Afeksi itu Masih Ada

1047 Words
Suara saut menyahut makhluk hutan terdengar samar di telinga. Bersama desau angin yang menerbangkan surai tak tentu arah berhasil memecah keheningan antara aku dan pria berkacamata tersebut. Tatapan Amar penuh keyakinan, seolah mangsa sudah bisa ia terkam saat ini juga. Demi apa pun bulu kudukku belum juga kembali ke tempat semula. Terlebih melihat mata setajam elang semakin menunjukkan pesonanya. Eerrrr baiklah, aku akui, Amar Sayid bukan tipe lelaki yang mudah menyerah. "Takdir Tuhan kali ini nggak akan aku sia-siakan. Kamu mengerti?" Amar mengayun langkahnya semakin dekat. Bahkan dia hanya menyisakan beberapa cm saja jarak antara wajahku dan wajahnya. Aku tertegun. Dan lagi, mata bermanik legam dengan bulu mata lentik yang tertutup kaca mata tersebut mengeluarkan sihirnya. Sihir yang sedari dulu sudah mengadidaya jiwa raga wanita menyedihkan ini. Sihir yang mampu membuat gadis muda berani melangkah jauh keluar di saat ayahnya mengeluarkan ultimatum paling mengerikan. Dan sihir itu pula yang kini menjadikan aku sebagai wanita munafik yang tak bisa lepas dari pesona sang raja lapangan. Sejenak kami tertegun satu sama lain. Jarak intens ini membuat lututku seperti tak bertulang. Segenap tenaga kukerahkan untuk melawan rasa gugup yang tercipta akibat hembus napasnya yang menerpa kulit wajah. Aku tak boleh kembali masuk dalam mantra sialan, ini! Ia tak boleh kembali memperdayaku seperti ini. "Bisa anda mundur?" "Nggak akan! Kamu sudah tahu pasti kalau aku nggak dilahirkan untuk menjadi pengalah." Dia justru semakin berani meraih pinggangku. Terkesiap. Aku mengumpulkan puing-piung kesadaran. "Singkirin tangan penuh dosamu itu!" perintahku setengah memekik. Amar tersentak, kemudian kulihat ia menarik napas dalam. Amar Kemudian memundurkan diri beberapa langkah. "Kamu benar! Kamu berubah. Berubah karena nggak mengenalku dengan baik. Padahal, dulu kamu yang paling meyakini kalau kamu orang satu-satunya yang paling ngerti aku. Nyatanya? Kamu malah pergi dengan kopermu itu, di saat aku tertidur setelah peraduan kita yang mengesankan. Ah ya ... dan kamu tahu, Wi? Aku nggak akan pernah bisa menerima penghinaanmu terhadap aku karena telah beraninya ninggalin aku, malam itu!" Apa dia sakit jiwa? Lupa ingatan? Atau apa? Setelah apa yang ia lalukan sekarang ia menyerangku? Lupakah dirinya siapa yang memantik api di dalam rumah tangga kami dulu?! "Kalau nggak karna kamu yang menghangatkan ranjang itu dengan wanita lain, nggak mungkin aku meninggalkanmu, bodoh!" hardikku. Kali ini aku yang melangkah. Menghunuskan tatapan intimidasi ke netra Amar yang sedang menatap dengan ekspresi wajah yang tak kusangka. Apa ini? Iris matanya mendung? Oh Tuhan, sepertinya dia harus kuberi thropy sebagai aktor dengan katagori pemeran acting terbaik. Dia berlaku seolah ia korban. Dan aku pelakunya! Bolehkan aku terbahak? "Aku harap otakmu masih berfungsi dengan baik, Amar. Atau memang sudah tak ada isinya di dalam sana?" Jemari mengacung tepat di hadapan kepalanya. Aku menatap angkuh di depan wajah yang semakin terlihat sendu. "Aku nggak salah!" tukasnya. Dengan penuh keyakinan ia kini menyerangku kembali. Menatap semakin dalam indra penglihatanku. Tangannya terangkat, meraih telunjuk yang berdiri angkuh di atas kepala. Namun, segera kutepis ketika tangannya hendak meraih jemariku. "Terus siapa yang salah, aku? Salah aku gitu, kalau aku memergoki suamiku sedang bercinta dengan wanita berambut blonde tersebut?” Kuhirup udara banyak-banyaknya, Kurasa untuk serangan kali ini aku membutuhkan stok oksigen lebih banyak. "Kamu benar! Salahku yang datang tiba-tiba, menggagalkan suara ringkikan kenikmatan yang akan terjadi di hari itu." "Dengerin aku!" Amar kembali meraih pinggangku, menyatukan tubuh kami tanpa ada jarak. Aku kembali tersentak. Wajahnya kembali berada di jarak terdekat. Bahkan kini lebih dekat dari sebelumnya. "Aku nggak sepenuhnya salah! Kalau bukan karna—" Kalimat Amar terpotong oleh suara dering di dalam tas yang kutenteng. Perlahan tangan kokoh itu melepas pinggulku, memberikanku ruang untuk mengangkat panggilan telepon. Aku meraih ponsel di dalam tas. Dalam layar bergambar tersebut. Nama ayah tertera angkuh. Segera kugeser icon merah tersebut, menyeretnya ke atas. "Hallo Yah.” Bibirku memang bicara dengan benda berbentuk pipih di tangan. Namun, mataku masih menatap lurus pada lelaki yang masih berdiri kokoh di hadapanku. Tepat saat aku menyebutkan nama siapa yang menghubungiku, Amar tiba-tiba saja menunjukkan wajah pias, ia memalingkan muka. Bahkan kini dia melenggang pergi menyeret langkahnya menjauh dariku, dan mengilang dari penglihatan. Oh, lihatlah! Betapa pengecutnya lelaki itu. Setiap ia mendengar nama ayahku, layaknya seekor ikan teri bertemu dengan paus, ia akan pergi menghindar. Harusnya aku tak lagi heran, bukan? Sampai pada panggilan berakhir sosok itu tak lagi muncul. Berbicara tentang Amar dan orang tuaku. Mereka memang seperti kutub utara dan kutub selatan yang tak bisa disatukan. 7 tahun lalu, saat kami diperdaya cinta, dengan mudahnya aku melangkah keluar dari rumah orang yang dari kecil memberiku popok dan makanan. Dan saat itu, aku tak pernah mempermasalahkan Amar yang tak pernah secara jantan mendatangi ayahku kembali untuk ke tiga kalinya. Mengingat kali pertama dan kedua Ayahku telah memberi racun mematikan keluar dari mulutnya, disemburkan ke arah bujangan berusia 23 tahun itu. Namun, alih-alih menyerah. Kami justru sepakat untuk kabur dari orang tua kita masing-masing. Ah, salah! Amar yang memaksaku untuk pergi dari orang tuaku dengan iming-iming cinta sejati. Aku gadis bodoh yang diperdaya cinta seperti masuk ke dalam pusara hipnotis itu dengan mudahnya. Dan siapa sangka, kisah anak dara ini justru berakhir memilukan. Baiklah. Itu masa lalu. Namun, lihatlah sekarang. Jambang halus telah tumbuh mengelilingi rahang. Artinya ia sudah dewasa, bukan? Tapi kenapa dia masih memelihara sikap pecundangnya. Bahkan lelaki paruh baya yang baru saja menghubungiku membuka kembali tangannya lebar-lebar menyambut anaknya yang telah membelah dadanya. Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang. Artinya sudah waktunya aku harus kembali pada pekerjaan yang melambai-lambai di depan mata. Menuruni tangga 5 lantai. Aku terhenti tepat di tangga terakhir dan melihat lelaki bertubuh tegap itu sedang berbicara bersama beberapa orang yang menggunakan topi dan sepatu safety. Sekuat tenaga kubisikkan pada sukmaku sendiri bahwa semua sudah berakhir. Ini hanya tentang perkara pekerjaan. Tak lebih. Menghela napas panjang, aku mendongakkan kepala, berjalan dengan wajah dingin tak tersentuh. Berharap dengan ekspresi ini, wajah wanita munafik ini tersamarkah dengan muka penuh keangkuhan. "Apa bisa sekarang kita lanjutkan?" ucapku menginterupsi obrolan kedua lelaki di hadapanku, tentu saja setelah perbincangan mereka selesai. Lelaki paruh baya dengan rambut yang beruban merendahkan punggungnya takzim, diikuti senyuman dan kemudian berlalu meninggalkan kami. Amar memutar tubuh. Mata teduh itu kembali menyambut hangat. Ada senyum tipis di kedua sudut bibirnya. Jangan ditanya, wanita bodoh ini selalu saja meremang saat berhadapan dengan lelaki yang sudah menancapkan sebilah pisau. Hei otak dan hati, bersatulah. Bantulah empumu ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD