Menyimpang

1388 Words
Ruang tengah keluarga Kaladuta tampak suram seperti biasanya. Bukan karena warna dinding atau perabotan, tapi pencahayaan yang minimal dan tungku kecil yang menguarkan aroma kemenyan. Brana sedang duduk di salah satu kursi sambil membaca koran. Tangannya meremas tepian koran. Jana dan Prada turun dari lantai dua sambil berkasak-kusuk, lalu diam saat melihat Brana. Brana memanggil keduanya agar bergabung dengannya. Prada tampak ogah-ogahan, tapi dia tetap mengekori Jana lalu duduk di sofa. Brana meletakkan koran di atas meja, lalu menggesernya ke arah kedua adiknya itu. Jana dan Prada hanya membaca judul pokok berita tanpa repot-repot mengambil koran itu. Mereka memasang tampang bangga setelah semalam membunuh Vindy. Ini pertama kalinya bagi mereka melakukan pembunuhan tanpa pengawasan langsung dari Brana. Selama ini Brana selalu menjadi otak di balik setiap pembunuhan. Mereka harus tunduk pada rencana Brana. “Puas?” “Iya, mereka pasti kebingungan mencari tahu modus pembunuhan Vindy. Ada kaitannya sama pembunuhan berantai sejak 2014 atau nggak.” Prada tertawa. “Siapa yang suruh mengubah rencana?” Jana melipat tangannya di depan d**a. “Kami sepakat mengubah beberapa hal untuk mengaburkan fakta. Bukannya itu bagus?” Brana menghela napas. “Tidak usah dipusingkan caranya lah. Kita semua menikmati hasilnya, kan? Dua sekaligus.” “Iya nih, Bapak aja nggak tanya apa-apa. Kalaupun dia tahu juga nggak akan meributkannya.” “Gimana kalau kalian meninggalkan barang bukti? Sekali dilepas malah membuat kekeliruan.” Brana menatap tajam kepada adik-adiknya. “Itu bukan kekeliruan, tapi langkah yang cerdas. Lagipula kami sudah memastikan tidak ada yang tertinggal di lokasi.” Jana menyombongkan diri. Prada mengangguk setuju. “Tenang aja semuanya rapi.” “Terus, di mana barang-barang wanita itu?” “Kami bakar, lalu buang ke sungai.” Jana menjawab dengan entengnya. “Benar tidak ada yang kamu ambil?” Jana dan Prada saling lirik. Brana tahu benar masih ada yang mereka sembunyikan. Tidak ada tempat bagi rahasia di rumah ini. Baunya akan tercium cepat atau lambat. “Aku kan nggak minat sama harta.” Prada menyenggol kaki Jana. Jana mendengus. “Iya iya, aku ambil uang dan perhiasannya.” “Apa uang pejabat itu kurang? Enam ratus juta kurang? Lalu, uang-uang klien lain yang masih menumpuk mau diapakan?” “Kayaknya Jana mulai ketularan aku, tapi dalam hal yang berbeda,” sahut seorang perempuan yang bersandar pada pinggiran tangga. Perempuan itu memiliki rambut panjang dan ikal. Ada garis-garis wajah yang serupa dengan ketiga lelaki yang sedang berdebat di ruang tengah. Namun, dia memiliki gaya penampilan yang berbeda. Pakaian yang dia gunakan berwarna cerah kontras dengan ketiga pria di hadapannya. Dia menggendong ransel layaknya seorang pelajar atau mahasiswi. “Tidak ada yang mau mendengar pendapatmu, May.” Jana menatap tajam Mayang, si bungsu yang juga sering dijuluki si anak durhaka. “Terus buat apa duit banyak, kalau bukan buat hal duniawi? Aku kan juga duniawi banget, kita sama dalam hal itu lah.” “Kamu mau kuliah, kan? Nanti terlambat.” Brana mengibas-ngibaskan tangannya. “Masih banyak waktu kok. Ngomong-ngomong, kalian membunuh Vindy ya? Kalian tahu nggak, kalau Vindy itu tulang punggung keluarga?” “Nggak usah banyak omong!” Mayang tidak mengacuhkan hardikan Prada. “Ibu Vindy sudah tua dan sakit-sakitan. Biaya rumah sakitnya mahal. Dia juga punya dua adik yang biaya pendidikannya nggak murah.” “Wah, perhatian banget kamu sampai tahu detail gitu. Jangan bilang dia artis idola kamu?” Prada mencibir. “Bukan. Salah satu adiknya satu fakultas sama aku.” “Terus kamu mau ngadu sama adiknya?” Prada tertawa hingga menggema di seluruh ruangan. “Cukup!” Brana menghampiri Mayang. Dia menggiring Mayang ke ruang depan, tapi Mayang berbalik badan. “May, ini bukan urusan kamu. Ingat kamu selalu menarik diri, jadi tidak perlu mempermasalahkan pembunuhan itu seperti yang sebelumnya.” “Gimana aku bisa diam, sementara aku tahu?! Aku kenal adik Vindy, hampir setiap hari aku ketemu dengannya.” Brana menunjuk ke arah pintu keluar. “Sudah lah May, nggak usah berlagak jadi malaikat, setan ya setan aja,” kata Prada. Mayang mengacungkan jari tengahnya sebelum meninggalkan ruangan tersebut. “Sialan!” Prada hendak berdiri mengejar Mayang, tapi Jana menahannya. Brana berdecak. “Sekarang semakin kompleks, ditambah adik korban adalah teman Mayang. Kalian tidak memeriksa latar belakang Vindy dengan teliti?” “Aku dan Prada sudah memeriksa semuanya dengan teliti. Lagipula kalau mau menyalahkan soal data Vindy, salahkan saja Wisa.” “Tapi, kami memang nggak memeriksa latar belakang adik-adiknya. Kan bukan mereka juga yang mau kami bunuh.” “Lagipula, kalau aku dan Prada tahu fakta itu, tetap tidak akan membuat kami mengurungkan niat membunuh Vindy.” “Soal Mayang nggak usah khawatir lah. Dia mana berani sih membongkar rahasia keluarga.” Brana masih saja mengkhawatirkan segalanya. Mayang mungkin bisa dia tangani, tapi berbahaya jika ada hal kecil yang terlewat oleh adik-adiknya di lokasi kejadian. Hal sekecil apa pun bisa menjadi bukti bagi polisi. Selama ini nyaris aksi mereka tidak dapat dicium oleh polisi. Kalaupun ada dugaan-dugaan, polisi belum bisa membongkar fakta di balik pembunuhan yang mereka lakukan. Salah satu yang mengancam mereka juga sudah disingkirkan dengan mudah oleh Brana. *** Tiga bulan lalu   Hari pulang dari kantor tidak selarut biasanya, karena hari itu dia tiba-tiba merasa tidak enak badan. Masih pukul sembilan saat dia sampai di rumah dinas. Dia langsung mandi, lalu menelepon istrinya yang memang tinggal di luar kota. Tidak seperti biasa Hari mengutarakan kerinduannya. Dia juga membicarakan tentang program hamil yang selama ini selalu gagal. Bahkan dia berjanji akan mengambil cuti agar bisa bertemu dokter. Istri Hari menyambut ide baik tersebut. Dia tidak memiliki firasat, bahwa itu adalah terakhir kalinya dia berbicara dengan suaminya. Setelah beberapa menit berbincang, Hari pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Dia menghidupkan teko listrik. Lalu, dia mengambil bubuk kopi, memasukkan dua sendok kopi ke dalam cangkir. Malam ini dia ingin membuat kopi tubruk, karena tiba-tiba teringat oleh mendiang ayahnya yang menyukai kopi tubruk. Hari mengusap wajahnya, entah kenapa dia merasa lemas. Seharian tadi dia memang membuat laporan perkembangan kasus pembunuhan berantai. Mungkin kasus sulit itu telah menguras energinya. Tiba-tiba terdengar bunyi klik. Hari menoleh. Di dekat teko listrik seorang pria yang tidak dia kenal baru saja mematikan teko itu. Dia memakai jaket berwarna hitam dan sarung tangan dari bahan kulit. Hari memiliki firasat buruk. Dia mundur perlahan. Lalu, mendekat ke laci dapur tempat peralatan makan disimpan. Pria tidak dikenal itu tersenyum tipis. “Tidak mau membuatkan secangkir kopi untuk tamu Anda?” “Tamu tidak masuk ke rumah orang dengan mengendap-endap.” Hari mengamati dengan saksama wajah pria itu. Dia merasa familiar dengan wajah itu. Lelaki itu memiliki rambut ikal, daerah dagu dan atas bibir habis dicukur, rahang yang tegas, serta badan lebih tinggi daripada Hari. Hari terus menggali ingatan-ingatannya. Selama ini dia telah banyak bertemu dengan orang, tidak jarang ada sedikit kemiripan. “Kebetulan pintu depan tidak dikunci. Maaf kalau saya tidak sopan.” “Aku tidak pernah lupa mengunci setiap pintu.” Pria itu tertawa. “Oh saya lupa, saya tidak bisa membohongi polisi.” “Kalau begitu harusnya kamu tidak ceroboh mendatangiku sendiri.” “Tentu saja saya tidak sendiri. Teman saya menunggu di teras. Dia tidak mau masuk, karena katanya dia kenal Anda.” Hari menelengkan kepalanya. “Siapa?” Pria itu menutup rapat-rapat mulutnya. “Bisakah kita bicara sebentar? Apa ini tentang kasus yang aku tangani?” “Kita sudah terlalu lama bicara. Tapi, kalau Anda bersikeras ingin tahu, apa ini soal salah satu kasus yang sedang Anda tangani, maka jawaban saya iya.” Sejak awal Hari sadar, hal-hal seperti ini pasti akan terjadi. Pria yang mendatanginya jelas-jelas memiliki niat untuk membunuh. Hari masih belum mengingat di mana pernah melihat lelaki itu, tapi tiba-tiba dia membelalakkan mata. Akhirnya, dia bisa mengingat sesuatu. “Aku tahu, kamu…” “Iya. Anda pasti terlalu banyak memikirkan saya.” Lelaki itu semakin mendekat. Tangan Hari bergerak perlahan di belakang punggungnya merogoh laci. Lelaki itu melirik ke laci. “Tidak ada gunanya Anda membela diri. Dunia Anda akan berakhir dalam sekejap. Ucapkan selamat tinggal.” “Jangan meremehkanku!” Hari mengambil pisau, dengan cepat dia mengayunkannya ke arah lelaki di hadapannya, tapi lelaki itu dapat menghalaunya. Dia merebut pisau itu dengan mudah, lalu memelintir tangan Hari. Dan entah kenapa, tubuh Hari terasa semakin lemas. Hari tersungkur. Dia meraba-raba tubuhnya. Ada hal janggal yang dia rasakan di sekujur tubuhnya. Hari mengerang. Lelaki itu menyeringai, menyaksikan kematian Hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD