Mempertanyakan Sang Atasan

1092 Words
“Maaf, Pak. Tapi harga diri saya akan semakin habis jika saya masih melanjutkan pekerjaan ini. Saya permisi,” ujar Akira menolak ajakan Albert. Gadis itu langsung berlari keluar dari kantor. “Tunggu, Akira,” panggil Albert yang tak dihiraukan oleh Akira. Akira terus berjalan membawanya lukanya seorang diri. Tak peduli meski Albert terus memanggilnya beberapa kali. Dia tidak bisa berada lebih lama di tempat itu. Apa yang terjadi padanya hari itu sungguh memalukan. Dia merutuki nasibnya yang begitu buruk. Deretan peristiwa itu pun terbayang satu persatu. Kesuciannya direnggut secara paksa, hubungan percintaannya yang berakhir dengan Daffa, mengandung janin tanpa tahu siapa ayahnya, dan kini juga dipermalukan di tempatnya bekerja. Akira sadar suatu saat kejadian itu pasti dia alami. Sekuat apa pun dia berusaha menyimpan aib itu pasti akan terbuka juga. Kenyataannya pun begitu. Kebohongannya sudah terkuak tanpa menunggu perutnya membesar dulu. Akira menangis. Sekarang gadis itu merasa sendirian. Tak ada tempat bersandar di tengah banyaknya penderitaan. Bahkan pada ibu yang selalu ada untuknya, Akira tidak bisa lagi menceritakan semua masalahnya. Sekarang semua orang sudah tahu tentang kehamilannya. Harga dirinya sudah terinjak-injak. Satu-satunya hati yang tersisa dan ingin dia jaga hanyalah Sofia. Semua orang boleh menghinanya, tapi Sofia tetap tidak boleh menerima imbasnya. Ibunya tidak boleh tahu bahwa kini putrinya sedang mengandung. Akira berpikir keras mencari cara agar ibunya tidak mengetahui masalah itu. “Akira, tunggu!” panggil Albert yang ternyata masih berlari menyusul Akira. Kaki-kaki jenjangnya sangat membantu sehingga dia dapat mengejar Akira. Laki-laki itu pun berdiri di hadapan Akira dan menghadang langkahnya. “Ada apa lagi, Pak?” tanya Akira tak nyaman diikuti. “Aku memintamu kembali bekerja. Kenapa kamu malah pergi?” tanya Albert. “Apa bapak tidak melihat kondisi saya sekarang? Apa bapak tidak menyaksikan semua yang sudah saya alami? Saya masih punya rasa malu untuk kembali bekerja seperti biasa. Tidak mudah bagi saya untuk mengabaikan apa yang sudah terjadi barusan,” jawab Akira. “Tapi apakah pergi bisa menyelesaikan permasalahan?” “Tidak juga. Tapi saya tidak bisa bekerja dalam keadaan terluka. Tidak ada seorang pun yang bisa memahami apa yang saya rasakan saat ini,” ujar Akira dengan isak tangis yang belum reda. Tanpa diduga, Albert langsung merengkuh tubuh itu dalam pelukannya. Dia mendekap Akira begitu erat. Membiarkan kepala gadis itu bersandar di pundaknya. “Kamu tidak sendirian, Akira. Aku ada bersamamu,” ucap laki-laki itu sembari membelai lembut rambut Akira. Sentuhan Albert seakan-akan memberikan kasih sayang. Sementara Akira semakin menumpahkan tangisnya. Dia merasa memiliki tempat untuk berteduh dari terpaan masalah walau hanya sejenak. Setelah beberapa saat, Akira pun menyadari sikapnya. Dia langsung melepaskan diri dari pelukan Albert. Akira kembali berusaha menguasai diri agar tidak terlalu terbawa suasana. Dia tidak boleh lengah.  Bagaimana pun juga dia belum tahu apakah penyebar berita kehamilan itu adalah Albert atau orang lain. “Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu,” kata Akira. “Aku ingin berbicara tapi bukan antara seorang bos dan asisten. Kita sama-sama tahu bahwa hanya kita berdua yang ada di rumah sakit hari itu. Hanya aku dan kamu yang tahu penjelasan dokter. Aku jelas tidak mungkin membongkar aibku sendiri. Kamu tentu mengerti, satu-satunya orang yang mungkin aku curigai adalah kamu,” ungkap Akira membuka apa yang ada dalam pikirannya. “Kamu menuduh aku yang memberitahu hal itu pada Stevia?” tanya