Chapter 30 : Tragedi IV

1151 Words
Kenzie berdiri dengan tenang di atas mayat salah satu siluman. Selama beberapa saat, tidak ada siluman yang berani menyerang pemuda itu, karena rasa takut yang berasal dari anggapan mereka sendiri. Hal ini tentu saja merupakan hal bagus bagi Kenzie, karena dengan ini Kenzie dapat beristirahat sejenak dan memulihkan tenaga. Saat tenaganya sudah cukup pulih, Kenzie lantas mengembuskan napas pelan, kemudian menengadah, menatap langit mendung. Dalam satu gerakan cepat, Kenzie melesat ke samping, menebas salah satu siluman yang sedang bersembunyi di balik sebatang pohon. Tidak hanya siluman itu saja, Kenzie juga langsung bergerak ke tempat lain, menyerang siluman lain yang berada di sekitarnya. Ia benar-benar tidak memberikan sedikit pun rasa simpati pada para siluman yang ia bantai sekarang ini. Panah api kembali melesat ke arah Kenzie. Panah-panah tersebut jelas terlihat kalau hanya dilontarkan secara acak oleh para siluman yang gemetar ketakutan. Semua serangan itu tidaklah berguna, sebab Kenzie dapat dengan begitu mudah menangkis dan menghindarinya. Bahkan, usai menebas satu anak panah yang melesat lurus ke wajahnya, Kenzie tidak mengendorkan gerakan dan malah bergerak lebih cepat, menyerang jauh lebih brutal dari yang sebelumnya. Kini pemuda itu tampak sangat mengerikan bagi para siluman yang melawannya. Setelah p*********n tanpa ampun itu, Kenzie berdiri dengan tenang di atas tumpukan tiga mayat siluman yang sudah tak berkepala. Kenzie menengadah, lalu hujan pun mulai turun bersamaan dengan guntur yang bersuara keras menyambar angkasa. Keadaan seperti ini tidak membuat Kenzie lantas bergerak pergi mencari tempat berteduh, tetapi ia malah membiarkan air hujan yang deras membasuh habis sekujur tubuhnya. “Hujan yang datang pada saat yang tepat ...,” gumam Kenzie, pelan, lalu membuang pedang panjang yang ia ambil dari Daya tadi. Raut wajah pemuda itu datar, tidak menunjukkan emosi apa pun. *** Beberapa saat sebelum hujan yang deras turun, Vani melompat tinggi, lalu menyerang siluman berkatana menggunakan bola-bola api. Akan tetapi, siluman yang melawannya dapat dengan mudah membelah semua bola api yang diluncurkan oleh Vani itu. Kendati demikian, demi melindungi Kyra yang sekarang bersembunyi di balik sebatang pohon besar, Vani tidak mau menyerah dan terus menyerang lawan dengan sekuat tenaga. Siluman berkatana hanya tersenyum tipis, kemudian berkata dengan nada angkuh, “Gadis manusia yang manis ... menyerah saja. Jangan menyianyiakan tenaga kita berdua. Akan jauh lebih baik kalau kau menyerahkan diri saja sehingga dapat aku antarkan ke tempat yang indah, secara gratis.” Vani mendarat, sengaja tidak langsung menyerang, melainkan memerhatikan gerakan kecil si siluman terlebih dahulu. Lirikan mata Vani benar-benar mengamati dengan saksama, mencari celah di mana sekiranya titik lemah siluman berkatana ini. Agar waktunya bisa lebih banyak untuk melakukan pengamatan, Vani memutuskan untuk menjawab ucapan angkuh si siluman, “Maaf saja, tapi aku tidak memiliki sedikit pun niat untuk menyerahkan diri.” Vani mengarahkan setangkai bunga mawar di tangannya, ke depan, bersikap seolah sedang menantang si siluman. “Kalau kau memang mau membuatku menyerah, lakukan dengan kekuatanmu, jangan dengan mulut busukmu itu!” Senyum lebar terlihat jelas di wajah si siluman. “Haha! Tidak kusangka akan ada manusia seberani dirimu di dunia ini. Biasanya, setiap manusia yang aku temui, selalu saja bersujud meminta ampun atau pun bersembunyi seperti yang dilakukan oleh temanmu itu.” Melihat ada sebuah celah untuk memprovokasi, Vani langsung saja melontarkan sebuah kalimat, “Itu artinya, kejayaan kaum siluman akan segera runtuh oleh manusia-manusia seperti kami! Mungkin, hanya perlu menunggu beberapa saat saja, maka apa yang aku katakan tadi akan benar-benar terjadi!” “Hahahaha!” Siluman berkatana tertawa lepas sembari menutup wajahnya dengan tangan kiri. “Kau benar-benar bisa membual juga ternyata. Percaya diri memang diperlukan, tetapi apa yang paling diperlukan adalah logika dan kekuatan. Manusia sepertimu hanya ada satu dari ribuan manusia.” Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Sekalipun ada sangat banyak manusia yang bersemangat sepertimu, tetap saja kalian tidak akan dapat mengalahkan kaum siluman yang begitu kuat seperti kami!” Setelah siluman berkatana mengatakan itu, hujan mendadak turun, membuat Vani sedikit tersentak. Gadis itu kemudian langsung mundur beberapa langkah sembari mengertakkan gigi, kesal karena hujan yang turun secara mendadak. Keadaan ini membuat si siluman kian percaya diri dan angkuh. “Lihatlah. Sekarang hujan turun, dan kau pasti tidak akan dapat menggunakan kekuatan apimu itu! Menyerahlah sekarang ....” Walaupun tahu kalau dirinya tidak memiliki kesempatan untuk menang, Vani tetap tidak menurunkan kewaspadaan, masih terus waspada dan bersiap dengan serangan selanjutnya. Namun, tampaknya Vani sedang bernasib buruk, karena hujan turun semakin lebat. “Cih ...! Kenapa hujan mendadak turun di keadaan mendesak seperti ini?!” Dalam gerakan yang sangat cepat, siluman berkatana melesat ke depan, menendang Vani hingga jatuh bergelinding di sebelah kanan. Raga Vani terus menggelinding hingga akhirnya terhenti karena menabrak sebatang pohon. Darah segar pun seketika tersembur keluar dari mulut Vani. Si siluman kembali melangkah perlahan mendekati Vani yang sudah jatuh terbaring tak berdaya di tanah. Melihat Vani yang sedang sekarat, wajah si siluman tetap datar, dan dia bahkan mengarahkan katana miliknya ke wajah gadis itu, tanpa ada rasa simpati sedikit pun. “Sekarang, pemenangnya sudah terlihat. Kau kalah, gadis manusia yang naif!” Siluman berkatana lantas mengangkat katananya ke atas, hendak menebas tubuh Vani yang sudah tak berdaya. Belum sempat si siluman menebaskan katananya, tiba-tiba seseorang melesat dari samping kirinya. Refleks saja, siluman itu mengubah arah tebasan pedangnya, sehingga berbenturan dengan pedang yang ditebaskan oleh orang yang melesat cepat tadi. Si siluman seketika terhuyung jauh ke samping kiri. Namun, orang yang baru datang tadi, sekali lagi melesat, menyerang siluman itu dengan sangat agresif dan cepat, sehingga siluman itu terdesak. Setiap tebasan yang diarahkan padanya memang dapat dia tangkis dan hindari, tetapi itu dia lakukan dengan bersusah payah agar tubuhnya tak goyah. Melihat ada satu kesempatan menghindar, siluman tersebut langsung saja melompat jauh ke belakang, lalu orang yang sedari menyerangnya, kini berdiri dengan tenang, menatap kosong ke depan dengan wajah datar. Tangan kanannya memegang erat sebilah pedang yang berlapiskan cahaya keemasan. Orang itu tak lain adalah Kenzie yang baru saja selesai membantai begitu banyak siluman. Pandangan Kenzie memang sedikit kabur akibat hujan deras ini, tetapi ia dapat melihat si siluman yang ia serang tadi, walau hanya samar-samar. Kali ini, Kenzie sangat fokus, bahkan sampai mengabaikan Vani yang sedang terluka parah di belakangnya. “Apa yang terjadi? Siapa manusia yang baru saja menyerangku tadi?” gumam si siluman, tidak percaya dengan apa yang ia lihat dengan kedua matanya sendiri. “Jangan bilang kalau dia adalah ....” Dengan satu gerakan cepat, Kenzie melesat ke depan, menebaskan pedangnya secara horizontal, dari kanan ke kiri. Si siluman langsung bereaksi, menangkis tebasan pedang tersebut menggunakan katananya, membuat suara benturan keras dari dua senjata terdengar, tetapi tidak terdengar lantang sebab suasana sedang hujan. Kenzie dengan gesit berpindah ke arah lain, lalu menyerang lagi dengan tebasan pedang yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Akan tetapi, si siluman dapat menangkis setiap tebasan pedang itu dengan tangkas dan tepat. *** Di sisi yang lain, Kyra segera mendekati Vani, lalu memeriksa luka yang diderita olehVani itu. Tanpa ragu, Kyra langsung membantu Vani untuk bersandar di pohon terlebih dahulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD