Bunyi alarm mengganggu mimpi Ailin di atas tempat tidurnya. Matanya masih sulit terbuka, lengket sekali rasanya. Mungkin saja, ada mimpi yang lebih indah daripada kenyataan hidupnya. Alhasil, Ailin lebih memejamkan matanya sedikit lebih lama. Sayangnya, alarm telah merubah semuanya. Mimpi Ailin buyar, menjadi abu-abu tak jelas terlihat. Dalam hatinya Ailin kesal, tapi jika diingat lagi, Ailin juga yang menyetel alarm tersebut. Tak ada yang bisa disalahkan. Alarm hanya mengikuti apa yang telah Ailin perintahkan.
Dengan berat hati, Ailin bangun dari rebahannya. Selimut di badannya ditarik perlahan. Tangannya ia rentangkan ke atas. Kepalanya Ailin gerakkan ke kanan dan ke kiri. Pemanasan, sebelum Ailin memutuskan untuk mandi. Pagi hari di Ibu Kota sangat membosankan bagi Ailin. Tidak ada kesejukan yang disuguhkan. Terlambat sedikit, pasti sudah penuh dengan asap-asap kendaraan para pemilik ambisi di jalan. Saling berebut jalan, hingga terkadang hampir mencelakai nyawanya sendiri.
“Akhirnya waktu ini tiba juga,” ucap Ailin sembari bangkit dari ranjang. Ailin membuka gorden jendela kamarnya, mengintip bagaimana suasana pagi dihari yang Ailin tunggu. Akankah sama seperti sebelumnya, atau ada perbedaan di sana.
“Semoga semesta berpihak padaku hari ini,” Ailin melambungkan harapannya. Mentari terlihat mendukung ucapannya kali itu. Hingga kicauan burung pun menyetujui yang telah Ailin ucapkan. Semoga, memang benar terjadi. Semesta akan berpihak kepadanya hari ini.
Ailin membuka lebar jendela di kamarnya. Duduk sejenak di balkon. Di sana sudah disediakan s**u putih dan sandwich favorit Ailin. Terlihat menggoda, tetapi, perut Ailin belum ingin memakan itu semua. Jadi, yang ada di meja itu hanya menjadi pajangan untuk sementara. Ailin membaca majalah yang juga ada di sana. Beberapa halaman sudah Ailin bolak balik. Belum menemukan halaman menarik, hingga akhirnya majalah itu Ailin kembalikan ke tempat semula.
“Huhhhh,” Ailin menghembuskan napasnya. Menikmati pagi hari di balkon kamarnya. Semua ini sudah tidak dirasakan selama 2 tahun. Akhirnya, hari ini bisa kembali merasakan kebiasaannya lagi.
Sebelum memutuskan untuk mandi, Ailin pergi ke walk in closet yang ada di kamarnya. Ailin memilih outfit yang akan dikenakan hari ini. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, hingga tatanan rambut dan make up-nya. Karena merasa kesulitan, Ailin memanggil staf di rumahnya untuk membantu memilih beberapa outfit hari ini. Pilihan pertama ada dress putih polos, dengan tangan pendek. Ailin menolak, karena menurut Ailin tidak cocok dengan acaranya hari ini. Kemudian, pilihan berikutnya ada dress diatas lutut berwarna cream. Bentuknya sangat manis, ketika Ailin tempelkan di badannya pun terlihat sangat cocok dengan suaranya hari itu. Ailin pun memilih dress cream itu. Setelah memutuskan memakai dress tersebut, Ailin bingung akan sepatu dan tasnya. Begitu juga dengan tatanan rambut dan make-upnya. Tetapi, seharusnya itu tak boleh membuat Ailin khawatir. Ailin memiliki fashion stylist pribadi. Jadi, semua yang Ailin mau pasti akan terwujud dengan mudah.
Ailin meninggalkan Walk in closet menuju ke kamar mandi. Semua peralatan dan perlengkapan mandi sudah disiapkan. Handuk dan lain sebagainya sudah berada di tempat yang semestinya. Ailin tinggal mengguyur airnya dengan shower.
“Lama banget nggak merasakan air hangat di rumah,” Ailin merindukan air hangat dari shower di kamar mandi rumahnya. Biasanya Ailin menyiapkan segala perlengkapannya sendiri saat berada di Amerika. Di sana pun seringkali mandi dengan air hangat. Air hangat telah menjadi habitnya. Berbeda ketika Ailin berada di ibu kota, tempat asalnya. Air hangat hanya diperlukan jika Ailin mandi sangat pagi, atau malam hari. Siang hari akan terasa sangat panas dan tidak nyaman bila menggunakan air hangat.
Selesai mandi, Ailin memakai handuk yang menutup tubuhnya hingga atas lutut. Rambutnya masih basah, tergulung dengan handuk kecil. Ailin berjalan dengan hati-hati ke walk in closet-nya. Di sana sudah ada fashion stylist pribadinya yang sudah menunggu Ailin.
“Hari ini ingin tampil seperti apa, Ailin?” tanya fashion stylist pribadi Ailin ketika melihat Ailin sudah siap di walk in closet.
“Apa adanya aku saja,” jawab Ailin singkat padat dan jelas. Tidak ada yang Ailin tampilkan spesial hari ini. Ailin hanya ingin memperlihatkan apa adanya diri Ailin. Fashion stylist Ailin pun sudah paham. Langsung saja, mereka mengerjakan apa yang Ailin mau.
Suata hairdryer bersautan dengan obrolan ringan di ruangan itu. Sesekali ada protes sedikit tentabg makeup atau bahkan rambutnya yang terlalu kencang ditarik. Ailin dan team fashion stylistnya sudah cukup dekat. Mereka sudah mengerti apa yang Ailin inginkan.
“Selesai. Puas? Atau mau ada yang kamu protes?” tanya fashion stylist pribadi Ailin.
“Hmmm.. lumayan. Tapi kali ini aku nggak akan protes apapun. Masih cukup untuk aku toleransi lah,” jawab Ailin sembari melihat pantulan dirinya di kaca. Ailin berputar, melihat bagian tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala. Dress, sepatu, make-up, hingga tatanan rambutnya. Tak ada yang berlebihan, cukup pantas jika tampilan ini untuk ngedate pertama kalinya setelah menjadi kekasih Saka.
Ailin menuruni tangga dari kamarnya. Seperti tak habis-habis. Tangganya memutar, lebar, dan besar. Namun itu justru menambah kesan mewah di rumah Ailin. Ailin meminta salah satu supirnya bersiap mengantar pergi. Tetapi, tak ada satupun supir yang berkenan mengantar Ailin ke luar rumah.
“Jangan ada yang mengantar Ailin ke luar rumah!” perintah Ayah Ailin menggema di rumahnya. Mata Ailin terbelalak, mendengar ucapan sang Ayah yang membuat supir di rumahnya tak bisa berkutik. Semua kembali ke depan, tak ada yang menolak bahkan membantah sepatah katapun. Kesal sekali perasaan Ailin. Mengapa larangan itu selalu hadir disaat yang tidak tepat.
“Ada apa sih, Yah? Kenapa semua supir di rumah dilarang mengantarkan Ailin. Ailin kan anak Ayah!” Ailin mencoba mengutarakan unek-uneknya. Walaupun seperti menaruhkan sebuah nyawa.
“Duduk di meja makan, Ayah ingin bicara serius!” Perintah kembali diberikan oleh Ayah Ailin. Ibu Ailin yang sudah dandan dengan sangat cantik nan rapi pun sudah bersedia di meja makan. Tempat berkumpulnya keluarga, juga tempat membahas sesuatu yang sangat penting.
Ailin belum duduk sebelum ada yang menarikkan kursi untuknya. Kebiasaan ini masih berlaku meskipun Ailin telah meninggalkan rumah selama 2 tahun.
“Ada apa, Yah? Ailin ada janji dengan teman Ailin hari ini. Nggak enak kalau nggak datang,” Ailin membuka pembicaraan di meja makan. Ibunya pun masih terdiam, seperti ada masalah serius yang telah terjadi dan ingin diutarakan di meja itu. Ailin ingin tidak peduli, tapi, Ailin dipaksa harus peduli dengan apapun yang terjadi dengan keluarga ini.
“Keluarga kamu dalam keadaan genting, kamu masih memikirkan acara kamu yang nggak penting itu?” Ayah Ailin memulai drama hari itu.
“Genting? Ada apa sih?” Ailin mulai tidak paham dengan cerita dari Ayahnya.
“Permasalah bisnis keluarga kita sudah mulai serius. Semua ini sudah terdengar ke telinga karyawan bahkan pesaing kita. Ayah harus membicarakan ini agar kamu juga paham apa yang sedang dialami keluarga kita.”
Ayah Ailin mulai serius berbicara. Suasana lebih mencekam dari sebelumnya, membuat Ailin ingin pergi ke toilet secepatnya.
“Ayah, maaf Ailin harus ke toilet sekarang!” Ailin tidak tahan, lalu memilih untuk izin kepada sang Ayah. Ailin langsung berjalan, menjauh meja makan dan mendekati toilet. Tanpa menunggu persetujuan dari sang Ayah ataupun Ibunya. Terpaksa, pembicaraan harus dihentikan sejenak hingga Ailin kembali ke tempat duduknya.
Di sepanjang perjalan menuju toilet di rumahnya, Ailin melihat para stafnya berbisik. Seolah ada hal besar terjadi, namun, Ailin tak tahu menahu.
“Apa kamu sudah tahu, kalau bisnis keluarga Tuan Wallis terancam bangkrut?” Ucapan salah satu staf terdengar lirih oleh Ailin.
“Iya, sudah. Semua karyawan Tuan Wallis sudah mengetahui hal ini,” kembali terdengar bisikan dari staf yang ada di rumah Ailin. Rasa penasaran itu semakin membesar. Ailin ingin segera kembali ke meja makan dan mendengar sebuah kebenaran. Bisikan-bisikan dari staf membuat Ailin khawatir.
“Bagaimana bisa ini terjadi? Bukannya selama ini Ayah mengurusnya dengan sangat baik?” Ailin sengaja tak mengeluarkan suaranya. Takut terdengar oleh staf di rumahnya, seperti ketika Ailin tak sengaja mendengar bisikan gosip dari stafnya.
“Ayah…” Ailin belum duduk di tempat duduk semula. Masih berdiri, di hadapan Ayahnya. Meski terhalang meja makan yang besar nan luas.
“Kamu sudah mendengar?” Dugaan Ayah Ailin sangat tepat. Pasti Ailin akan mendengar desas desus ini dari para staf di rumahnya.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa Ailin tidak tahu akan hal ini?”
Semua staf diminta meninggalkan ruangan itu. Hanya tersisa Ayah, Ibu, dan Ailin saja. Ayah ingin berbicara dengan anak semata wayangnya, karena anak pertamanya telah meninggalkan keluarga tanpa ada kabar kembali. Ailin siap mendengarkan apa yang telah terjadi dalam keluarganya. Namun, Ailin tidak siap mendengar jalan keluar yang nantinya akan Ayah Ailin pilih.
Ailin terus melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Perasaannya tidak tenang, gelisah pun cemas campur aduk. Ailin ingin segera pergi dari meja bundar di rumahnya. Ada janji yang telah Ailin nanti. Namun, rasanya sulit untuk memberikan alasan kepada Ayahnya. Apalagi, topik pembicaraannya pun terbilang sangat serius. Ayah Ailin tak akan melepaskan Ailin begitu saja.
“Ayah butuh bantuan kamu, Ailin,” Ayah Ailin sudah mulai membuka suaranya kembali. Hampir gemetar badan Ailin ketika mendengarnya. Pasti ada sesuatu yang telah direncanakan oleh Ayah juga keluarganya. Ailin tinggal menerima hasil dan menjalankan.
“Iya, sebisa mungkin akan Ailin cari jalan keluar terbaik.” Ailin tidak fokus menanggapi Ayahnya. Pikirannya telah melayang entah kemana.
“Ada apa Ailin?” Ayah Ailin mulai sadar jika Ailin tidak fokus akan perbincangan mereka.
“Ayah, Ailin harus pergi. Ada janji yang harus Ailin tepati,” Ailin bangkit dari kursi di meja bundar. Tak sabar segera pergi dan bertemu dengan janji yang telah Ailin nanti.
“Duduk!” Ayah Ailin tak memberikan izin kepada anaknya untuk pergi. Satu-satunya harapan keluarga hanya tersisa Ailin. Ibu Ailin pun tak bisa membantu Ailin untuk sekedar pergi memenuhi janji.
“Bu, tolonglah bantu Ailin. Ailin ada janji penting,” ucap Ailin memohon kepada sang Ibu agar Ibunya bisa membantu Ailin.
“Duduk, nak. Kita sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.”
Tak ada yang membela apalagi membantu Ailin untuk pergi dari rumah. Wajah wajah di rumah sedang suntuk, kabar tentang kebangkrutan ini telah menjadi garis keriput baru di wajah Ibu dan Ayah Ailin.