Two

1097 Words
Pagi itu, si cantik Giana tampil sangat modis dengan sebuah ponsel sultan yang dia genggam, sengaja tak dia letakan dalam saku agar seisi sekolah tahu bahwa dia punya ponsel baru, gambar logonya apel estetik yang baru saja digigit bidadari cantik. Bel masuk berbunyi, Giana masuk ke kelas di susul Barry yang merangkul kekasihnya itu dengan gaya keren vibe anak-anak jaman sekarang. Sakha dan Rico cengar-cengir dibelakang Barry, mereka sejak tadi minta jatah jajan namun belum dikabulkan oleh Barry. “Bar, mana duit? Mau beli rokok!” ucap Sakha yang terus merengek seperti perempuan. “Haish! Nanti aja, pas jam istirahat juga elo-elo pada pasti minta traktir!” “Yaelah, jadi maksudnya hari ini kita enggak madol nih?” “Enggak lah, gue malu sering disuruh lari keliling lapangan gegara madol! Lagian bolos mulu mau jadi apa sih lo?” barry sok bijak. Rico menyikut lengan Sakha, bibirnya dimaju-majukan nyinyir Barry yang tiba-tiba sok rajin. Sakha hanya terkekeh. “Udah, daripada enggak jajan! Kita nurut aja!” ujar Sakha. Seorang guru berseragam cokelat khas pegawai negeri masuk ke kelas 12 IPA 1, kelas yang berisi anak-anak badung bermasa depan suram. Pak Ihsan memukul meja dengan penghapus papan tulis. “Kalian ini anak IPA atau bukan? Ribut terus! Anak IPA itu rajin-rajin, kelasnya tenang, damai!” omel Pak Ihsan di hari sepagi itu. Mood dia jadi berantakan karena ulah genk-nya Barry yang petakilan tiada habisnya. “Ini, bapak mau bagikan hasil ulangan kemarin! Yang disebut namanya, maju ke atas!” “Ke depan, Pak!” Anak-anak kompak meralat ucapan Pak Ihsan. “Nah, iya maju ke sini! Andi!” “Iya, Pak!” si Andi maju mengambil kertas ulangan. “Budi!” “Iya, Pak!” “Barry Febriza!” Barry melangkah dengan percaya diri, tentu saja dia selalu terobsesi dengan ketampanan yang dia miliki. Kapanpun dimanapun dia akan sangat percaya diri seperti iklan shampo anti ketombe. “Hem, Barry Febriza. Kamu lahir bulan februari ya?” “Wah, kok tahu Pak?” “Ya tau! Kan saya yang potong tali pusar kamu!” “Eh buset!!!” Barry menggelengkan kepala dan kembali ke kursinya. “Giana Gwensha!” “Hadir, Pak!” Giana maju dengan memamerkan ponselnya. “Duh, cakep bener neng! Mau enggak jadi mantu Bapak?” “Ish, bapak kaya enggak? Punya busway? Kalau punya, saya mau aja!” “Busway buat apaan neng Giana? Sudah, sana duduk!” “Selfie dulu pak, hp saya baru!” *** “Yang, mana uang buat berobat bapak?” Giana menagih janji Barry kemarin malam. “Duh, iya nih. Aku lagi bingung, tante Carla enggak bisa dihubungi dari kemarin.” “Yah, dia udah dapet gacoan baru ya?” “Uhm, kayaknya gitu sih.” “Yah, terus gimana uang berobat untuk bapakku?” “Udah, kalem! Nanti aku cari mangsa baru!” “Wah, boleh tuh! Siapa? Aku enggak ada referensi nih!” “Ada, namanya Cherry. Aku udah lama sih, kenal dia gara-gara bantu dia stop taksi.” “Kamu yakin dia mau kamu deketin?” “Aih, kamu masih aja enggak tahu kalau insting aku tajem! Aku bisa baca pikiran orang, akui bisa tahu mana tante-tante yang bisa aku rayu dan yang tidak!” “Tapi, tante Cherry naik taksi. Apa dia orang kaya?” “Waktu itu mobilnya lagi diservice, gila tau mobilnya itu merknya ajib banget, Yang!” “Wah, target empuk kalau gitu!” “Empuk banget!” tambah Barry. Barry dan Giana bekerja bak intelegen profesional, mereka bisa dengan cepat mencari tahu dimana tempat