan dalam asuhannya. Tiba-tiba Eric merasa sangat miris, dia memiliki kekuasaan dan kekayaan tapi tak bisa memiliki anak perempuan di sisinya, bahkan dia hanya memiliki kesempatan tiga tahun pertama membesarkan anak perempuan lalu selanjutnya bukan dia lagi melainkan orang lain yang merawat dan membesarkan sang anak. Bushra menoel tangan Eric, dia meminta ingin berbicara dengan anaknya. "Lia, Mama ingin bicara," ujar Eric. Sedetik kemudian telepon berpindah tangan pada sang istri. "Lia, ini Mama," ujar Bushra. Lia kecil hanya diam mendengar, dia tidak ingin terlalu banyak membuang suara dan kata. "Lia, jika kamu ingin menjadi warga negara Indonesia, silakan. Mama setuju, Mama nggak akan larang kamu karena kamu telah dewasa secara hukum. Mama juga tidak keberatan jika kamu memutuskan untuk melanjutkan sekolah di mana saja, silakan, tapi Mama butuh penjelasan kamu. Sayang, coba jelaskan ke Mama, kapan niat kamu muncul ingin masuk akademi militer?" tanya Bushra. "Dua bulan yang lalu," jawab Lia kecil. "Apakah setelah Kakek Agri dan Nenek Lia meninggal?" tanya Bushra. "Aku rasa keluarga di sini telah memberitahu mengenaiku," jawab Lia kecil. "Baik, setelah Kakek Agri dan Nenek Lia meninggal," ujar Bushra. Dia memang tidak dapat berbohong pada sang anak. Ah, dia lupa, yang sedang berbicara dengannya ini bukanlah anaknya, melainkan kepribadian lain dari sang anak. "Coba katakan pada Mama, adakah yang membujukmu agar masuk akademi militer?" tanya Bushra. "Tidak ada," jawab Lia. "Lalu kenapa setelah Kakek Agri dan Nenek Lia meninggal baru kamu ingin masuk akademi militer?" tanya Bushra. Beberapa detik sunyi, bibir Lia kecil ingin terbuka untuk menjawab pertanyaan dari Bushra, namun beberapa detik kemudian dia mengurungkan niatnya. "Tidak perlu tahu," jawab Lia kecil pada akhirnya. Bushra menarik dan mengembuskan nafas agak kasar. "Jika kau khawatir dengan tubuh ini, maka itu tidak perlu. Aku sendiri yang akan menjaga tubuh ini, baik orang lain maupun diriku sendiri tidak akan bisa melukai tubuh ini," ujar Lia kecil. Mata Bushra memerah. "Mama nggak bisa melarang kamu," ujarnya. Suaranya terdengar agak serak menahan tangis. "Tapi jika kamu merasa bahwa pelatihan di akademi militer terlalu keras, kembalilah ke rumah," ujar Bushra. "Aku sudah terbiasa dengan latihan keras, bahkan membunuh musuh pun telah aku lakukan. Katakan padaku, bagian mana di militer yang keras? apakah itu sekeras dari latihan dari para pelatihku?" tanya Lia kecil. "Ya, kamu telah melalui banyak latihan keras. Mama … merasa agak tenang," jawab Bushra. "Jika Anda telah mengerti, maka tidak perlu aku jelaskan lagi. Sampai di sini pembicaraan kita," ujar Lia kecil. Bushra mengangguk. "Kapan kamu akan ke akademi militer untuk melapor?" tanya Bushra. "Dua hari lagi," jawab Lia kecil. "Jika Mama menelpon untuk menanyakan kabar kamu ketika kamu sedang berada di akademi, apakah kamu tidak akan keberatan?" tanya Bushra. "Ingin memastikan agar aku tetap bertahan hidup di sana?" tanya Lia kecil. "Bukan seperti itu, Mama khawatir. Meskipun kamu pernah melalui latihan keras dan berat, namun hati Mama masih tetap khawatir. Kamu adalah anak perempuan satu-satunya Mama dan Papa," jawab Bushra. Beberapa detik sunyi. Lia kecil belum membalas ucapan dari sang ibu. Meskipun ekspresi wajahnya datar, namun itu tidak sedingin biasanya. Nibras yang berdiri tak jauh dari Lia kecil hanya melihat dalam diam. Dia tak punya kuasa dalam mencampuri urusan Lia kecil meskipun dia adalah paman. Apalagi Bushra adalah anak perempuan, yang berhak mencampuri urusan Lia kecil adalah orang tua dari gadis itu. "Satu bulan satu kali," jawab Lia kecil. "Itu terlalu lama, bagaimana jika seminggu sekali? tiap akhir pekan Mama akan menelpon dan menanyakan kabarmu." Bushra bernegosiasi dengan Lia kecil. "Dua minggu sekali atau tidak sama sekali." Lia kecil langsung memberikan pilihan. Terpaksa Bushra mengangguk setuju. Jangan membuat kepribadian ini kesal atau marah, itu tidak baik. "Baiklah," sahut Bushra setuju. "Sampai di sini pembicaraan kita," ujar Lia kecil mengakhiri pembicaraan. "Ya," sahut Bushra. Lia kecil mengembalikan handphone milik Nibras. Setelah itu dia masuk ke kamar dan mengunci pintu. Nibras hanya menatap diam pintu kamar yang tertutup itu. Di kamar Aqlam dan Chana. "Aqlam," panggil Chana. "Ya, Sayang?" sahut Aqlam. Aqlam sedang mengoleskan lotion pada kaki sang istri. Paha putih sang istri terlihat menggoda. "Kamu sudah tahu kan kalau Lia kecil akan masuk ke akademi militer?" tanya Chana. Aqlam mengangguk. "Ya," jawabnya. "Sejak kapan?" tanya Chana. Aqlam yang sedang serius mengusap paha sang istri, kini mendekatkan dirinya lebih dekat. Matanya menatap mata istrinya, kemudian dia menjawab, "Semenjak dia mengirim formulir pendaftarannya ke akademi militer." Ya, tentu saja suaminya tahu. Hal-hal kecil seperti ini pasti sang suami tahu. "Kamu tahu bahwa dia akan diterima di sana?" tanya Chana. "Ya," jawab Aqlam. Aqlam mengendus bau harum kulit betis istrinya, kemudian dia berkata lagi. "Militer tidak mungkin membuangnya, jika pihak militer membuangnya maka lembaga lain akan menerima. Latar belakang keluarga Lia kecil istimewa, selain Papanya adalah pejabat tinggi di pemerintahan Perancis, latar belakang keluarga Mamanya juga tidak kalah istimewa, apalagi pihak militer sekarang banyak keluarga Baqi, Nenek Gea adalah Baqi, meskipun beliau satu-satunya perempuan Baqi yang tak berkarir di dunia pemerintahan dan birokrasi, namun saudara Baqi yang lain adalah kepala staf angkatan darat TNI yang sekarang." Chana mengangguk mengerti. Neneknya juga dari Baqi, dan sang nenek sama sekali tidak berkarir di dunia pemerintahan ataupun birokrasi, sang nenek menghabiskan sisa hidupnya hingga akhir hayat duduk di kursi roda dan menjadi Nyonya Basri. * Lia kecil melihat nomor telepon di layar ponsel. Nama kontak yang diberikan olehnya di nomor telepon itu adalah 'Mas Mailku'. Hampir dua menit dia terus memandangi nomor telepon itu. Lalu dia memutuskan untuk memanggil nomor telepon itu. Perlu beberapa lama untuk menunggu agar panggilan tersambung. Namun sayangnya, pihak di seberang sepertinya belum menyadari bahwa ada panggilan masuk. Hingga hampir akhir panggilan dan Lia kecil merasa bahwa panggilannya tidak akan diangkat oleh orang yang dituju, tiba-tiba suara halus dan sopan dari seorang pria terdengar. "Halo. Ini dengan siapa?" Pria yang bersama Mail mengangkat panggilan telepon. "Mas Mail, ini dengan Lia kecil," jawab Lia kecil. Mail diam selama tiga detik. "Lia, maaf. Mas tidak mengenali nomor teleponmu," ujar Mail. "Tidak apa-apa. Mas Mail, Lia kecil ingin bertemu-" suara Lia kecil terhenti saat dia mendengar suara halus seorang perempuan dari pihak seberang. "Mas, ayo kita pulang," ujar seorang perempuan. "Ya, sebentar, ada yang menelpon," balas Mail. Wajah Lia kecil yang tadinya merona dan tersenyum, kini berubah datar. "Kau sedang bersama perempuan?" tanya Lia kecil. "Ya," jawab Mail. "Kalian sedang apa?" tanya Lia kecil. "Kami makan malam bersama," jawab Mail. "Di mana?" tanya Lia kecil. "Restoran," jawab Mail. "Apakah aku mengganggu?" tanya Lia kecil. "Tidak mengganggu," jawab Mail. "Apakah kalian berdua saja?" tanya Lia kecil. "Ya, hanya berdua," jawab Mail. Beberapa detik sunyi. Mata Lia kecil terlihat agak sayu. "Apakah kamu ingin mengatakan sesuatu?" tanya Mail. "Ya," jawab Lia kecil pelan. "Apa itu?" tanya Mail. "Aku diterima di akademi militer angkatan darat," jawab Lia kecil. "Benarkah? wah! selamat!" ucapan selamat dari Mail. "Ya … um … lusa aku akan melapor ke akademi," balas Lia kecil. "Ya, melapor ke akademi lalu dapatkan kamar," ujar Mail. "Um," sahut Lia kecil. "Mas, ini sudah jam sepuluh malam, besok aku ada jadwal pemeriksaan untuk calon siswa bintara," ujar perempuan di samping Mail. Dua detik kemudian suara Mail terdengar di pendengaran Lia kecil. "Lia, begini dulu yah, aku ingin mengantar Aisyah pulang." Dia ingin mengantar Aisyah pulang, batin Lia kecil. "Ya, silakan," balas Lia kecil. "Mas tutup teleponnya, nanti lain kali kita akan bicara lain jika ada waktu luang," ujar Mail. "Baik," sahut Lia kecil. "Assalamualaikum," salam Mail. "Waalaikumusalam," balas Lia kecil. Klik! Panggilan berakhir. Wajah Lia kecil hanya terlihat datar sambil memandang ke arah layar ponsel. Di layar itu ada foto seorang pria muda dengan balutan pakaian akademi kepolisian tersenyum ke arah kamera. Pria muda itu adalah Ismail Baqi, anak pertama pasangan Daimah dan Alamsyah Baqi. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD