Ethan sedang asyik bermain dengan Noah di tepi yacht, mengajari putranya melempar umpan kecil ke laut saat suara langkah lembut dari dek membuatnya menoleh. Begitu mata birunya menangkap sosok Dira, waktu seakan berhenti. Di hadapannya, Dira berdiri dalam balutan bikini hitam yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, hanya diselumuti kaftan transparan yang nyaris tidak menutupi apa pun.
Alis hitam Ethan berkerut, rahangnya mengeras. Ini bukan Dira yang ia kenal beberapa hari terakhir—dan ia tahu, wanita itu melakukannya dengan sengaja.
Sialan.
Amarah bergolak dalam dadanya, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tetapi juga karena disekitar mereka ada pengawal yang bisa melihatnya dengan jelas.
Dira mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang, mengirimkan sinyal yang membuat darah Ethan mendidih. Ia tahu Dira mencoba menguji batas kesabarannya. Amarahnya tersulut, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tapi karena reaski tubuhnya atas pakaian propokatif yang sengaja dilakukan wanita itu.
Tubuhnya bereaksi tanpa bisa dicegah. Ethan keras seketika itu juga. Bayangan kaki Dira yang jenjang mengalungi pinggangnya membuat tubuhnya nyeri. Dan perasaan itu membuatnya muak. Bagaimana mungkin, setelah semua yang terjadi, Dira masih mampu mempengaruhinya seperti ini?
Ethan menatap wanita itu, dan dalam kilatan singkat ia melihat hasrat menari-nari di matanya yang cokelat. Hasrat yang sama yang mengendap-endap di dadanya seperti api tampak menyala di mata Dira. Seolah terikat dalam tarian yang tak terlihat, ketegangan di antara mereka berubah, dari kebencian yang dingin menjadi sesuatu yang jauh lebih panas dan berbahaya.
Angin mediterania berembus lembut, membawa aroma asin laut, namun itu tak cukup untuk mengusir api yang kian membara di antara mereka. Dira tidak mengalihkan pandangan, dan meski tak satu katapun terucap, tatapan mereka berbicara lebih dari seribu kata. Ada perlawanan yang berderak di udara, ada dendam yang tak terkatakan, tapi juga ada keinginan yang tak bisa mereka abaikan.
Ethan menggertakkan giginya, menyumpahi reaksi tubuhnya dan juga godaan yang timbul karena wanita itu. Dira adalah satu-satunya orang yang mampu mempengaruhinya dengan cara yang tak seorangpun mampu.
Ethan melangkah mendekat, bayangannya jatuh mengintimidasi di atas Dira, sementara api di matanya semakin dalam. Ia berhenti tepat di depannya, sedekat napas mereka hampir bersatu, lalu bergumam rendah,
“Kalau kau melakukan ini untuk membuatku marah, harus kukatakan usahamu berhasil,” geramnya dibalik rahangnya yang mengeras. Matanya berkobar menunjukkan kemarahan.
“Aku tidak tahu apa maksudmu.”
Ethan menyapu pandangan pada tubuh Dira secara menyeluruh. Tatapan panasnya beradu dengan tatapan Dira yang keras kepala. Denyut nadinya mengencang menyadari gairah yang berputar-putar di antara mereka perlahan mengikis mengikis pengendalian dirinya.
“Kecuali kau mau menjadi tontonan, ganti pakaianmu. Staff dan pengawal melihatmu, Dira.”
“Ini pakaian pantai, banyak yang mengenakannya Ethan. Mereka bahkan bertelanjang d**a, dan seingatku, apa yang kukenakan sama sekali bukan urusanmu,” balasnya ketus. “Sekarang, permisi, aku harus menemui Noah.”
Ethan mencekal lengan Dira, mencegah wanita itu melewatinya.
“Kau pikir apa yang kau lakukan?” sentaknya, berusaha melepaskan diri, tapi pegangan Ethan justru semakin menguat.
“Saat kau bermain api, itu berarti kau siap terbakar.”
Mata Dira membelalak, terkejut dengan reaksi Ethan. Bukan seperti ini yang ia bayangkan saat melancarkan aksi ini. Tatapan Ethan seolah siap melahapnya dan dampaknya pada tubuhnya… panas menjalar di tulang panggulnya, tapi Dira berusaha menepisnya.
“Aku tidak tahu apa yang kau katakan.”
Namun, Ethan sudah membaca setiap ekspresi yang berusaha disembunyikannya. Tanpa banyak bicara, Ethan berbalik dan memberikan perintah tegas pada pengawal serta pengasuh putra mereka untuk menjaga Noah. Kemudian, sebelum Dira benar-benar menyadari apa yang terjadi, Ethan menariknya menjauh.
“Ethan lepaskan!” Dira memberontak, mencoba menarik tangannya, namun Ethan tak bergeming. Tatapan pria itu penuh tekad yang tak bisa dibantah, campuran antara kemarahan dan sesuatu yang lebih dalam dan sulit diterjemahkan. Ia menarik Dira dan karena wanita itu terus memberontak, Ethan akhirnya mengangkat Dira di bahunya.
“Kau pikir apa yang kau lakukan? Lepaskan, Ethan!”
“Aku melakukan persis seperti yang kau inginkan.”
Begitu tiba di dalam kamar, Ethan melepaskannya, mengunci pintu di belakangnya, mengurung mereka dalam ruangan yang kini terasa penuh oleh energi membara.
Dira menatapnya dengan campuran marah dan bingung, tetapi Ethan hanya diam sejenak, pandangannya menyapu wajahnya dengan intensitas yang membuat udara di antara mereka semakin pekat.
“Ini yang kau inginkan, bukan?” ujar Ethan, suaranya serak, nyaris berbisik, namun tajam.
“Kau bermain api Dira, sekarang, aku akan membuatmu terbakar.”
Mata Dira melebar panik, namun hanya sekejap, ekpsresi itu menghilang digantikan dengan sikap keras kepalanya yang biasa.
“Apa omong kosongmu sudah berhenti? Sekarang menyingkir, aku harus keluar.”
Tetapi Ethan sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan wanita itu. Ia tetap di tempat, menyilangkan tangan di depan d**a.
“Kenapa? Takut dengan reaksi tubuhmu sendiri, Dira?” ejeknya.
Wajah Dira mengeras. “Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak merasakan apa pun.”
Ethan nyaris tertawa mendengar kebohongannya. “Kau berbohong dan kita berdua tahu itu,” katanya lirih, lalu meraih pinggiran T-shirtnya dengan gerakan perlahan dan disengaja. Ia melepaskan pakaian itu melewati kepala dan menampilkan perut kecokelatan yang pasti membuat dewa-dewa Yunani mengerang iri.
“Kita berdua mungkin membenci kenyataan ini, tapi kau dan aku tidak pernah bisa berhenti saling menyentuh. Mungkin kau perlu diingatkan tentang hal itu.”
Mulut Dira mendadak kering, sensasi yang menjalar di dadanya, membuat napasnya terasa berat dan cepat. Merasa ngeri dengan reaksi tubuhnya, Dira melakukan satu-satunya cara yang terpikirkan: melarikan diri. Dira berlari, namun Ethan menangkup pinggangnya dengan cepat.
“Lepaskan aku Ethan, ini bukan bagian dari kesepakatan kita,” teriaknya, berusaha memukul d**a Ethan. Kesalahan. Begitu ia menyentuh dadanya yang kuat dan keras, Dira merasakan dorongan untuk terus menyentuhnya. Godaan karena kontak fisik yang mereka lakukan membuatnya sangat terkejut. Mendadak Dira merasa pusing.
“Kenapa? Apa kau tidak merindukan sentuhanku?”
Dira berusaha menyangkal, mencoba menguatkan hatinya untuk menolak setiap kata yang diucapkan Ethan. Namun, begitu kulit mereka bersentuhan, benteng pertahanan dirinya goyah. Ethan mendekat, semakin mengaburkan jarak di antara mereka. Dira bisa merasakan panas tubuh pria itu, dan sebelum ia mampu menenangkan debaran yang kian tak terkendali, tatapan mereka bertemu.
Mereka bergeming seperti itu selama beberapa saat, tertahan di tepi kegilaan sensual. Lalu mulut Ethan turun ke mulut Dira.
Ethan mencium dengan kekuatan yang menghancurkan jiwa, bibirnya dengan lapar menuntut memasuki mulut Dira, menautkan lidah mereka, membangkitkan api yang seolah menjalar disekitar tubuhnya yang gemetar.
Suara di dalam kepalanya mengatakan kalau ini tidak boleh terjadi. Ia tidak bisa melakukan kesalahan yang sama.
Namun, saat ciuman Ethan semakin mendesak, gairah dalam dirinya seolah siap meledak, menghapus sisa kesadaran yang masih tersisa.
“Kau menginginkanku,” bisik Ethan parau di depan wajah Dira. “Dan aku menginginkanmu.”
Mata Dira melebar, reaksi yang mengundang tawa sinis dari Ethan.
“Kenapa? Kau pikir aku tidak menginginkanmu?” telunjuknya menyusuri pipi Dira yang panas dan memerah.
“Kau mengkhianati kepercayaanku, bukan hanya menyembunyikan putraku, tapi juga karena pergi dari hidupku setelah semua yang kulakukan untukmu. Apa pria itu mencampakkanmu, Dira?”
“P-pria?”
Tatapan Ethan tertuju pada bibir tipis menggoda Dira. Bibir yang menuntut untuk kembali dicium.
“Berapa banyak pria yang menemanimu setelah perpisahan kita? Kau p*****r kecil yang respontif, pastinya mereka tidak—“
“b******k!” tangan Dira terangkat, tapi Ethan menangkupnya dengan cepat.
“Lepaskan aku, aku membencimu bajingan.” Dira berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Ethan justru semakin menguat. Kata-kata yang dimuntahkan Ethan mengoyaknya, meninggalkan rasa sakit tak terperi yang membuat matanya kabur.
“Lepaskan aku Ethan, atau aku bersumpah aku tidak akan pernah memaafkanmu.”
Mata Ethan tampak membara.
“Kau tahu yang lebih buruk? Aku membencimu, Dira, tapi kenyataan itu tidak menghentikan tubuhku dari menginginkanmu dan saat ini, aku ingin bercinta denganmu istriku tersayang.”
“Sayang sekali, aku tidak merasakan hal yang sama untukmu,” gertaknya.
Bukannya tersinggung Ethan justru tertawa. “Mungkin, sekarang saatnya menunjukkan apa persisnya yang kau rasakan.”
Sebelum Dira merespon, tahu-tahu Ethan mendorong tubuhnya ke ranjang, menghimpitnya dengan tubuhnya yang kuat dan berotot, mencegahnya melarikan diri. Bukti gairahnya yang mengeras membuat Dira membelalak.
“Kau tidak merasakan hal yang sama?” ejeknya. Seringainya tampak kejam dan bengis. Ethan menunduk hingga wajah keduanya hanya sejauh helaan napas. “Sekarang, aku akan membuktikan betapa salah pernyataan itu.”