tinggal target, juga saat-saat dimana target pergi dan pulang beraktifitas. Seperti kali ini, mereka berhasil membuntuti Cherry dan berhasil mengetahui rumahnya yang besar bak istana. Barry dan Giana, sampai di depan rumah mewah itu bersama matic milik Giana yang baru saja dibeli setelah mengumpulkan uang dari para tante genit yang menjadi target Barry. Setelah ini, Barry dan Giana akan menyusun rencana. Pertemuan Barry dan Cherry, mengaturnya agar segalanya tampak natural dan tidak mencurigakan. Di hari berikutnya, Barry mengendarai motor dan menyusul kecepatan mobil Cherry yang sudah memasuki area kompleks yang sepi dan tak terlalu banyak kendaraan lalu larang. Barry sudah berlatih cara jatuh dari motor agar tidak mendapat terlalu banyak luka di tubuhnya. Cherry mengemudikan mobil import seraya turut menyanyikan lagu yang dia dengar dari radio di dalam mobilnya. Tiba-tiba saja, di depannya sebuah motor melintas dan setelah jarak beberapa meter, pengendara motor itu terjatuh. Roda motor berputar di udara saat bagian atas motor itu berada di aspal. Cherry terkejut, dan menginjak pedal rem secara mendadak. Dia sendiri hampir saja terbentur kemudi mobilnya yang keras. Dengan cepat, wanita cantik dengan body aduhai itu turun dari mobil dan menghampiri Barry yang tersungkur di depan mobilnya. “Aduh, kamu enggak apa-apa?” meski dia yakin tidak menabrak pria muda itu, dia toh tetap harus menolongnya. Barry meringis, namun berusaha nampak tampan mempesona agar auranya terpancar dan meracuni mata Cherry yang kini justru merasa ada keanehan pada tingkah Barry. “Kamu enggak apa-apa?” ulang Cherry berusaha membantu Barry bangun. Barry meraih lengan Cherry, dan menatapnya sejenak. Cherry sempat salah tingkah dan membuang pandangan ketika matanya bertumbukan dengan mata Barry. “Aku enggak apa-apa, tapi..” “Tapi apa?” tanya Cherry agak panik. “Aku enggak bisa jalan.” dusta Barry. “Aduh, kasian. Kakinya sakit?” Barry mengangguk dengan wajah memelas. Namun, berusaha agar wajahnya berkilau seperti dalam drama-drama korea. Semoga saja targetnya kali ini sudah jatuh cinta pada detik pertama mata mereka bertemu. “Ya sudah, tante bantu masuk ke mobil. Nanti motor kamu biar orang tante yang urus ya!" “Enggak apa-apa tante? Aku ngerepotin enggak?” “Enggak dong, kan kamu butuh bantuan. Ayo, tante bantu!” Barry akting pincang, dan masuk ke dalam mobil. Duduk di jok sebelah jok pengemudi. Dia tercengang melihat bagian dalam mobil mewah itu, kemudian kembali pura-pura meringis menahan sakit saat Cherry masuk ke sisi lainnya. "Sakit banget ya?" Cherry terlihat khawatir. "Enggak apa-apa Tante, bisa ditahan kok." "Beneran?" Barry mengangguk. “Duh, tante mau benerin motor kamu tapi enggak kuat. Biarin dulu ya, rumah tante udah deket kok, nanti suruh pak security buat ambilin.” ujar Cherry kemudian. “Oh, iya tante. Barry makasih banyak tante.” “Barry?” “Saya, tante.” sahut Barry. “Oh, namamu Barry?” tanya Cherry dengan seulas senyum manisnya. Barry mengangguk dengan efek slow motion, berusaha terlihat ganteng. Dia harap saat ini matanya berbinar dan menangkap hati Cherry yang tengah mengulas senyum cantik di hadapannya. “Buset, ini tante cakep banget!” gumamnya sambil tak berkedip menatap Cherry yang begitu cantik mempesona.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD