Setelah foto pernikahan yang terselip angkuh di dompet berubah menjadi kertas-kertas yang lebur. Setelah 8 bulan kemudian surat undangan datang merobek sukma hingga ke dasarnya. Dan setelah semua upaya yang kuperbuat agar aku melupakan seseorang yang telah membuat jiwa biru lebam.
Di saat semua yang telah kulalui, siapa sangka takdir dunia sedang mengejekku saat ini. Setelah 5 tahun kubuang jauh namanya di sanubari, kini ia duduk angkuh di depanku dengan tumpukan berkas ditangannya.
"Tidak ada yang berubah," tuturnya. Suaranya seperti panggilan malaikat maut yang berhasil membuat tubuhku bergetar. Aku menulikan telinga, memilih untuk membuka lembaran-lembaran bahan meeting hari ini.
"Masih sama cantiknya." Baik, kurasa itu pelecehan. Masih berusaha mengabaikannya meski kurasakan manik matanya menatap lurus ke wajahku. Kadar oksigen di sini melebihi dari kebutuhan normal untuk kami para manusia, tapi kenapa rasanya stok oksigen yang kuhirup kian menipis?
Baiklah. Dewi, mari fokus pada layar laptop yang menyala.
"Wi, kemarin kita belum sempat mengobrol di kantor. Sekarang bolehkah kita mengobrol? Apa ka—"
"Bisa kita mulai, Pak?" Aku menyela ucapannya. Demi Tuhan aku tak ingin membahas apa pun dengannya selain urusan pekerjaan.
Amar membuka agendanya, kemudian menyeret di arahku. "Itu desain dan bahan-bahan yang akan kita gunakan." Aku meraihnya. Mengamati lembar demi lembar gambar yang tertera di atas puluhan helai kertas tersebut.
"Kamu memang tidak berubah, Wi. Baguslah, setidaknya aku tau cara menanganinya," ucap Amar. Baik, aku terintimidasi. Bahkan untuk sekedar menengadahkan kepala saja kini rasanya sulit. Tikaman Masa lalu itu menghasilkan luka warna hitam yang sulit dihapus. Jadi bagaimana bisa kuanggap ini mudah?
"Aku merindukanmu, Wi." Jemariku terhenti pada tumpukan berkas, tepat di halaman sepuluh. Rasa sesak secara tiba-tiba datang meninju jantung.
"Bisakah kita hanya membicarakan perihal pekerjaan, Pak?" Sialnya suaraku terdengar parau. Rasa sesak semakin menjalar. Jika lelaki berkemeja coklat itu melihat iris mataku, niscaya ia kan melihat titik-titik embun yang bersiap menjadi rinai, bahkan menderas jika tak segera aku menanganinya.
"Benar. Kamu masih sama."
"Berbeda," tukasku.
"Sama. Seperti aku yang masih sama, tidak pernah berubah."
"Cuma karena parfum kamu masih memiliki aroma yang sama, bukan berarti tidak ada yang berubah," selaku dengan mata yang masih menatap lurus ke arah kertas, dengan jemari yang kembali menyisir halaman demi halaman. Semoga Amar tak menyadari tanganku yang bergetar.
"Bahkan kamu masih ingat aroma parfumku. Bukankah itu bukti jika tak ada yang berubah di antara kita?" Sekuat tenaga wanita dengan ribuan luka bekas sayatan ini mencoba mendongakkan kepala kembali. Menunjukkan kilatan mata angkuh kepada Amar, si lelaki penghianat yang sudah merusak duniaku. Ia harus tahu, bahwa semuanya telah berubah. Meski tak seluruhnya, tapi akan! Ini hanya soal waktu dan usaha.
"Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya manusia yang memiliki daya ingat yang kuat. Hanya soal parfum, aku bisa menghafal semua parfum orang-orang yang kukenal."
Juga mengingat dengan kuat di mana ranjangku digoyangkan oleh dua orang yang menjijikkan.
"Parfum lelaki?" Amar bertanya dengan nada sedikit naik. Kulihat dadanya sedikit mengembung
"Aku tidak sebejat kamu yang suka menghangatkan ranjang bersama cincin nikah yang masih tersemat di jari manis.” Ekor mataku melirik ke arah jari manisnya. Aku tersenyum sumir melihat polosnya jari kokoh tersebut. Lihatlah! Bukankah itu bukti bahwa ia memang lelaki b******n. Mungkin kah itu juga yang ia lakukan dulu. Menyematkan cincin di jari manis ketika berada di dalam rumah, dan melepas ketika di luar rumah. Luar biasa, terlihat seperti kucing innocent ketika di kandang. Dan berubah menjadi singa liar ketika terlepas dari kandang. Ck, malang sekali nasib istrinya kali ini.
"Kamu masih marah?" Aku menatap balik sepasang netra yang menatapku dalam. Sejenak aku tertegun, manik legam yang ditutupi kaca mata, dan lesung pipi yang terlihat di saat ia tersenyum begitu mudahnya menghipnotisku. Jika bukan karna otakku kembali mentransfer adegan menyakitkan tersebut, mungkin ke angkuhanku saat ini akan ambruk seketika hanya karna pesona lelaki itu.
Aku mencoba mengembalikan segenap kewarasanku. "Saya sudah mengirim denah ke email anda, silakan anda pelajari," tegasku, lalu bergegas membereskan map di atas meja.
"Wi."
"Maaf, Pak. Alangkah baiknya anda memanggil saya secara formal, karena saat ini kita kolega dan berada dalam jam kerja." Aku melirik arah jarum jam yang menempel di pergelangan.
"Sudah waktunya makan siang, saya pamit dan kita bertemu lagi satu jam setelah makan siang. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Permisi.” Aku melenggang pergi mengayun sepasang tungkai sejauh mungkin, rasa sesak diiringi rasa rindu bukanlah perpaduan yang epik.
Aku berbohong, tak ada makan siang, tak ada rasa lapar, semuanya seolah tertelan oleh kesedihan yang terus menghunjam demikian dahsyat. Menaiki tangga ke gedung bangunan yang baru berdiri sebagian. Gedung yang hampir terbengkalai karena dijilat tikus berdasi. Sampailah aku pada lantai teratas. Dari atas sini mata dimanjakan dengan pemandangan alam super cantik. Hamparan hijau mengelilingi satu gedung yang sedang kupijak. Gedung yang akan menjadi resort ini memang merupakan satu-satunya resort perdana dari Putra Jaya Group yang di didirikan di tengah hutan. Dobrakkan inovasi terhadap semakin banyaknya para peminat hal-hal yang anti mainstream.
Di atas gedung ini ingin rasanya aku teriak, mengeluarkan semua sesak yang bersemayam. Di antara milyaran tempat, di antara banyak waktu, kenapa justru Tuhan mempertemukan kami kembali. Di sini, sebagai kolega yang akan mengurus pembangunan resort ini beberapa bulan ke depan. Artinya aku akan terus bersinggungan dengan lelaki berlesung pipi tersebut.
Kiraku setelah hari di mana kuseret kaki keluar dari tempat menyedihkan, itu. Aku akan baik-baik saja. Nyatanya, dia masih tak henti menyiksa dalam kehadiran tak kasat mata. Kiraku setelah biru lebam itu ia torehkan saat, itu. kini sudah sembuh, terhapus waktu, tergerus aktivitas. Rupanya hanya sedikit disiram air garam luka itu sudah kembali menganga.
Oh, Tuhan bagaimana ini?
"Kamu di sini?" Aku tersentak. Suara bariton itu mampu membuat kaki ini meremang seketika. Tak sama sekali ingin menoleh. Aku memilih memandang lurus ke arah hamparan hijau tak berujung. Membiarkan suraiku bergerak bebas terbawa angin.
"Ini." Amar menyodorkan sesuatu. Pandanganku menukik pada gelas berisi coklat hangat dengan aroma yang menyapa indra penciuman.
"Ini bukan dari suamimu, tapi dari rekan kerjamu."
Sialan Amar! Dengan lancarnya mulut racun itu mengatakan kata 'Suami'. Membuat darah ini mendidih seketika.
"Kita sudah bercerai!"
"Oh ya? Aku tidak merasa seperti itu," jawabnya dengan penuh percaya diri. Aku
Mendesis lirih, kupejamkan mata yang terasa memedih. Lelaki laknat ini memang paling jago dalam hal memprovokasi. Sayangnya tak semudah itu Bung. Dewi Lisa, wanita ini sudah memasang kokohnya dinding di dalam jiwa raganya. Jelas itu tercipta hasil karya dari pengihanatan lelaki yang ingin kucakari habis wajahnya saat ini juga.
"Jangan bercanda. Aku sedang tidak ingin melakukannya. Saat ini yang harus kita lakukan hanya fokuskan diri kita agar proyek ini. Aku si berharap pekerjaan kita bisa goal sebelum waktu yang ditentukan. Rasa-rasanya aku akan merasakan mual setiap hari jika terus berada di tengah hutan ini. Kamu tahu, kan. Angin di sini terlalu menusuk." Aku berucap seraya memperlihatkan senyum termanis di hadapannya. Senyum yang merupakan sindiran itu rupanya berhasil membuat Amar memandangku dengan wajah pias.
"Aku tau, kamu tidak akan membuat semua ini jadi mudah. Tapi aku berharap kamu tidak pernah lupa siapa aku. Dengan keberanian aku dulu membawa anak gadis orang. Kupikir itu sudah cukup menggambarkan bagaimana ambisiusnya aku untuk mendapatkan sesuatu yang aku inginkan. Ya meski tak sulit, karena gadis itu tak perlu dipaksa. Bahkan dengan sukarela ia menawarkan tangannya untuk aku genggam."
Sial seribu sial. Ucapan dengan satu tarikan napas itu mampu membuat bulu kudukku berdiri.