Bermuka Dua

1441 Words
Beberapa hari terakhir suasana kantor terasa cukup memanas. Para karyawan sudah berkerumun dan mulai berbincang-bincang tentang kabar yang sedang terendus. Isu yang disebarkan oleh Stevia sudah menarik banyak perhatian dari karyawan baik laki-laki maupun perempuan. Sudah beberapa hari belakangan itu Akira mendapatkan tatapan aneh dan bisikan-bisikan tidak nyaman tentang dirinya. Akira belum tahu pasti bahwa orang-orang itu sedang membicarakan tentang kehamilannya. Hanya saja tatapan-tatapan mengintimidasi itu cukup membuatnya salah tingkah. Pagi itu Akira justru dihadapkan pada permasalahan yang lebih besar. Stevia mulai berulah dan melancarkan aksinya. Akira datang lebih siang dari biasanya karena dirinya masih mengalami morning sickness yang cukup parah. Saat Akira menginjakkan kaki di pintu utama kantor, Stevia langsung menghadangnya. Akira yang terkejut tak sempat bertanya apa pun karena Stevia langsung menarik tangan gadis itu agar ikut bersamanya. Stevia menempatkan Akira di depan para karyawan yang sudah berkumpul. Dia sudah menyusun rencana untuk membongkar rahasia besar Akira hari itu. “Ada apa ini? Kenapa semua berkumpul di sini?” tanya Akira kebingungan. “Jangan terkejut seperti itu. Kami semua sengaja berkumpul di sini karena ingin memberikan kejutan padamu, Akira” jawab Stevia. Akira cukup mengenal Stevia sebagai manajer pemasaran meskipun dia tidak akrab dengan perempuan itu. “Kejutan apa yang kamu maksud?” tanya Akira masih kebingungan. Tatapan para karyawan sudah membuatnya merasa risih. Dia memiliki isyarat ada hal buruk yang akan terjadi. “Kami semua ingin mengucapkan selamat dan kami turut berbahagia untukmu,” ucap Stevia dengan tersenyum licik. Dia begitu tak sabar ingin membuka aib Akira di depan semua orang. Itu sangat menyenangkan baginya. “Selamat untuk apa?” “Untuk apa lagi kalau bukan selamat atas kehamilanmu. Sudah berapa bulan usia kandungannya?” kata Stevia langsung membuat Akira terperangah. Dia tidak tahu bagaimana Stevia dan para karyawan lain bisa mengetahui tentang hal itu. “Apa yang kamu katakan ini, Stevia?” ujar Akira mencari kemungkinan untuk berdalih jika kesempatan itu masih ada. “Jangan berpura-pura bodoh lagi, Akira. Kami sudah tahu semuanya. Kenapa kamu merahasiakan kehamilan itu dari kami semua? Bukankah ini sebuah kabar baik? Bahkan mungkin kita bisa membuat sebuah perayaan untuk itu. Oh ya, kami begitu penasaran pada ayah dari anakmu. Kapan kalian menikah? Apakah sebelum kamu bekerja di perusahaan ini? Karena kita tidak pernah mendapatkan undangannya.” Perkataan Stevia telah membakar diri Akira menjadi abu. Dia tidak punya keberanian untuk menghadapi para karyawan yang sudah melucuti harga dirinya satu persatu. Dia juga tidak punya jawaban untuk pertanyaan yang dilontarkan Stevia. “Apa yang dikatakan Stevia itu benar, Akira. Katakan siapa suamimu agar kami semua tidak salah sangka dan menuduhmu dengan buruk,” imbuh salah satu karyawan. “Ya itu benar. Kita butuh kejelasan apakah ini hanya fitnah atau fakta,” timpal lainnya. Mereka kembali berbisik-bisik satu sama lain. Tak sabar menunggu jawaban dari Akira. Sementara itu pikiran Akira dipenuhi oleh kebimbangan. Jika dia mengaku sudah menikah maka kebohongannya akan semakin bertambah. Lagi pula dengan mengaku telah memiliki seorang suami bukan berarti bisa membuat Stevia diam dan berhenti begitu saja. Mereka pasti akan menuntut bukti yang lainnya seperti surat nikah, foto pernikahan, atau bahkan minta dikenalkan langsung pada suaminya. Akira tidak punya persiapan matang untuk membuat kebohongan sebesar itu. Dia juga tidak tahu bagaimana Stevia bisa mengetahui tentang kehamilannya. Apa mungkin Albert yang sudah membocorkan berita itu karena hanya sang atasan satu-satunya orang yang tahu. Memikirkan hal itu membuat amarah Akira bergejolak pada Albert. Dia berpikir bosnya itu benar-benar tega dan tak punya hati. “Tenanglah dulu. Aku memang belum menikah. Jadi bagaimana mungkin aku hamil? Lagi pula siapa yang sudah mengatakan hal itu?” ujar Akira berusaha menghadapinya dengan bersikap tenang. Menunjukkan ketakutan hanya akan memperkuat dugaan bahwa dia sedang berbohong dan berusaha menutupi kenyataan. “Sudahlah, Akira. Kamu tidak perlu mengelak dan bersandiwara seperti ini di hadapan kami semua,” balas Stevia. “Dan kalian semua harus percaya bahwa apa yang aku katakan itu benar. Akira memang belum menikah. Tapi syarat orang bisa hamil tidak harus dengan menikah lebih dulu bukan? Akira sedang hamil dan aku punya buktinya.” Perkataan Stevia kembali membuat Akira getir. Dia tidak tahu bukti apa yang dimiliki Stevia. Jika sampai bukti itu benar-benar ditunjukkan pada semua orang, maka hari itu harga dirinya benar-benar akan hancur berserakan. “Kalian semua harus melihat ini. Itu adalah surat keterangan dari rumah sakit yang menyatakan dengan jelas bahwa Akira sedang hamil,” kata Stevia sembari memperlihatkan gambar di ponselnya pada karyawan itu satu persatu. Para karyawan yang ada di sana menatap tak percaya. Ternyata berita yang disebarkan Stevia benar adanya. Akira menatap nanar gambar di ponsel Stevia. Dia tidak tahu bagaimana Stevia bisa memiliki surat itu. Sekarang dirinya benar-benar tidak bisa mengelak lagi. Aibnya sudah tak terlindungi. “Jadi apa yang akan kau katakan kali ini, Akira?  Jika kamu sendiri mengakui bahwa kamu belum menikah, lantas anak siapa yang sedang kau kandung itu? Anak haram hasil hubungan gelap?” ucap Stevia terasa sangat menusuk bagi Akira. Lidahnya kelu untuk memberikan tanggapan. “Kenapa mulutmu terkatup rapat, Akira? Apa kamu tidak sadar bahwa hal ini bisa mencoreng nama baik perusahaan jika sampai diketahui media. Bagaimana menurut kalian semua? Apa yang sebaiknya dilakukan pada karyawan seperti dia?” tanya Stevia meminta pendapat karyawan lainnya yang ikut menjadi penonton. “Itu benar. Berita ini bisa merusak citra perusahaan,” ujar salah satu karyawan. “Minta agar Pak Albert memecatnya saja,” imbuh yang lain. “Iya. Dia harus keluar dari sini.” “Aku risih satu kantor dengan perempuan seperti dia.” Suara itu saling bersahut-sahutan memekakkan telinga. Air mata mulai menggenang di kelopak mata Akira. Perlahan menetes menjadi tangis yang nyata. Dia hanya bisa diam ketika dirinya dipermalukan sedemikian rupa. Dia tidak punya kekuatan untuk melawan. Jangankan menyelamatkan karir, menyelamatkan harga dirinya saja dia tidak mampu. “Kenapa kamu menangis, Akira? Bukankah suatu hal yang membahagiakan karena kamu akan menjadi seorang ibu,” ungkap Stevia belum mengakhiri aksinya. Dia mendekat dan berdiri tepat di samping Akira. “Jadi bagaimana ceritanya kamu bisa sampai hamil di luar nikah? Kamu telah melakukan perbuatan terlarang itu dengan kekasihmu atau sebenarnya kamu sudah jual diri?” “Cukup, Stevia!” Bentakan keras itu sontak membuat perhatian kerumunan itu teralihkan. Mereka melihat ke arah asal suara. Entah sejak kapan mereka tidak menyadari bahwa Albert sudah ada di sana. CEO itu sudah berdiri tegap bersama Levin di sampingnya. Albert menyaksikan segala yang dilakukan Stevia dan karyawan lainnya pada Akira. Stevia pun ikut terkejut dengan kehadiran Albert yang tiba-tiba. Sekarang mereka semua hanya bisa menundukkan kepala di hadapan atasan mereka. “Apa yang sudah kamu lakukan? Siapa yang memberimu hak untuk membuat keributan seperti ini di kantorku?” kata Albert tampak marah pada Stevia. “Saya hanya ingin membongkar kebohongan gadis ini saja, Pak. Demi nama baik perusahaan. Media pasti akan menulis berita-berita buruk jika sampai mendengar bahwa di perusahaan kita ada karyawan yang hamil di luar nikah. Itu akan berpengaruh terhadap pandangan investor dan pihak-pihak lainnya,” jelas Stevia membela diri agar tidak disalahkan. Dia berharap Albert akan memihaknya dan memecat Akira saat itu juga. “Apa pun alasannya, bukankah kamu juga seorang perempuan? Apa pantas kamu melakukan hal serendah ini pada perempuan lain? Apa kamu tidak berpikir bagaimana jika hal yang sama terjadi padamu? Seandainya kamu yang berada di posisi Akira dan dipermalukan seperti ini apakah kamu tidak akan merasa hancur?” jawab Albert tak sesuai dengan apa yang Stevia inginkan. Ucapan laki-laki itu terkesan membela Akira. “Tapi, Pak....” “Sudah cukup kamu berbicara terlalu banyak. Saya tidak mau mendengar apa pun lagi,” kata Albert memotong perkataan Stevia. “Sekarang kalian semua bubar dan kembali pada pekerjaan masing-masing,” titah Albert begitu ditakuti hingga para karyawan itu langsung membubarkan diri. Levin yang masih berdiri di sana juga diperintahkan Albert untuk masuk ke ruangannya. Albert berjalan mendekati Akira yang masih menangis di tempatnya. Albert mengangkat wajah yang tertunduk itu. Terlihat wajah Akira yang memerah dan lelehan air mata melintasi pipinya. “Tidak perlu menghiraukan mereka semua. Sekarang ayo kembali ke ruanganmu dan bekerjalah seperti biasa,” ajak Albert dengan lemah lembut. Akira menatap dalam pada wajah itu. Berusaha mencari jawaban dari dugaan sementara yang dia punya. Hanya Albert yang tahu tentang kehamilannya. Hanya laki-laki itu yang berada di rumah sakit bersamanya. Jika Stevia sampai tahu tentang rahasia itu, maka tidak salah jika dia berpikir bahwa Albert yang telah membocorkannya. Tapi setelah melihat Albert membelanya di hadapan semua karyawan, rasanya Akira mulai ragu. Apalagi belakangan ini Albert begitu perhatian padanya. Jika memang Albert tidak memihaknya, tentu saja laki-laki itu akan menjadi orang pertama yang paling berhak untuk memecatnya. Tapi itu tidak Albert lakukan. Sungguh Akira dibuat bingung memikirkan siapa orang yang sudah menguak rahasia itu pada Stevia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD