Jakarta, sebuah restoran mewah.
Suasana restoran itu seolah diciptakan khusus untuk kehangatan keluarga. Lampu gantung berwarna keemasan memantul lembut di meja bundar tempat mereka duduk. Aroma sup krim yang baru saja disajikan bercampur dengan wangi roti panggang, menebarkan rasa nyaman.
Arfa duduk tegak di samping Luna. Wajahnya tampak kalem, meski pikirannya sedikit sibuk karena rapat panjang pagi tadi. Di hadapan mereka, duduklah pasangan suami istri yang tampak berwibawa. Roni—ayah Luna—merupakan pribadi tegas, dengan tatapan tajam yang bisa membuat orang segan. Dan Renita—ibu Luna—yang lebih lembut tapi tak kalah pandai membaca suasana.
Awalnya, makan siang itu terasa hangat. Mereka berbincang ringan soal liburan terakhir keluarga Luna ke Bali, membahas cuaca Jakarta yang akhir-akhir ini sulit ditebak, hingga candaan kecil yang membuat Renita sesekali tersenyum.
Namun, kehangatan itu perlahan pudar ketika Roni meletakkan sendoknya, menegakkan punggung, lalu menatap Arfa dengan sorot penuh arti.
“Arfa,” suaranya tenang tapi mengandung tekanan, “Om ingin bertanya sesuatu.”
Arfa mengangguk sopan. “Silakan, Om.”
“Siapa sebenarnya karyawan bernama Nada itu?” Roni langsung pada inti. “Belakangan om sering mendengar namanya. Bukan hanya dari beberapa kolega yang menyebutkan soal presentasi dan ide-idenya, tapi juga dari Luna.”
Arfa sekilas melirik tunangannya yang kini menunduk, seolah pura-pura sibuk dengan potongan ayam di piringnya.
“Seingat om,” lanjut Roni, “dia baru bekerja di perusahaan sekitar lima bulanan, benar?”
Arfa menarik napas dalam. Ia sudah menduga cepat atau lambat pertanyaan ini akan muncul. Nada belakangan memang mencuri perhatian banyak pihak, termasuk ayahnya sendiri.
“Benar, Om,” jawab Arfa dengan tenang. “Nada memang karyawan baru. Ia masuk lewat jalur rekomendasi salah satu dosen senior di Yogyakarta, yang cukup berpengaruh. Papa menghargai rekomendasi itu, dan memutuskan memberinya kesempatan.”
Roni menyipitkan mata. “Hanya karena rekomendasi, lalu tiba-tiba dia bisa melesat secepat itu?”
Luna langsung menimpali, suaranya sedikit ketus meski dibalut senyum tipis. “Papa, itu juga yang sering aku bilang. Nada itu... entahlah. Rasanya ada yang tidak beres. Semua orang terkesan begitu percaya padanya, padahal dia baru saja datang. Tidak masuk akal kalau bukan karena dia pandai memainkan sesuatu.”
Arfa menghela napas pelan. Ia mencoba menahan diri agar nada suaranya tidak meninggi. “Luna,” katanya lembut, “Nada bukan tipe orang seperti itu. Aku tahu kamu merasa terancam, tapi semua yang dia capai sejauh ini murni karena kemampuannya. Dia memang... luar biasa.”
Renita menoleh pada putrinya. “Luna, Mama sering dengar kamu membicarakan gadis itu. Apa benar kamu sampai merasa terganggu?”
Luna mengangkat dagunya, matanya berkaca-kaca. “Iya, Ma. Aku... aku merasa dia berusaha merebut perhatian orang-orang di sekitar. Bahkan Arfa pun sering membela dia.”
Arfa menatap Luna dalam, matanya tajam tapi tetap menahan emosi. “Aku membela karena aku melihat kerja kerasnya, bukan karena hal lain. Nada punya banyak prestasi akademik, cara bicaranya sangat meyakinkan, dan setiap presentasinya selalu membawa hasil. Papa pun percaya padanya bukan karena kasihan atau simpati, tapi karena kualitasnya.”
Roni mengetuk meja pelan dengan jarinya, tanda kebiasaannya ketika sedang berpikir serius. “Tapi bukankah itu berbahaya, Arfa? Seorang karyawan baru tiba-tiba mendapat kepercayaan begitu besar. Bukankah seharusnya ada proses, ada waktu untuk membuktikan diri?”
“Betul, Om,” jawab Arfa tanpa ragu. “Dan justru itulah yang sedang ia lakukan. Dalam lima bulan ini, ia sudah membuktikan diri lebih dari ekspektasi banyak orang. Aku tidak menutup mata—dia memang menonjol. Tapi itu bukan karena ia melangkahi aturan, melainkan karena dia memang bekerja lebih keras dari yang lain.”
Luna mendengus pelan, berusaha menyembunyikan kekesalannya. “Kamu selalu saja mencari alasan untuknya, Arfa. Seolah-olah dia wanita sempurna. Padahal siapa yang tahu kalau sebenarnya dia hanya pandai memainkan kata-kata? Manipulatif, licik...”
Nada suara Luna membuat udara seolah menegang. Renita menyentuh tangan putrinya, mencoba menenangkan. Tapi tatapan Arfa kali ini tidak bisa menutupi ketegasannya.
“Luna,” ucapnya mantap, “aku mohon berhenti menuduh tanpa bukti. Aku mengenal banyak tipe orang dalam dunia kerja, dan sejauh yang kulihat, Nada bukan orang manipulatif. Dia jujur, pekerja keras, dan penuh dedikasi. Justru karena sikap itulah dia mendapat kepercayaan. Jangan sampai rasa cemburu membuatmu buta terhadap kenyataan.”
Kata-kata itu membuat Luna terdiam sejenak, meski wajahnya memerah menahan marah.
Roni memperhatikan dinamika itu dengan saksama. Ia meneguk air putihnya, lalu berucap pelan, “Arfa, om bisa memahami maksudmu. Tapi sebagai seorang ayah, om juga tidak bisa mengabaikan keresahan putri om. Jika Nada benar-benar seperti yang kamu katakan, buktikanlah dengan hasil nyata yang memang membawa kebaikan untuk perusahaan. Sebab kalau tidak, kekhawatiran Luna bisa saja benar.”
Arfa mengangguk hormat. “Itu yang sedang kami lakukan, Om. Dan aku yakin, dalam waktu dekat semua orang akan melihat hasilnya.”
Hening sejenak melingkupi meja itu. Hanya bunyi peralatan makan yang bersentuhan dengan piring terdengar.
Renita mencoba mengalihkan suasana. “Baiklah, sepertinya makan siang kita jadi terlalu serius. Luna sayang, coba ceritakan tentang rancangan acara gala bulan depan. Bukankah kamu sedang sibuk mempersiapkannya?”
Luna tersenyum kaku, mencoba mengendalikan diri. “Iya, Ma. Kami sedang menyiapkan konsep besar untuk acara itu.” Tapi dari cara ia menunduk, jelas sekali hatinya masih berkecamuk.
Sementara itu, Arfa hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, perbincangan tentang Nada tidak akan berhenti di sini. Dan entah mengapa, bagian dalam dirinya merasakan sesuatu yang lebih rumit daripada sekadar persaingan kerja.
Setelah makan siang usai, mereka berpamitan. Di dalam mobil, Arfa dan Luna duduk bersebelahan, tapi suasana hening.
Luna menatap keluar jendela, wajahnya tegang. “Kamu benar-benar tidak melihat, kan, Arfa? Tidak melihat bagaimana dia masuk ke dalam hidup kita sedikit demi sedikit?”
Arfa menoleh, menatapnya lekat. “Yang kulihat hanya seorang karyawan yang bekerja keras, Luna. Tidak lebih. Kalau kamu merasa terancam, mungkin masalahnya bukan pada dia, tapi pada rasa takutmu sendiri.”
Ucapan itu menusuk hati Luna. Ia menggigit bibirnya, menahan amarah bercampur rasa sakit.
“Arfa,” ucap Luna seraya menoleh pelan. “Aku ingin kita mempercepat rencana pernikahan kita.”
“Apa?! Kenapa?” tanya Arfa. Sementara ia tidak membalas tatapan Luna.
Pandangan Luna kembali fokus pada jalanan yang ada di sampingnya. “Aku tidak ingin Nada merebut semuanya. Aku harus memastikan kalau aku memang tidak terancam.
Arfa menghela napas. Berdebat pun tidak akan berguna, itu hanya akan memperburuk citranya di depan sopir yang kini sedang fokus melajukan kendaraan itu.
Sementara sang sopir masih terus melajukan kendaraannya. Membawa ke dua majikannya ke rumah mereka masing-masing.
Arfa sendiri merasa ada yang aneh dalam dirinya. Dalam hati Arfa, satu pertanyaan terus muncul tanpa bisa ia bendung, yaitu: Mengapa setiap kali nama Nada disebut, dadanya selalu bergetar dengan cara yang berbeda?