Albert. “Aku hanya berusaha mencari jawaban,” kata Akira singkat. “Coba pikirkan dengan baik, Akira. Apa untungnya aku menyebarkan berita seperti itu pada seluruh karyawan di kantor? Lagi pula jika aku ingin bertindak, aku pasti sudah melakukannya sejak awal mengetahui kehamilanmu.” “Kalau bukan salah satu di antara kita, lalu siapa lagi?” ujar Akira frustasi. “Tenangkan dirimu. Coba ingat-ingat dulu apakah kamu pernah ketahuan bertingkah aneh di hadapan Stevia. Aku pernah mendengar dia berbicara dengan Kania suatu ketika. Dia memang membicarakanmu. Kalau tidak salah, dia mengatakan pernah mendapatimu mual-mual di toilet dan juga membaca artikel-artikel kehamilan. Mungkin itulah yang membuat dia curiga,” jelas Albert beralibi. Akira pun teringat pada suatu hari ketika dia meninggalkan komputernya dalam keadaan menyala setelah membaca tentang morning sickness. Kini dia merasa benar-benar ceroboh. Dia juga pernah bertemu dengan Stevia saat dia sedang muntah di toilet kantor. “Kalau mengenai surat dari rumah sakit itu, aku sendiri tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkannya. Tapi satu hal yang aku tahu, Stevia itu bisa melakukan apa saja ketika dia menginginkan sesuatu. Sudahlah, Akira. Tidak ada gunanya juga mengusut penyebar isu itu karena semuanya juga sudah terjadi. Sekarang kamu hanya perlu tenang dulu.” Akira percaya saja dengan apa yang Albert katakan. Gadis itu sama sekali tidak menaruh curiga. Kebaikan yang ditunjukkan Albert sudah menutupi semuanya. “Jadi apakah kamu masih belum mau kembali ke kantor?” tanya Albert. “Aku mau pulang saja,” jawab Akira singkat. “Kalau begitu aku akan mengantarmu. Kamu tunggu sebentar di sini dan aku akan mengambil mobil. Ingat! Jangan ke mana-mana sampai aku tiba,” titah Albert kemudian segera berlari kembali ke arah kantor. Tak lama kemudian Albert datang dengan mengemudikan mobilnya. Dia menyuruh Akira masuk. Entah bagaimana Akira merasa belakangan ini dirinya lebih akrab dengan sosok Albert. Tidak seperti ketika awal-awal bekerja. Interaksi mereka sangat kaku bahkan Akira sempat berpikir akan terus bermusuhan dengan atasannya sendiri. Albert mengantar Akira sampai di depan rumah. Dia menolak mampir dan langsung melajukan mobilnya kembali ke kantor. Kedatangan Akira tak lepas dari pertanyaan Sofia. Lagi-lagi putrinya itu pulang lebih awal. Bahkan dia tahu benar Akira baru berangkat sekitar dua jam yang lalu. “Kamu pulang lebih cepat lagi hari ini, Ira. Apa ada sesuatu yang tertinggal?” tanya Sofia. “Akira memang sengaja pulang lebih cepat, Ma. Ada yang harus aku urus dulu. Aku akan memberitahukannya lain waktu pada mama,” jawab gadis itu singkat dan langsung berlalu ke dalam kamarnya. Ibunya tidak perlu tahu apa yang telah terjadi di kantor. Akira menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Merasakan lelah lahir dan batin. Takdir dengan bercanda begitu keterlaluan pada hidupnya. Sekelebat kejadian di kantor kembali melesat dalam ingatannya. Sekarang semua orang di sana sudah tahu bahwa dia hamil di luar nikah. Setelah itu tidak ada ada seorang pun yang mau memandangnya dengan baik. Dia akan terlihat begitu buruk di hadapan mereka. Akira berpikir apakah dia mampu untuk melanjutkan karirnya di Lixie Company. Jika dia berhenti maka dia kehilangan sumber pendapatan. Dia harus kembali berjuang mencari pundi-pundi rupiah dari pekerjaan lain. Tapi jika dia memilih tetap bekerja di sana, maka dia harus berusaha bertahan sekuat tenaga. Akira harus menebalkan muka dan menutup telinga dengan semua cemoohan yang ada. Pilihan-pilihan itu semakin membuat Akira merasa pusing kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD