6| Halcyon

1608 Words
"KITA mau kemana?" Harusnya, pertanyaan itu Keyla tanyakan satu jam yang lalu. Tepatnya saat motor milik Raynzal mulai memasuki area yang terbilang sepi dan asing dimata. Setelah memarkirkan motornya disamping sebuah mobil sedan berwarna hitam, cowok itu berjalan lebih dahulu. Hanya melirik Keyla sekilas tanpa menjawab pertanyaan yang gadis itu tanyakan padanya. Merasa di acuhkan, Keyla terlihat mempercepat langkahnya. Menyusul Raynzal hingga langkah mereka sejajar. "Zal, kita mau kemana? Katanya mau temenin gue makan sushi." kedua kalinya gadis itu meminta kepastian, lelah diberikan harapan palsu. Udara dingin yang menusuk kulit membuat Keyla refleks merapatkan jaket jeans hitamnya. "Mampir ke tempat tongkrongan gue bentar, ada perlu." jawaban itu akhirnya keluar. Jawaban yang membuat mata Keyla membulat bahagia, "Tongkrongan sama temen-temen lo yang waktu itu didepan sekolah gue?" Dalam diam Raynzal mengangguk. Semakin membuat Keyla kegirangan. Melihat reaksi berlebihan Keyla, tatapan tajampun memburunya, "Kenapa seneng banget?" "Biasanya, kalo cowok udah bawa cewek ke tempat tongkrongannya, artinya itu cowok mau jadiin si cewek pacar." Ucapan asal itu menghadirkan wajah datar Raynzal. Tak mau merespon kepedean Kayla. Memilih terus melangkah, berjalan mendekati sebuah gudang tua yang berada di tempat antah berantah ini. Gudang tua yang sudah Raynzal anggap sebagai rumah ketiganya setelah rumah Arga dan juga warung Mpok Onah. Namun semakin mendekati pintu masuk gudang tua itu, semakin jelas pula Raynzal mendengar suara ricuh yang berasal dari arah dalam. Dan samar-samar, Raynzal mulai menyadari kebisingan apa yang tengah terjadi. Untuk itu, sebelum melihat ke dalam gudang, Raynzal nampak menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Membuat Keyla yang sedari tadi melamun terlihat menabrak punggung kokoh itu. Hampir mendatangkan ringisan dari bibirnya sebelum si tampan terlihat membekap bibir berlipstick merah itu. Manik mereka bertemu dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan Keyla dapat merasakan hembusan napas cowok itu. Membuat jantungnya berdebar. "Jangan berisik, tunggu sini." hanya itu perintah yang berhasil Raynzal bisikan. Sebelum dengan hati-hati, Raynzal beranjak. Berjalan mendekati sumber keributan dengan pelan, berusaha tak menimbulkan suara sekecil apapun. Sedangkan Keyla, nampak menurut. Memilih berjongkok disamping pepohonan. Menunggu Raynzal mengerjakan tugasnya. Semakin dekat dengan pintu utama, Raynzal semakin meyakini tebakannya. Dan benar saja, saat ia sedikit memunculkan kepalanya, berniat melihat apa yang terjadi, pemandangan tak mengenakan nampak menyapanya. Membuat cowok itu dengan cepat memunculkan dirinya. Mengalihkan pandangan semua orang. "Akhirnya, si jagoan muncul juga." Salah seorang laki-laki berwajah tampan itu bersuara. Nampak bangkit dari posisi duduknya. Terlihat mendekati Al yang saat ini sudah tergeletak tak berdaya di atas tanah. Wajah dan tubuhnya nampak mengeluarkan banyak darah. Bahkan dari posisinya yang cukup jauh, Raynzal dapat mendengar sobatnya itu meringkih kesakitan. Menghadirkan kepalan pada telapak tangannya. Menahan emosi untuk tak membunuh musuhnya itu sekarang juga. "Pasti gara-gara lo rindu sama sahabat tersayang lo inikan?" tanya lawannya itu lagi dengan tambahan tangan yang terlihat mengangkat kepala cowok berambut keriting itu. Membuat mata Al dan Raynzal bertemu, "Lo--" Al terbatuk, tak bisa menyelesaikan kalimatnya dengan cepat, "Ngapain kesini, gila?" Suara lemah yang masuk ke dalam indra pendengaran Raynzal, benar-benar mampu menyambungkan syaraf-syaraf emosinya. "Apa sama sobat lo yang itu?" Perhatian Raynzal beralih secepat kilat, mendapati Steve tengah berdiri di depan sebuah tiang. Tidak, bukan berdiri, lebih tepatnya diikat didepan sebuah tiang dengan tambahan wajah yang memar. "b*****t--" tanpa sadar cowok itu mengumpat, matanya nampak menatap sekitar, mendapati banyak anak buah dari pemimpin sampahnya itu, "Main lo keroyokan?" Sebuah tawa Raynzal dengar, "Keroyokan?" tanyanya dengan tambahan tawa meremehkan. Tawa yang benar-benar membuat tombol emosi Raynzal menyala. "Bukannya lo duluan yang dengan beraninya pukulin anak buah gue didepan sekolah gue?" Gantian Raynzal yang tertawa, "Karna kalian emang sampah yang pantes buat dipukulin." Ucapan itu nyatanya salah Raynzal ucapkan saat ini. Karna hal itu malah mendatangkan emosi dari lawannya yang padahal tengah memegang kunci nyawa kedua sobatnya. Dan ya, sebuah pertunjukan itu nyatanya dimulai. Dengan tanpa dosanya, pemimpin gila itu terlihat mengeluarkan sebuah senjata api dari dalam kantong jaketnya. Sebelum mengarahkannya pada kepala Al. Hal yang membuat Raynzal tidak berkutik di tempatnya. Nampak mematung tanpa bernapas. "Coba ulangin ucapan lo barusan." lawannya itu mengancam, masih dengan senjata api yang ia todongkan ke arah kepala Al. Susah payah Raynzal menelan salivanya. Hanya mampu memandangi kejadian itu dengan beku. "Lo mau si b*****t ini selamat? Mau!?" Bentakan itu menggelegar di dalam gudang tua itu. Menghadirkan degupan kencang di jantungnya, Raynzal memilih bisu. Tak berani melakukan hal bodoh yang bisa saja menghilangkan nyawa sahabatnya. "Ada dua cara yang bisa lo lakuin buat bebasin nyawa sahabat lo, mau tau?" senyum setan nampak menyapa wajah lawannya itu. Walau sialnya, Raynzal hanya bisa menggeretakkan giginya tanpa dapat melakukan apapun. "Berlutut di depan gue dan bilang lo minta maaf." Tak ada respon dari Raynzal, cowok itu masih setia dengan diamnya. "Gue kasih lo waktu lima detik, atau gue bakal bolongin kepala temennya lo sekarang juga." ancaman itu kembali terdengar manis di telinga Raynzal. "Lo sentuh temen gue, lo bakal mati." dari tempatnya, Raynzal tak bisa menahan untuk tak mengeluarkan ucapan itu. Ucapan yang malah mendatangkan tawa dari lawannya, "Lo gak tau aturan mainnya?" lawannya itu bertanya. "Jangan pernah ngancem orang yang lagi megang senjata, bro," lanjutnya tanpa beban, "Lo salah kalo mau ngancem gue sekarang." Sedikit membenarkan ancaman lawannya, Raynzal kembali bungkam. Walau mata nyalangnya masih nampak memburu. "Satu--" Hitungan itu dimulai. Dari mata lawannya, Raynzal tak melihat ada kebohongan disana, artinya, ancaman itu bisa jadi benar-benar dilakukan. "Dua--" Tangan Raynzal terkepal sempurna, apalagi saat maniknya beralih pada Steve yang saat ini sudah terlihat kehilangan kesadaran. "Tiga--" Semakin mendekati akhir, semakin lemas kaki cowok itu. "Empat--" Tak ada lagi yang bisa Raynzal lakukan selain mengikuti aturan main yang sedang berlangsung. Untuk itu, setelah menghilangkan segala macam ego di otaknya, Raynzal mulai berniat untuk berlutut. Hal yang kembali memunculkan senyum kemenangan dibibir lawannya sebelum sebuah suara terdengar di telinganya. Menghadirkan semua tatapan, bahkan Raynzal mengurungkan niatnya untuk berlutut saat mendapati gadis yang ia bawa nampak memunculkan dirinya. Tanpa takut sedikitpun, nampak berjalan mendekati keramaian. "Wah, kenapa ada ketua osis disini?" Keyla pura-pura terkejud, bahkan gadis itu menutup mulutnya dengan sebuah ponsel yang sedari tadi ia genggam. Hal yang segera menghadirkan wajah panik dari sang pemegang senjata api. "Kak Kevin, kan? Yang waktu itu nembak gue?" Keyla kembali bersuara dengan suara santainya. "Ke-Keyla?" Laki-laki bernama Kevin itu terlihat bangkit dari posisinya, lalu nampak menyembunyikan senjata api miliknya ke balik punggung. Iya, Kevin yang Jean puji-puji sebagai cowok 'baik-baik' nan sempurna. Murid kesayangan semua guru yang terkenal tak pernah berbuat ulah. "Kira-kira, apa yang bakal terjadi kalo video yang barusan gue rekam kesebar disekolah?" ancaman itu tanpa sadar Keyla ucapkan, "Apa mereka bakal kaget, kalo tau ketua osis yang jadi kebanggaan sekolah kita ternyata punya kelakuan kayak gini?" Dengan gugup, Kevin memundurkan tubuhnya, "Lo kenapa bisa disini?" "Gue?" Keyla bertanya, "Gue disini karna cowok gue ada disini." "Cowok lo?" beo Kevin. Pertanyaan yang Keyla jawab dengan rangkulan pada pergelangan tangan Raynzal, "Iya, cowok gue." Dan ekspresi mengejutkan pastilah menjadi respon dari apa yang baru saja Kevin lihat dengan jelas, "Lo pacar Raynzal?" Tanpa beban Keyla mengangguk, "Jadi mending lo cabut sebelum kesabaran gue habis." "Lo--Lo gak bakal upload video itukan?" tanyanya terbata, tingkah laku yang mendatangkan senyum kemenangan dibibir gadis itu. "Tergantung, kalo gue hitung sampe lima lo gak cabut, gue akan post video ini di website sekolah." Wajah panik kembali Kevin tunjukan. Nampak menatap sekitar dengan bingung. "Satu--" Keyla mulai menghitung, dengan tangan yang terlihat memainkan ponselnya. Mencoba menakuti senior gilanya itu. "Dua--" "Iya-iya, gue cabut." Tak perlu waktu lama, rombongan itu terlihat berlari keluar dari dalam gudang tua ini. Nampak dengan cepat menancap gas mobil milik mereka dengan kecepatan penuh. Melihat rombongan itu pergi, Keylapun segera berlari menghampiri Al yang masih saja tergeletak di atas tanah. "Al, kan?" Keyla bertanya sesaat setelah gadis itu menepuk pipi si tampan berambut keriting, menghadirkan anggukan kepala lemah dari lawan bicaranya. "Jangan pingsan! Gue bakal bawa lo ke rumah sakit, oke?" kata Keyla lagi sebelum perhatiannya beralih pada Raynzal yang terlihat masih berada di tempatnya. "Lo gak mau bantuin gue!?" Dengan berteriak kecil, Keyla berhasil mengembalikan nyawa Raynzal. Dengan cepat, cowok itu berlari ke arah Steve. Membuka ikatannya sebelum membopong tubuh lemah Steve untuk mendekat ke arah Al. "Lo kuat?" Raynzal bertanya dengan menatap Keyla yang saat ini sedang berusaha untuk membopoh sahabatnya itu. "Kuat, Al masih sadar kok." responnya ketika ia berhasil mengangkat Al untuk berdiri. Dalam diam memperhatikan wajah Keyla yang saat ini tengah tertutupi oleh anak-anak rambut. Sedikit menghalangi kecantikannya. "Lo sempet ngerekam kejadian tadi?" katanya begitu mereka sudah mulai berjalan keluar dari gudang ini, menuju mobil milik Steve yang berada tepat disamping motor miliknya. Dengan senyuman, Keyla menggeleng, "Enggak, ngancem doang. Kevin aja yang b**o, percaya." Senyuman yang tanpa sadar menghadirkan degupan cukup kencang di jantung Raynzal. Entah apa yang terjadi padanya, ia juga tak tahu. "Nyet?" suara lemah yang berasal dari arah Steve mampu menyadarkan Raynzal. Membuat cowok bertatto itu secepat kilat mengalihkan pandangannya, "Lo gak pa-pa!?" "Gue gak pa-pa--" respon Steve dengan diakhiri oleh batukan lemah, "Tapi bisa gak, pandang-pandangannya nanti dulu?" "Ha?" Raynzal bergeming tak mengerti. "Lo fikir gue buta?" Steve kembali bertanya, membuat langkah Raynzal berhenti, membiarkan Keyla dan Al berjalan lebih dahulu. "Gue bisa liat kalo mata lo hampir gelinding karna natap Keyla." "Gila, ya?" Raynzal masih mengelak, tak ingin membenarkan kebenaran yang terjadi. Elakan yang segera Steve respon dengan decihan, "Sobat lo hampir mati, lo malah kasmaran. Lo lah yang gila." Tak bisa mengelak lagi, Raynzal terdengar bedehem canggung sebelum melirik keberadaan Keyla yang sudah berjalan cukup jauh dari posisi mereka. "Lo utang nyawa sama gue, jadi mending lo tutup mulut." Dalam rangkulan Raynzal, Steve nampak tertawa kecil, "Hati-hati, temen lo kan ember." Dan kalian pasti tahu, kalau saat ini, keinginan Raynzal untuk menendang b****g sahabat itu dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD