02. Ke Sekolah

1173 Words
02. Ke Sekolah Viona memang selalu membatasi orang-orang di rumahnya untuk mengkonsumsi mi instan, terutama ketiga putri cantiknya. Karena itulah, Kia dan Sasa—sapaan akrab untuk Raisa— sering kali memakan mi instan secara diam-diam. Bahkan mereka berdua pun sering bersekongkol demi bisa menyantap seporsi mi, agar tidak ketahuan oleh orang-orang di rumah ini, khususnya sang ibu yang lumayan cerewet jika menyangkut makanan cepat saji yang akan mereka konsumsi. Hanya saja, dari kedua adiknya yang masih remaja, Laura tahu siapa yang paling bersemangat jika akan dibuatkan mi instan. Karena itulah, di beberapa kesempatan, Laura cukup sering menawarkan mi instan kepada salah satu adiknya, agar adiknya itu mau menuruti ucapannya. Sama seperti sekarang. Akhirnya, Kia mau juga keluar dari dalam kamar. Saat ini Laura dan Kia sudah duduk berdampingan di atas stool bar sambil menikmati mi instan. Beberapa saat yang lalu, Laura sempat membuatkan satu bungkus mi kuah yang sengaja dibagi menjadi dua porsi, karena Kia tidak boleh terlalu banyak memakan mi. Sehingga Laura terpaksa harus ikut memakan mi instan itu di jam sepuluh malam seperti saat ini. “Apa ada hal yang ingin kau ceritakan sekarang? Kau tahu kan kalau Kakak siap mendengarkan segala curhatanmu kapan saja?” tanya Laura secara baik-baik setelah Kia meminum segelas air putih, dan mengusap mulutnya menggunakan dua lembar tisu yang baru saja ditariknya dari dalam kotak tisu tadi. Kia hanya menundukkan wajah sambil memainkan tisu bekas di telapak tangannya. Namun, Laura tahu jika anak itu tengah mempersiapkan diri untuk bercerita. “Aku malu sama Kak Evan, gara-gara perbuatannya Papa.” Kia langsung menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. “Malu kenapa?” tanya Laura setelah berdeham pelan, sedangkan Kia sudah menurunkan kedua telapak tangannya ke atas meja. “Memangnya Papa sempat memarahi Evan saat dia menghampiri kalian di food court tadi?” “Tidak, Papa tidak memarahinya.” Kia menjawab sambil menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang cukup kencang. “Lalu?” tanya Laura dengan kening berkerut. Karena menurutnya, tidak ada yang salah dari perbuatan ayah mereka yang mengajak Kia pulang sebelum anak itu pulang terlalu malam. Lagi pula, dengan begitu, Evan tidak perlu kerepotan untuk mengantarkan Kia ke rumah. Karena rumah mereka berbeda arah. Kia belum juga membalas ucapannya Laura barusan, karena ia tampak terdiam dengan bibir yang terkatup rapat. Sampai tak lama kemudian, Kia pun berdecak kesal sambil bergegas turun dari atas stool bar. “Sudahlah! Kakak tidak akan mengerti, karena Kakak tidak pernah berada di posisiku tadi.” Laura lantas memijat keningnya yang mulai berdenyut, dan membiarkan Kia berlalu tanpa repot-repot untuk menyusul. Beberapa menit berselang, suara seseorang pun mulai terdengar. “Ra ....” “Mama?” Laura tampak menatap horor dua buah mangkuk di atas meja bar. Isi mangkuk milik Kia memang sudah habis tak tersisa, sementara miliknya ... hanya sempat dimakan sebanyak dua sendok saja. Sehingga isinya masih tersisa di sana, dan ibunya itu sudah memergoki isi di dalam mangkuknya. “Biar nanti Mama saja yang berbicara dengan Kia. Mungkin besok, atau lusa, karena Mama tahu kalau saat ini dia masih diluputi oleh amarah.” Laura hanya menganggukkan kepalanya. “Sekarang ...,” Sebelah tangannya Viona terangkat untuk mengelus lembut pucuk kepalanya Laura. “ ... Kau masuklah ke dalam kamar. Ini sudah malam. Biar nanti Mama saja yang membereskan ini semua.” “Mama ... tidak marah?” tanya Laura pada Viona. Viona malah menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya. “Mama hanya tidak ingin memperkeruh suasana. Apa lagi kau baru pulang kerja, dan belum sempat beristirahat karena ulahnya Kia.” Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh Laura selain memeluk tubuhnya Viona saat itu juga. *** Ternyata Kia masih marah, dan menolak diantar ke sekolah oleh Damar seperti biasanya. Sehingga Laura langsung turun tangan, dan menawarkan dirinya untuk sekalian mengantarkan kedua adiknya ke sekolah. Karena mereka berdua masih berada di sekolah yang sama, hanya berbeda gedung saja. Namun, Damar langsung melarang Laura untuk melakukannya. “Kalau kau tidak ingin diantar oleh Papa, maka kau tidak boleh diantar oleh siapa pun, kecuali menaiki angkutan umum.” tegas Damar pada Kia, yang membuat anak itu menampilkan raut wajah terkejutnya. Bukan hanya Kia saja yang menampilkan raut wajah seperti itu setelah mendengarkan ucapannya Damar barusan, tapi semua orang yang berada di sekitaran meja makan juga. “Pa—” Viona langsung mengatupkan bibirnya begitu Damar mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat kalau wanita itu tidak boleh membantah. “Kalau sampai ada orang yang berani mengantarkan Kia ke sekolah,” Damar menatap Viona dan Laura secara bergantian. “Papa tidak akan segan-segan untuk memberikan hukuman.” “Sasa,” panggil Damar. Sasa langsung terperanjat di tempat. “Ya, Pa!” “Ayo, kita berangkat sekarang juga.” Sasa segera bergegas untuk mengekori langkah kaki sang ayah. Karena tadi ia sudah sempat berpamitan kepada ibu serta kakaknya. Sedangkan Kia hanya menunduk di atas kursi makan. Membuat Viona menampilkan raut wajah mendung yang tidak dapat disembunyikan. “Biar aku saja, Ma, yang mengantarkannya ke sekolah.” Laura sudah bergegas dari atas kursi makan sambil membawa kedua tasnya—tas berisi segala perlengkapannya, serta tas berwarna hitam berisi laptopnya. “Tapi, Ra ....” “Tidak apa-apa, Ma.” Laura segera menggelengkan kepalanya. “Ayo, Kia. Kita berangkat sekarang, nanti kau bisa terlambat.” Laura lantas berpamitan kepada Viona, dan wanita paruh baya itu malah membalasnya dengan sebuah ucapan terima kasih tepat di samping telinga, yang membuatnya tersenyum tipis ke arah ibunya. Karena perbuatannya ini masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan semua hal yang telah dilakukan oleh ibunya itu terhadap dirinya. Sementara Kia hanya mencium tangannya Viona tanpa mengatakan apa-apa, lalu ia pun mengikuti langkah kakinya Laura dengan raut wajah keruh yang sangat kentara. *** Siang ini Laura ada janji dengan salah satu keliennya di sebuah restoran. Karena ia harus memperlihatkan desain rumah yang telah direvisi olehnya. Jika desain itu sudah pas, dan tidak perlu direvisi ulang, maka siang ini mereka berdua akan mencapai kata sepakat sekaligus mengurus keperluan yang lainnya. Begitu memasuki restoran yang telah dijanjikan, Laura tak sengaja melihat El di salah satu meja bersama dengan seorang wanita. Ia hanya melemparkan senyum tipis ke arah sana, sebagai bentuk formalitas semata. Karena pria itu adalah sahabat dari salah satu sepupunya, dan mereka pun pernah bertemu di beberapa acara. Untung saja di pertemuan kali ini Laura dan kliennya bisa langsung mencapai kata sepakat, dan perkiraan tanggal pembangunan rumah untuk kliennya itu pun sudah bisa ditentukan. Selanjutnya, mereka berdua pun makan siang bersama sambil berbincang santai mengenai beberapa hal. Namun, obrolan santai itu masih didominasi oleh seputar pekerjaan. Hingga tak lama kemudian, Laura membiarkan kliennya itu untuk pamit pergi duluan. Sementara semua menu makan siang mereka sudah sempat dibayar. Jadi, Laura tidak perlu mengeluarkan uang. Laura lantas menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ternyata sudah hampir jam dua siang. Sepertinya masih ada waktu untuk menjemput Kia di sekolah. Sehingga Laura pun langsung bergegas pergi dari sana, dan melajukan mobilnya menuju ke arah gedung sekolahnya Kia berada. ***** Mohon dukungannya dengan cara memencet tanda HATI untuk cerita ini ya ?☺ makasih sebelumnya ☺
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD