Chapter 28

1594 Words
Mata dingin Lia menatap layar laptop, di mana itu adalah foto pernikahan yang diambil dari pasangan suami istri yang menikah tepat saat Lia ditugaskan ke Yaman. Pengantin pria mengenakan baju upacara kecil dalam instansi kepolisian. Itu adalah Ismail Baqi, anak pertama dari pasangan Alamsyah Baqi dan Daimah. Pengantin wanita di foto resepsi itu terlihat sangat anggun, dia mengenakan hijab dan di atas hijabnya dihiasi mahkota dan kerudung pernikahan. Mata Lia tertutup sejenak, dia menarik lalu menghembuskan napasnya. Ketika dia membuka kelopak matanya, tatapan matanya tetap datar dan dingin. Lia kecil tetap mempertahankan kewarasan dalam kepribadian kedua. Layar berubah, kini terlihat gambar resepsi pernikahan dari pasangan lain. Pengantin pria terlihat mengenakan tuksedo abu-abu dan pasangannya mengenakan gaun resepsi panjang yang ramping, warna gaun itu juga senada dengan si pria namun bertabur mutiara di sekitar gaun resepsi itu. Rambut si wanita disanggul indah, membuat aksesoris yang dikenakan oleh wanita di dalam gambar itu bertambah manis. "Abang Ojan juga menikah." Lia kecil tertawa sinis. Dia melihat waktu dan tanggal pernikahan, itu juga berjarak dekat dengan pernikahan Ismail. Lia kecil menutup laptop tanpa mematikan layar laptop. Dia menyingkirkan laptop itu jauh darinya, pandangan matanya berganti ke arah jendela, dia mendekat ke jendela. Dari jendela kamarnya, dia melihat pemandangan samping rumah. Tidak banyak berubah dari rumah itu, terakhir kali dia datang ke kota itu sudah dua tahun yang lalu, yang mana dulu Muhammad Irwan Baqi masih menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang memberi perintah untuknya agar segera pulang ke rumah sebelum waktu kematian sang kakek yang bernama Busran. Dia sebentar saja hingga sang kakek dimakamkan lalu dia kembali ke markas dan bahkan tidak sempat datang ke rumah milik Nibras yaitu sang paman. Orang-orang tua telah satu persatu dipanggil oleh sang Khalik. Banyak sepupu yang telah menikah, namun di umur yang ke dua puluh enam tahun ini, hati Lia kosong. Bahkan sekarang, hatinya benar-benar kosong setelah mengetahui bahwa dua pria yang disukai olehnya telah menikah. "Siapa yang mau menikahi orang berkepribadian ganda?" ujar Lia kecil sendiri. Beberapa detik kemudian dia tersenyum sinis. "Tidak ada." Lia kecil menutup kain jendela lalu berbalik ke arah ranjang. Dia berkata, "Mereka hanya berpikir aku terlalu berbahaya." Lia kecil berbaring terlentang di atas ranjang, dia menatap langit-langit kamar. "Mereka akan takut mati ditanganku." * Pada saat waktu makan malam, seorang pelayan mengetuk pintu kamar milik Lia. "Nona Lia, makan malam telah siap." Sang pelayan berdiri di depan pintu. Namun setelah menunggu selama beberapa detik, tak ada balasan. Pelayan mengetuk lagi. "Nona, Tuan Ibas memanggil untuk makan." Sunyi dan tak ada jawaban dari dalam kamar. Pelayan menunggu, dia tetap menunggu sang Nona keluar kamar. Namun sayang sekali selama satu menit menunggu, Nona rumah tak kunjung keluar kamar. "Nona, makan malam telah siap, Tuan Ibas dan yang lainnya menunggu Anda di ruang makan," ujar sang pelayan. Tak ada balasan. Pelayan menarik dan mengembuskan napas susah. Dia benar-benar dilema. Tidak mungkin dia masuk ke kamar Lia, itu mustahil pada saat ini. Dia sama sekali tak berani. "Nona, Tuan Ibas dan Nyonya Tika menunggu Anda di ruang makan," ujar pelayan. Tak ada balasan. Pelayan bingung. Apakah sang nona rumah tertidur? ataukah sedang tidak berada di dalam kamar? "Nona, apakah Anda tidur?" tanya pelayan. Setelah bertanya, si pelayan menyesali, orang tidur tentu saja tidak akan menjawab pertanyaan orang. "Baiklah, saya akan kembali turun ke bawah dan memberitahu Tuan Besar," ujar pelayan. Si pelayan berjalan menjauh dari pintu kamar Lia kecil. Di dalam kamar, rupanya gadis yang sedari tadi dipanggil oleh pelayan rumah tak tidur. Matanya bahkan melek dan duduk sambil melihat foto yang terpampang di layar laptop. Itu adalah beberapa foto kenangan yang diambil ketika dia hendak berpisah dengan anak buahnya. Lia kecil sama sekali tak mempedulikan panggilan dari pelayan, meskipun dia sadar dan mendengar panggilan dari orang, namun dia tetap memilih tak peduli. Di ruang makan, wajah Nibras terlihat agak khawatir namun dia menutupi ekspresi wajahnya dengan tatapan datar. "Silakan kembali kerja," ujar Nibras. "Baik, Tuan." Pelayan mengangguk, dia adalah pelayan yang tadi memanggil nama Lia. Setelah pelayan itu menjauh, Nibras berkata pada Aqlam. "Lia kecil seperti orang lain, dia bahkan tidak lagi memperdulikan panggilan orang." "Biarkan saja, dia akan beradaptasi lagi di rumah ini," ujar Aqlam. "Beradaptasi bagaimana? jelas-jelas dia besar di rumah ini, tidak perlu adaptasi," balas Nibras. "Di Yaman dia selalu waspada karena peluru panas bisa kapan saja menembus daging mereka, dia sudah terbiasa dengan kekacauan di medan perang, sementara di sini sama sekali tak ada perang, tiba-tiba sunyi dan tentram, semua orang butuh adaptasi meskipun mereka pernah tumbuh besar di rumah mereka," balas Aqlam. Nibras diam selama beberapa detik lalu dia mengangguk. Remaja laki-laki tampan melihat ke arah kakeknya. "Kek, jangan khawatir, Tante Lia hanya ingin istirahat, Anas dengar perjalanan dari Yaman ke Indonesia nggak mudah, banyak rintangan yang harus dilalui karena beberapa daerah konflik sangat pendendam terhadap militer," ujar Anas. Anas kini telah tumbuh tinggi. Nibras manggut-manggut. Chana fokus pada makanan, sang suami mengambilkan beberapa lauk untuknya. Sementara itu di kursi makan anak-anak, Fahmi mulut Fahmi belepotan karena dia telah mengacak-acak makanan. * Hari berjalan dan terus berjalan, namun selama Lia kecil kembali ditarik oleh markas, kepribadian aslinya tak pernah muncul. Hal inilah yang menjadi ketakutan Nibras. Nibras takut bahwa keponakan perempuannya tak akan muncul lagi dan hanya dikuasai oleh kepribadian lain. "Eric, aku pikir kalian harus datang dan melihat anak perempuan kalian. Selama dia di sini, aku tidak pernah melihat lagi Aril muncul," ujar Nibras melalui telepon. "Aku akan mengurus beberapa urusan di sini dan akan ke Indonesia bersama Sira," balad Eric dari seberang. "Ya, aku menunggu kedatangan kalian," ujar Nibras. * Setelah beberapa hari telah berlalu, Eric dan Bushra mengunjungi rumah Nabhan. Mereka ingin bertemu dengan anak perempuan mereka. "Jadi Aril tak pernah muncul setelah Lia kecil tiba di sini?" tanya Bushra pada Nibras. Nibras mengangguk. "Ya, benar. Aku dan Atika khawatir." Bushra melirik sang suami. "Di Yaman, jarang sekali Aril muncul, aku mendapat informasi bahwa Lia kecil selalu menguasai tubuh Aril," ujar Eric. "Lakukan sesuatu sebelum kalian benar-benar menyesal." Suara Gaishan terdengar. Bushra dan yang lainnya melirik ke arah Gaishan dan istrinya yang baru saja tiba di rumah itu. Gaishan menatap mata Eric. "Adik ipar, kau harus tahu ini, karena keputusan kalian ingin menekan Lolly, Lia yang berkuasa, tahukah jika Lia yang terus-menerus menguasai tubuh Aril, maka ucapkan selamat tinggal pada putri kesayangan kalian." "Nggak! aku nggak mau!" Bushra langsung menolak. "Kalian harus sadar, jika Lolly saja dapat ditekan, kenapa Aril tidak bisa?" ujar Gaishan. Wajah Eric terlihat pucat pasi. * "Jadi Aril tak pernah muncul lagi?" tanya Mentari lewat panggilan telepon. "Ya, aku mohon kembalikan Aril. Aku terlalu takut Lolly mengambil alih dan hanya ingin agar Lolly benar-benar menghilang, namun aku bahkan tidak tau bahwa jika Lia bisa menekan kemunculan Lolly, kenapa Aril tak bisa? aku takut jika Aril dimatikan oleh Lia." Bushra ingin sekali menangis. Dia pikir dia sudah tenang saat kepribadian ketiga telah ditekan, namun dia salah. Jika Lia yang terus muncul, maka bisa saja dia dan suami benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada anak perempuan mereka. "Aku akan bicara dengan Didi, setelah itu aku akan beritahu padamu kapan Didi akan datang ke sana untuk menemui Lia. Kau tahu kan, Didi akhir-akhir ini sibuk mengurus pernikahannya," balas Mentari. "Ya, aku tunggu kabar darimu, Tari. Aku harap lebih cepat lebih baik," ujar Bushra. Namun, Bushra tak tahu bahwa, panggilan telepon bersama Mentari telah dilihat langsung oleh Lia kecil. Setelah Bushra mengakhiri panggilan, dia meletakan ponsel di atas meja, namun matanya bertatapan dengan tatapan dingin dari Lia kecil. "Astagfirullah!" Bushra kaget. Tatapan mata itu terlihat sangat dingin. "L-Lia … kamu di sini?" Bushra berusaha untuk membuka suara pada Lia. Mata Lia kecil menatap ponsel, mulutnya terbuka dan berkata, "Apakah kau ingin membunuhku?" Bushra menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak, kamu anakku!" jawab Bushra kalang kabut. Senyum sinis muncul di sebelah sudut bibir Lia kecil. "Apakah kamu baru saja mengatakan bahwa Aril adalah anakmu?" Bushra menelan susah air ludahnya. "Lia, apakah kamu sudah makan malam? Mama akan mengambilkan kamu makan malam." "Tidak lapar," jawab Lia kecil. "Em … kalau begitu apakah kamu haus?" tanya Bushra. Lia kecil tersenyum miring. "Apakah kamu sedang mengalihkan pembicaraan?" Bushra mati kutu. Lia kecil memikul sebuah tas militer, namun sebuah senjata berupa pistol tak sengaja jatuh. "Aaakh!" Bushra dengan spontan berteriak ketakutan. Beberapa pengawal berdatangan, termasuk Eric yang sedang berbicara serius dengan para laki-laki, yaitu saudara Bushra. Begitu semua orang melihat pistol yang jatuh dibawah kaki Lia. Mereka buru-buru pasang badan untuk melindungi Bushra. Mata Eric agak terbelalak, sang anak sangat tenang. Dengan tenang, Lia kecil menunduk dan meraih pistol itu. Dia tersenyum sinis ke arah Bushra. "Jangan khawatir, aku tidak akan membunuhmu, kamu tetap ibu dari tubuh ini." Tubuh Bushra menggigil ketakutan, dia mundur ke belakang mendekati sang suami. Lia kecil menatap mata Eric. "Jangan mengusik hidupku, atau kau akan menyesal, Tuan Duta besar." Eric hanya mampu menahan takut dan menelan diam air ludahnya. Gadis di depannya ini bukan lagi anak perempuannya, semua sangat berbeda. Lia kecil memasukan pistol itu kembali ke dalam tas. Dia keluar rumah, namun ketika hendak menjauh dari rumah, suara Aqlam terdengar. "Jangan ada senjata apapun di rumah ini." Lia kecil berhenti melangkah. Dia mengangguk sebagai balasan. Lia kecil naik ke dalam mobil dan melempar tas militer ke jok penumpang depan, kemudian dia menyetir sendiri keluar dari halaman rumah Nabhan. Di dalam rumah, Bushra yang masih menggigil takut itu melirik ke arah ponselnya yang berdering. Tertera nama sang pemanggil, itu adalah Mentari. Bushra buru-buru mengangkat panggilan. "Tari." "Dua minggu lagi pernikahan Didi dan Anwar, kami akan bertemu di resort milik Opal di Sumba, Didi akan merayu Lia untuk datang," ujar Mentari. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD