Chapter 13

1890 Words
Sesampainya di rumah sakit, Gaishan dan yang lainnya melihat bahwa sudah ada beberapa polisi yang mengamankan ruang rawat VIP yang ditempati oleh Ariella. Marc membawa jalan ke dekat ruang rawat adiknya. Saat mendekat ke pintu, terdengar suara jeritan Lia kecil. "Buka pintunya! buka pintunya!" ini adalah jeritan Lia Kecil. "Lia, dengarkan Papa-" "Aku bilang buka pintunya!" Lia Kecil memotong ucapan Eric. "Dengarkan Papa, sayang!" Eric tidak ingin anaknya keluar keluar, sebab dia takut sang anak akan bertambah brutal menyerang orang yang dilihat oleh anaknya. "Aku bilang buka pintunya!" perintah Lia Kecil, kali ini suaranya terdengar datar dan tanpa ekspresi ketika berbicara pada sang ayah. Di luar pintu. "Kenapa pintunya ditutup?" tanya Gaishan. "Pak, Nona Aril brutal, satu dokter hampir mati, dua satpam patah tulang, sementara seorang perawat mengalami cedera tangan," jawab seorang. "Jika kalian menguncinya, maka dia pasti akan bertambah marah!" Gaishan berubah kesal. "Pak, Anda tidak mengerti, Nona Aril-," suara keamanan terpotong. "Buka pintunya!" ini adalah suara Aqlam. Semua melirik ke arah Aqlam, mereka terlihat tidak yakin jika harus membuka pintu itu. Takutnya, Lia kecil akan mengamuk dan memukuli seisi rumah sakit. "Jika membiarkan pintu itu tertutup dan kalian berpikir bahwa dia tidak akan bisa menyerang kalian, ini salah. Lia kecil adalah orang yang spontan namun punya pikiran panjang dan nalar yang kuat. Kesalahan jika menutup pintu ini," ujar Aqlam. Polisi maju dan hendak membuka pintu, namun sial sekali, pintu itu tiba-tiba jebol dengan sekali tendangan milik Lia kecil. Bruuaaakk! Krraak! "Aah!" polisi kaget. Semua orang mundur ke belakang. Tendangan kedua Lia kecil lebih ganas lagi. Brruuaaaak! Puuuum! Pintu itu melayang dan hampir saja mengenai Gaishan. "Papa, awas!" Fatah menarik ayahnya menghindar agar pintu itu tidak mengenai sang ayah. Para polisi dibuat hampir serangan jantung, mereka mundur beberapa langkah dan mengusap d**a mereka. Hampir saja mereka menjadi korban dari pintu rumah sakit yang terbang. Wajah Gaishan pucat pasi, baru kali ini dia benar-benar takut ketika melihat wajah keponakan perempuannya. Fathiyah melangkah maju di depan sang suami, dia melihat mood dari Lia kecil tidak dalam suasana baik. Ghifan berkata pada Gaishan. "Kau tidak apa-apa?" "Kau bisa lihat, pintunya hampir saja menghantamku," balas Gaishan. Ghifan mengangguk pelan. "Aku anggap jawabanmu dari pertanyaanku adalah ya." Lia kecil melirik ke arah Eric yang mengambil posisi jauh ke arah sudut. Jujur saja, Eric takut dibunuh oleh anaknya sendiri, namun dia tidak bisa menyakiti anak perempuannya. Dia sangat menyayangi Ariella. "Hanya karena kau adalah ayah kandung dari tubuh ini, aku tak akan membunuhmu." Terdengar sangat dingin dan menusuk di hati Eric. Lia kecil berjalan meninggalkan ruang rawat itu, tanpa ada seorangpun yang berani menghadangnya. Gaishan dan yang lainnya mundur dan memberi jalan bagi Lia kecil. Mereka tidak boleh gegabah, Lia kecil sungguh berbahaya. Setelah melihat kepergian Lia kecil, Gaishan berkata pada Aqlam. "Aqlam, tolong ikuti Lia Kecil, Om tahu kamu lebih tahu mengenai dirinya yang itu, sebab kalian telah tinggal bersama cukup lama." Aqlam mengangguk. "Lia kecil …," ucap Busran. Mata Busran memerah saat mengikuti langkah kaki sang cucu. "Kakek Busran minta maaf … Kakek Busran jarang memperhatikan kamu … Kakek Busran salah … maafkan Kakek Busran …." Busran menangis sedih saat melihat kondisi kepribadian dari cucunya yang makin hari makin menjadi dan sama sekali tak dapat dikontrol lagi dengan kepribadian asli maupun siapapun. "Kakek Busran mengerti, kamu marah dan sedih karena Kakek Agri dan Nenek Lia pergi, tapi … jangan begini … ingat apa kata-kata Kakek Agri dan Nenek Lia, jadilah baik, Nak." Setelah Busran kalimat ini, langkah kaki Lia kecil terhenti. Lia kecil menatap lurus ke arah lobi rumah sakit. Wajahnya terlihat penuh kerinduan dan kesepian. Entah apa yang terjadi dalam batin kepribadian yang ini. Busran menghapus air matanya. "Jadilah baik. Kakek Agri dan Nenek Lia pasti akan senang jika melihat dirimu jadi baik." "Apakah mereka bisa melihatku?" tanya Lia kecil. Busran mengangguk. "Tentu saja bisa." "Lalu kenapa mereka tidak memanggilku pergi bersama mereka?" tanya Lia Kecil. Busran terbelalak. "Bukan seperti itu. Masing-masing telah ada yang atur." "Siapa yang atur?" tanya Lia kecil. "Allah yang telah mengatur semuanya," jawab Busran. "Lalu mengapa Allah mengatur hal ini padaku?" tanya Lia kecil, tatapan matanya kosong, dia seperti merenung sesuatu. Sesuatu yang terjadi dalam dirinya. "Allah tahu yang terbaik untukmu," jawab Busran. "Tidak! tidak tahu yang terbaik untukku. Aku tahu yang terbaik untukku! aku penguasa tubuhku!" setelah mendeklarasikan ini, Lia kecil melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Busran yang menangis tersedu-sedu. Tatapan Lia kecil tiba-tiba berubah tajam. "Ini salahku … seharusnya aku tidak mengutuk siapapun. Seharusnya aku tidak mengutuk Eric yang menikahi putriku. Seharusnya aku terima baik anakku dinikahi oleh orang lain. Ini karma untukku …." Bahu Busran bergetar. Aqlam mengusap bahu Busran. "Bukan salahmu, Kakek. Semua terjadi karena sudah kehendak yang Maha Kuasa." Busran menghapus air matanya, dia melirik ke arah Aqlam. "Aku kurang menyukai menantuku ketika dia awal-awal menikahi putriku, mungkin ini balasan dari Tuhan untukku." "Tidak. Ini adalah cobaan," bantah Aqlam. Busran menunggu penjelasan dari Aqlam. "Cobaan ini membuat kita agar melewatinya. Hanya ada dua pilihan, satu apakah kita berhasil melewatinya, dua ataukah kita gagal melewati ujian ini." Aqlam memandang kepergian Lia Kecil. "Kakek Busran pilih yang mana dari dua pilihan itu?" tanya Aqlam. "Pilihan kedua," jawab Busran. "Mari kita berusaha untuk melewati ujian ini, mari membuat Adik Lia Kecil tidak agresif lagi." Wajah Aqlam terlihat datar, namun dia sebenarnya sayang terhadap Busran. Busran mengangguk. Mata Eric memerah, dia terlihat sangat terpukul dengan keagresifan kepribadian anak perempuannya. Aqlam mengikuti langkah kaki Lia kecil, dia berkata, "Kakak Aqlam antar pulang ke rumah tua." Lia kecil mengangguk. Aqlam masuk ke dalam mobil diikuti oleh Lia kecil. "Sudah jam sembilan, sampai di rumah makan dan langsung istirahat. Ingat apa kata Kakek Besar, jika kita ingin jadi baik, maka kita harus sehat." Aqlam harus terus membawa nama kakek dan nenek buyut mereka jika ingin membujuk adik sepupunya. Lia kecil mengangguk. * Eric menghadap kepala rumah sakit. Kepala rumah sakit agak gemetar, pasalnya yang membuat masalah di rumah saktinya bukanlah orang sembarangan. Selain orang yang membuat masalah adalah cucu dari Keluarga Nabhan, dia juga adalah anak dari duta besar luar biasa dari Perancis untuk Kanada. Di samping Eric, ada Bushra yang merangkul ayahnya yang telah tua, dia adalah Busran. Beberapa keluarga yang lain juga ikut duduk di ruangan itu. "Saya minta maaf atas apa yang dilakukan oleh anak perempuan saya. Apa yang dilakukan oleh anak perempuan saya itu sama sekali dalam keadaan tidak sadar," ujar Eric. Kepala rumah sakit mengerutkan keningnya. "Maksud Anda tidak sadar bagaimana? para saksi telah menjelaskan keterangan mereka bahwa mereka melihat Nona Aril dengan sadar menganiaya tenaga medis dan dua satpam." Eric agak sulit untuk menjelaskan kondisi kepribadian anaknya. Sebab, dia tidak percaya pada siapapun jika menyangkut kepriadian sang anak. Eric tidak ingin banyak orang tahu siapa anaknya, sedikit orang yang tahu maka itu lebih baik. "Dokter Rasyid, Anda mengenal dokter Mentari Baqi di rumah sakit pemerintah di Yogyakarta?" tanya Busran. Eric melirik ke arah mertuanya. Orang yang dipanggil dokter Rasyid itu mengangguk. "Tentu saja, beliau adalah junior saya ketika beliau koas, sementara saya waktu itu telah menjadi dokter ahli dalam di rumah sakit di Yogyakarta, namun ketika beliau mengambil spesialis, beliau memilih menjadi psikiater atau dokter jiwa. Sekarang beliau menempati salah satu direktur di rumah sakit daerah di sana." "Jika saya menelpon beliau, apakah Anda bersedia bicara dengannya?" tanya Busran. Dokter Rasyid mengangguk setuju. "Tentu saya bersedia." * "Tari, kamu masih di rumah?" tanya Busran lewat telepon. "Dalam perjalanan ke bandara, Om. Aku dapat tiket tercepat ke Semarang, syukurlah ada penerbangan dari Yogya ke Semarang yang ditunda jam dua belas malam," jawab Mentari. "Kami di rumah sakit. Keadaan pasca mengamuknya Lia kecil sangat serius hingga pihak polisi dan rumah sakit turun tangan. Dengarkan apa kata-kata, Om. Kamu …." Busra berbicara pada Mentari mengenai apa yang ingin dia jelaskan pada Menteri. Dari seberang, wajah Mentari terdengar serius. Dia mengangguk. "Aku mengerti." Panggilan diakhiri atas kesepakatan dua belah pihak. Setelah panggilan diakhiri, Mentari melihat ke arah sang suami yang sedang menyetir. "Kemungkinan masalah ini sangat serius, hingga melibatkan polisi." "Apakah Om Busran telah menelepon Ayah?" tanya Ariansyah. "Aku pikir cepat atau lambat, Ayah pasti akan tahu," jawab Mentari. Ariansyah mengangguk setuju. "Jika Ayah tahu, pasti Kak Alam akan turun tangan." "Ya, itu pasti, calon kapolri masa depan akan turun tangan," timpal Mentari. "Kau ingin dengarkan masalah seriusnya?" tanya Mentari. Ariansyah mengangguk. "Satu orang dokter muntah darah karena rusuknya diinjak oleh Lia kecil, lalu retak tulang bahu, seorang perawat perempuan mengalami dislokasi ringan bahu kanan, dua orang satpam mengalami patah tulang tangan dan retak tulang rusuk." Mentari menghembuskan napas susah. Ariansyah menggelengkan kepalanya tanda tak percaya dengan penjelasan sang istri. "Ini apakah benar kepribadian Lia Kecil yang melakukannya?" tanya Ariansyah. "Ya. Dan ini adalah pertama kalinya dia menyerang ayahnya sendiri," jawab Mentari. "Dia menyerang Eric?" tanya Ariansyah syok. "Ya. Sepupumu bahkan pingsan setelah melihat Lia kecil menginjak rusuk dokter itu," jawab Mentari. "Sira tidak diserang, kan?" tanya Ariansyah. "Tidak," jawab Mentari. * Di rumah sakit. Busran menelepon kakak iparnya. "Halo?" suara sang kakak ipar. "Agil, aku butuh bantuanmu." Wajah Busran terlihat sedih. "Katakan," ujar Agil. Busran menjelaskan letak dan permasalahan yang terjadi. Dalam panggilan via telepon antara sahabat yang dulu adalah musuh itu, mereka saling mengangguk mengerti. "Sampai di sini dulu, aku harap kau bisa membantu," ujar Busran. "Tidak masalah, ini masalah kecil bagiku," balas Agil. "Terima kasih," ujar Busran. "Sudah kubilang, bukan masalah untukku," balas Agil. * Lampung. "Ada apa? apakah Busran menelepon untuk ke Semarang?" tanya Riandri. "Nanti aku jelaskan." Agil terlihat menelpon seseorang. Nama di kontak itu adalah Alamsyah. Beberapa detik kemudian suara Alamsyah terdengar. "Halo, Assalamualaikum Ayah." "Waalaikumusalam. Alam, dengar apa yang Ayah bilang," balas Agil. "Baik, Ayah." Sahutan dari Alamsyah di seberang. * Di dalam ruang dokter Rasyid, Busran memberikan ponselnya pada dokter itu. Dokter Rasyid menerima ponsel dan dia berbicara dengan orang yang menelpon. "Halo," ujar dokter Rasyid. "Dokter Rasyid. Selamat malam, masih kenal dengan saya?" sapa Mentari. "Tentu saja. Kami pernah di rumah sakit yang sama," jawab Dokter Rasyid. "Dokter Rasyid, saya mempunyai situasi dan kondisi yang tidak bisa dipahami oleh siapapun, ini menyangkut privasi pasien saya yang bernama Ariella Achtiana Rousseau," ujar Mentari. Wajah dokter Rasyid langsung berubah serius. "Pasien Anda?" "Ya." Sahutan Mentari. Kemudian dokter Rasyid mendengar dengan seksama apa yang sedang dijelaskan oleh Mentari. Dalam beberapa menit panggilan antara dua dokter itu, dokter Rasyid beberapa kali mengangguk mengerti. Panggilan diakhiri. Dokter Rasyid mengembalikan ponsel milik Busran. Wajah dokter Rasyid terlihat serius. "Pihak rumah sakit akan melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian mengenai kasus ini agar tidak menjadi konsumsi publik. Saya akan mencoba bicara dengan dua orang tenaga medis dan dua orang satpam yang menjadi korban." Pada saat Busran dan keluarga Nabhan yang lain mengangguk mengerti, pintu ruang dokter Rasyid diketuk. "Permisi, dokter. Kapolda Semarang ingin bertemu." Suara dari seorang perawat senior. Wajah dokter Rasyid berubah agak khawatir. Dia terlihat ragu untuk memberi izin masuk ke dalam ruangannya, sebab ada keluarga Nabhan. "Beliau menitip pesan bahwa juga ingin bertemu dengan Tuan Busran," ujar perawat senior. "Masuk!" pinta Dokter Rasyid. Tak berapa lama Kapolda masuk. Semua orang saling memberi salam. Kapolda berjabat tangan dengan Busran. "Maaf saya datang terlambat," ujar Kapolda. "Ya, tidak masalah," balas Busran. Kapolda melirik ke arah dokter Rasyid. "Dokter Rasyid, saya mohon kerja sama staf dan dokter Anda untuk tidak lagi melanjutkan kasus ini ke proses penyidikan. Kami akan melakukan pemberhentian penyelidikan, karena ada alasan kuat dari nona Aril melakukan perlawanan." Semua orang menarik napas lega. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD