Seringai Mengerikan

1021 Words
Sekumpulan monyet-monyet hutan datang berbondong-bondong ke arah kami. Ukuran mereka tak besar, tapi terlihat memiliki karakter super aktif. Mereka melompat-lompat, sebagian lagi bergelayut di ranting-ranting pohon. Aku berniat berlari ke tengah proyek. Mengingat mereka berjumlah puluhan, lengkap dengan kuku tajam milik mereka. Setidaknya jika aku menggeser posisiku ke tengah proyek, di sana banyak pekerja, mereka bisa menghidupkan obor mengusir koloni monyet yang datang menyerang secara dadakan. Mungkinkan mereka menyerang kami karna kami telah merusak ekosistem mereka? "Sial! Benar kan kata aku tadi. Seharusnya hal seperti ini sudah harus diperhitungkan," gerutu Amar. "Kamu nyindir aku?" jawabku sinis. "Mau berdebat di saat seperti ini?" Aku menggelengkan kepala, wajahku sudah pias. Bertahan di sini adalah kebodohan. Memangnya siapa yang mau dicakar oleh koloni monyet yang terlihat seperti kelaparan. Kami melangkah mundur siap berlari. Kuda-kuda kami ambil untuk berlari. Namun sebelum langkah kami melesat jauh, nasib buruk menimpaku, makhluk pemilik tangan lihai itu merampas tas yang kutenteng. Seekor monyet yang bergelantungan pada akar ranting mengayunkan tubuhnya ke arahku. Tanpa sadar, dengan kecepatan serta keterampilannya, tas bermerek itu sudah berada di tangan yang berbeda. Aku memekik kala melihat tasku berayun terbang bersama makhluk kecil yang punya keahlian mencuri luar biasa. Bisa kupastikan jika hewan itu berada di Tanah Abang, keterampilannya tak kalah hebat dengan pencuri-pencuri yang sudah ahli di sana. Kupikir mereka datang untuk menyerang kami. Ternyata setelah mendapatkan tas bermerekku koloni itu pergi begitu saja. Jelas aku tak terima. Hei! Tas itu berisi dokumen penting, jika sampai hilang bisa mati aku. Tak terima dihina oleh koloni hewan berbulu abu-abu coklat itu. Dengan segenap keberaniann yang entah datang dari mana memusat ditubuhku. Aku berlari mengejar mereka. "Hei monyet! Berhenti!" Aku berlari, terus berlari, pandanganku hanya fokus pada tas yang sedang mereka ayun-ayun, sesekali dilemparkan dan diterima oleh monyet yang lain. Mereka benar-benar mengejekku. Sesekali beberapa kali kakiku terluka karena dicium ranting pohon berukuran pendek, tapi kuabaikan. Bagiku saat ini dokumen itu sangat penting. Lihat saja kalian! Tertangkap kubuat kalian jadi sate monyet, dan kuberikan pada Amar supaya lelaki itu bisa kembali waras. Entah sudah sejauh apa aku berlari, melewati banyak belukar, sampai napasku terengah-engah. Akhirnya sekumpulan monyet itu berhenti. Mereka berkumpul di satu pohon sangat besar. Satu monyet yang sedari tadi memainkan tasku memberikan tas itu pada sesosok monyet berukuran lebih besar di banding monyet-monyet lainnya. Aku menggulingkan blazer lengan panjangku, mengangkat kedua tangan serta menempelkannya pada kedua sisi pinggang. Wow aku terlihat seperti preman saat ini. “Turun kalian!" Telunjuk mengacung pada monyet yang menatapku dengan tatapan mengejek. Sialan! Jika ada anak panah habis kalian kutebas. Tas terjatuh tepat di atas kepala. Benar-benar, makhluk itu menjatuhkan harga diriku. Bagaimana tidak!? Tas itu kini menutupi hampir semua kepalaku. Terlihatku seperti orang bodoh! Aku mengeram kesal, mengepal kedua tanganku. Baik ... ini bukan saatnya bergulat dengan emosi. Sabar ... tarik napas ... Sabar. Masih berusaha menetralkan darah yang hampir mendidih. Terdengar sumbang suara sekelompok makhluk penista itu pergi menjauh. "Masih untung makananmu yang diambil." Amar mengangkat tas dari kepala. Rupanya ia ikut berlari mengejar kami. Ketika tas itu terangkat, kembali aku melihat dunia. Tak ada lagi monyet-monyet kurang didikan, tapi hanya ada monyet besar yang ingin kutinju hidungnya hingga berdarah. Monyet yang sedang menahan tawa melihat wajah merah padamku. Fix dia mengejekku! "Apa saja yang kamu bawa? Makanan?" "Bukan urusanmu!" Aku mengambil kasar tas dari tangannya. "Wi, dari dulu enggak pernah berubah. Masih aja suka bawa camilan ke mana-mana. Pantas saja mereka tertarik pada tasmu" Aku mendengkus kesal. Memutar mata malas. Segera Aku hentakan kaki berjalan kembali ke proyek. Sambil bersungut aku berdoa semoga para monyet itu keracunan camilan yang mereka rampas dariku. “Wi tunggu,” pintanya. Apa si Amar, macam anak perawan yang tak mau ditinggal. “Ngapain si ngikutin? Sana pergi sama temanmu,” jawabku, tak sama sekali membalikkan tubuhku pada manusia di belakangku. Aku terus berjalan menapaki belukar. “Siapa temanku?” “Para monyet tadi. Sama kelakuannya denganmu. Tak beradab.” Kukeluarkan semua racun ini di mulutku. Mau bagaimana lagi? Amarah sudah membuat ubun-ubunku berdenyut. Jika terus disimpan aku takut bagian atas kepalaku akan meledak. Sedetik kemudian lelaki itu terdengar terkekeh sinting! Sepanjang perjalanan kembali ke proyek aku terus mengentakkan kaki kesal. Sesekali meninju daun yang tak sengaja menabrak wajah. "Wi, hati-hati jalannya," Aku lupa ada makhluk menyebalkan masih ada di belakangku. Derap langkahnya terdengar mengikuti jejak langkahku. Kuabaikan saja lelaki tak bermoral itu. Namun, tidak berlanjut, sampai pada sesuatu yang janggal terasa. Langkah terhenti, melirik ke segala arah, semuanya tampak asing, gesekan daun-daun tertepas angin, pohon-pohon yang tak terlihat sama dengan awal kami berpijak. Semua ini semakin meyakinkan bahwa ini.... "Amar," lirihku, aku membalikkan tubuh, menatap lelaki yang sedang mengulum senyum. "Aku nggak jalan sejauh ini deh rasanya. Ini ko ...." lagi-lagi aku menoleh ke sekitar, suhu dingin semakin menusuk kulit tubuh. Ya Tuhan, kuharap ini mimpi. Amar mengikuti arah pandangku. Hingga pada satu titik, senyumnya memudar, berganti dengan wajah serius. "Jangan bilang!?" tanyaku. Amar mengangguk. Tak ada gurat keraguan di wajahnya, seolah ia meyakini apa yang terjadi di sini. "Nggak!" pekikan yang kuharap menjadi mantra keajaiban. “Jangan teriak dong ah. Nggak baik.” “Demi neptunus, Amar. Aku nggak kondisi ini,” racauku dengan suara parau. Mataku terlihat berembun. Ya, aku ketakutan. “Wi, jangan mengumpat.” “Gimana nggak mengumpat coba! INI MENYERAMKAN!!” "Simpan tenagamu, Wi. Sepertinya malam ini kita akan mengalami malam panjang seperti dulu?" Seringai licik tercetak jelas di bibir berbentuk perahu tersebut. "APA!??" Seringai itu tak bisa kuartikan, bahkan ketika tubuh itu mendekat, sangat dekat. Ingin aku melawan, ingin aku menyeret tungkaiku menjauh dari wajah penuh bius itu. Sungguh bukan salahku, salahkan kaki ini yang menghianati empunya. Sumpah, setelah ini aku akan mencaci maki habis kakiku karna telah membiarkan dirinya tersesap oleh gravitasi di bawah sana. Bagus! Setelah aku mencaci maki kakiku, kemungkinan dia akan memarahiku balik habis-habisan karna menyalahkannya. Mungkin sepasang alat penopang tubuh itu akan mengatakan bahwa otakku yang korslet karna tidak memberikan sensor untuk mengajak kaki melangkah pergi. Amar semakin mendekat, bahkan kini ... Sial! Napasnya memburu dekat dengan daun telinga. Aku memejamkan mata, siapa yang tidak masuk dalam gelombang ini jika menyadari kami hanya berdua di tempat asing ini. Mungkinkah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD