Chapter 57 : Mengerti

1166 Words
Pertarungan antara Parvis dan Kenzie telah berakhir, yang mengakibatkan Kenzie jatuh ke dalam jurang. Parvis tetap diam, masih menggenggam erat kapak besar di tangannya. Wajahnya terlihat datar, sedangkan tatapan matanya begitu kosong, tidak merasakan apa pun dari kemenangan yang telah ia raih dengan susah payah. Telinga Parvis memang terus mendengar teriakan Kyra yang sangat lantang, tetapi entah mengapa saat ini ia sedang tidak merasa ingin bergerak. Hingga, tak lama kemudian, Kyra berlari ke arah jurang, hendak melompat. Namun, Vani dengan sigap menarik gadis itu menjauh dari jurang, meski Kyra terus saja melawan supaya dapat terjun ke dalam jurang. Parvis hanya diam, tidak mau memedulikan hal itu. Akan tetapi, tidak lama berselang, pemuda tersebut mengembuskan napas panjang, berpaling ke belakang, di mana Vani menarik Kyra pergi menyusul Kenzie. “Baiklah, tampaknya sekarang adalah giliran kalian. Kali ini, aku akan memastikan kalian bertiga kembali berkumpul bersama dengan Kenzie, agar Kenzie tidak merasa kesepian seorang diri di alam sana.” Mendengar itu, Kyra yang tadinya terus melawan, segera terdiam, berjalan ke belakang bersama dengan Vani. Zidan lantas datang dan berdiri di depan kedua gadis itu sambil menggenggam erat pedang kecil andalannya. Dia terlihat menyesal karena percaya kalau Kenzie dapat mengatasi Parvis seorang diri. “Sialan, tidak kusangka kalau dia dapat dikalahkan olehmu ....” Parvis berbalik, masih memasang wajah datar. “Haha, apa kau marah karena aku membunuh ketua kalian itu? Jika benar, maka aku akan membunuh kalian juga supaya keadilan ditegakkan pada orang itu. Apa aku salah?” “Kau tidak salah, Kenzie memang harus mendapatkan keadilan. Tapi, caranya yang salah. Kami akan membunuhmu suatu saat nanti demi Kenzie! Aku tidak peduli apa alasanmu, tapi yang jelas kau sudah membunuh teman baikku!” “Tidak perlu repot-repot menunggu suatu hari nanti, karena hari ini aku akan mengirim kalian pergi bersama dengan Kenzie di alam lain!” Parvis langsung melesat ke depan, masih mengenakan jirah petirnya, tetapi lupa pada kekuatan Zidan. Dalam satu kejapan mata, Parvis mematung kaku di depan Zidan. Tak mau bertarung terlebih dahulu karena tahu kalau dia tidak akan menang, Zidan segera berbalik. “Ayo kita pergi untuk hari ini ....” Dia kian mempererat genggaman tangannya pada pedang kecilnya. “Aku memang benci mengakui ini, tapi kita tak bisa mengatasinya lebih dari ini!” Zidan, Vani dan Kyra pun segera pergi sejauh mungkin. Memang benar Zidan masih memiliki penyesalan karena membiarkan Kenzie bertarung sendiri dan merasa sangat lemah, karena sadar kalau dia takkan bisa menghancurkan pelindung petir Parvis. Akan tetapi, satu hal yang pasti sekarang adalah, tidak peduli siapa yang menang dan kalah, Zidan harus membawa Vani dan Kyra pergi sejauh mungkin dari Parvis. “Maaf, Kyra. Aku memang bodoh ...,” ucap Zidan kala berlari sambil bercucuran air mata. “Aku tidak pernah membayangkan kalau Kenzie akan kalah dari Parvis. Maaf ....” *** Lama setelah Zidan pergi meninggalkan Parvis, kini Parvis kembali dapat bergerak. Ia memandang ke sekitar, tetapi tidak menemukan jejak keberadaan Zidan, Vani atau pun Kyra di sekitarnya. Dalam keadaan tenang itu, Parvis lantas menonaktifkan jirah petirnya, kembali ke keadaan normal. Tubuhnya tidak lagi dilindungi oleh pelindung petir, karena ia tidak memiliki niat untuk bertarung. Sejenak, ia memandangi kedua tangannya. “Kenapa aku merasa kosong setelah mengalahkan orang itu? Bukankah dia salah satu dalang dari hancurnya desaku? Kenapa aku tidak merasa puas?” Parvis terus bertanya-tanya, tidak mengerti mengapa ia tidak merasa senang setelah berhasil mengalahkan Kenzie, yang ia kira adalah musuh. Menggelengkan kepala beberapa kali, Parvis segera berjalan santai masuk ke dalam hutan sambil meletakkan kapak besarnya di punggung. Ia mencoba untuk melupakan sejenak apa yang telah terjadi, dan kemudian barulah ia ingin membulatkan tekad baru untuk menghabisi teman-teman Kenzie yang tersisa. “Saatnya untuk bersantai sambil melihat-lihat ke dalam desa tadi. Kurasa itu adalah cara yang paling ampuh untuk menghilangkan perasaan aneh yang ada di dalam hatiku ini ....” Itulah apa yang dipikirkan oleh Parvis, sebelum akhirnya melihat dengan mata kepalanya sendiri, kalau tindakannya yang ceroboh, membuat sebuah bencana datang. Parvis terdiam dan jatuh berlutut di pinggiran desa, ketika melihat mayat warga desa sudah berjejer di tanah, layaknya sampah yang berceceran. Darah menggenang bagai air, membuat bau yang sangat menyengat menyerang indera penciuman. Mata Parvis terbelalak lebar, melihat sebuah fakta yang sangat kejam ini. Sekarang, tidak ada yang tersisa lagi di desa ini selain mayat yang telah bercampur dengan genangan darah segar. Selain itu, tidak terlihat juga keberadaan dari satu pun siluman di dalam desa atau pun di sekitarnya. Tarikan napas Parvis semakin cepat, jantungnya berdegup kencang, sekujur tubuhnya melemas. Akan tetapi, mulutnya masih dapat bergerak mengucapkan sesuatu, “Apa yang terjadi? Apa yang telah kulakukan untuk desa ini? Kenapa bisa seperti ini?” Kala semua pertanyaan tersebut terus berdengung di dalam kepala Parvis, barulah ia sadar sesuatu hal. Apa yang membuat desa ini menjadi tempat mayat-mayat berbaring tidak lain adalah tindakannya yang ceroboh. Ia tanpa pikir panjang langsung membunuh dua siluman yang tengah menyiksa tiga orang pria dewasa, menggunakan cambuk. Parvis tidak memikirkan risiko dari melakukan tindakan yang ia anggap remeh tersebut. “Semua ini salahku?” Parvis masih terus bertanya-tanya sembari memerhatikan sekitar. “Inikah yang sebenarnya kau khawatirkan sehingga membiarkan tiga pria itu disiksa oleh siluman, Kenzie? Apa ini yang ingin kau jelaskan padaku? Kenapa aku tidak mendengarkanmu dan termakan oleh kebencianku sendiri? Kenapa?!” Insiden kejam ini pun membuka mata Parvis, bahwa tindakan yang menurutnya kecil, dapat memberikan dampak atau risiko yang sangat besar. Kini ia belajar untuk memikirkan segala sesuatunya terlebih dahulu sebelum bertindak, bukan hanya mengikuti instingnya saja. Menurutnya, kalau sebelum ini ia tidak ceroboh, maka kejadian keji ini tak akan terjadi. *** Sementara itu, jauh di dalam jurang yang begitu gelap, Kenzie berenang menuju tepian dari sebuah sungai yang sangat dalam. Ia terus berenang sambil membawa pedang panjangnya, dengan diterangi oleh satu bola cahaya miliknya, yang menjadi satu-satunya penerang di dalam jurang ini. Akhirnya, setelah perjuangan yang cukup panjang, Kenzie dapat mencapai tebing kering. Meski begitu, tarikan napasnya sekarang begitu cepat karena ia sudah sangat kelelahan akibat berenang selama beberapa saat, serta jatuh dari ketinggian yang tidak mampu ia perkirakan. “Aku beruntung masih dapat hidup dengan jatuh di sungai. Kalau tidak, aku pasti akan mati sekarang.” Kenzie lantas duduk sembari melemaskan tubuhnya. “Tapi, tempat ini sangat gelap. Ke mana aku harus pergi sekarang? Apakah aku harus memanjang tebing ini?” Memikirkan cara pergi dari sini, Kenzie segera menengadah, tetapi ia hanya dapat melihat tebing yang begitu tinggi. Ia pun langsung mengembuskan napas panjang sembari menggelengkan kepala. “Haah ... kupikir aku dapat pergi dari sini dengan memanjat, ternyata tidak semudah yang aku pikirkan. Jadi, bagaimana sekarang?” Kondisi seperti ini, membuat Kenzie kian bingung, tak mengerti lagi harus bagaimana. “Kuharap seseorang dapat menjulurkan sesuatu yang dapat membuatku memanjat keluar dari dalam sini ....” Ketika Kenzie berkata begitu, telinganya mendadak mendengar sebuah suara di sekitarnya. Ia tak tahu apa itu, tetapi suara tersebut membuat bulu kuduknya sedikit merinding. Takut kalau ada sebuah bahaya yang mendekat, Kenzie pun berdiri, menghunuskan pedangnya ke depan, bersiap untuk bertarung kapan saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD