Mendesak

1554 Words
"Kenapa? Aku ingin ke sekolah sekarang juga!" Laras melotot marah, karena sakit, wajahnya menjadi pucat sehingga mengurangi ekspresi galak yang coba dia buat. Randi meletakkan semangkuk bubur di meja samping tempat tidur Laras, menghela napas berat mendengar ucapan keras kepala gadis itu. "Kamu sedang sakit sekarang, jangan buat masalah, makan dulu." "Tidak! Aku mau ke sekolah," kata Laras kekeuh, sudut matanya merah berair menyipit ke arah Randi, dia bergeser ke tengah tempat tidur mencoba menjauh dari kakak sepupunya itu. "Kalau aku tidak bisa ke sekolah hari ini, aku tidak akan makan apapun hari ini." "Kamu yakin?" tanya Randi dengan suara yang tenang, menatap lurus ke arah gadis yang susah diatur itu. Laras mengangguk, sama sekali tidak takut dengan ucapan Randi yang memiliki nada ancaman di dalamnya. Lagi pula dia yakin kakaknya itu tidak akan membiarkannya mati kelaparan sendiri di sini. Randi diam dan terus menatap Laras dengan tenang, Laras juga diam membalas tatapan Randi dengan geram. Akhirnya seperti yang dipikirkan Laras, Randi tidak begitu tega membiarkan adik sepupunya sakit tanpa makan apa pun. "Kenapa kamu sangat ngeyel?" tanya Randi frustrasi, dia selalu merasa semua kesabarannya ada hanya untuk merawat Laras. Laras menarik ujung selimut, hidungnya masih tersumbat sehingga beberapa kali terdengar tarikan ingus darinya. "Aku ingin ketemu Kevin," katanya dengan suara rendah. Saat dia berkata seperti itu, matanya mulai menumpuk cairan bening lagi siap untuk jatuh kapan saja. "Kenapa kamu bertindak seperti penyihir, berusaha menjauhkan aku dengan Kevin." "..." Randi yang dituduh sebagai penyihir hanya untuk merawat adik sepupunya terdiam tak bisa berkata-kata. Dia tidak tahu apa saja pikiran gadis itu selama ini, sepertinya semua hal aneh bisa saja muncul darinya. Merasa tak berdaya, Randi mengambil bubur dan menyerahkannya kepada Laras. "Kenapa kamu harus memikirkan Kevin saat ini? Makan dulu." Laras tertawa sinis, "Kalau aku bilang aku ingin bertemu ibu, ayah, atau Rifaldi, apakah kamu bisa mewujudkannya? Hanya Kevin yang bisa aku temui saat ini, aku ingin bertemu Kevin!" Randi sangat ingin bertanya, kenapa bukan dirinya? Namun dia menelan pikiran tersebut. "Aku akan menghubungi orangtuamu?" Dia mengambil ponselnya dari saku seragam bersiap untuk mencari nomor kontak ibu Laras. "Tidak! Aku bilang bertemu! Apa kamu tahu arti dari bertemu? Bawa mereka ke sini, bertemu denganku, di depan mataku agar aku tahu ada seseorang ... ada seseorang ..." Laras terisak, menutupi seluruh tubuhnya ke dalam selimut dan menangis kembali. Randi menurunkan pandangannya ke bawah, tiba-tiba tidak tahu harus melakukan apa saat ini. "Laras, makan dulu. Jika kamu patuh, aku mungkin akan memikirkannya lagi." Selimut kian menurun, wajah Laras yang pucat dengan mata dan hidung merah kembali terlihat. "Aku bisa pergi ke sekolah?" tanyanya tak bisa menahan isakan. "Iya," jawab Randi, suaranya melunak. "Bertemu dengan Kevin?" tanya Laras lagi seolah ingin memastikan kejujuran ucapan Randi. Randi diam sejenak, dia menatap ke arah gadis itu dengan tenang. "Ayo makan dulu," katanya. "Aku mau bertemu Kevin!" Laras berteriak kesal hingga membuat suaranya serak berakhir dengan batuk berdahak. "Iya, iya, kamu akan bertemu dengan Kevin," kata Randi cepat, dengan lembut mengelus punggung Laras untuk memberi kenyamanan. Dia tidak tahu apa yang membuat Laras begitu terobsesi dengan teman sekelasnya yang bernama Kevin, dia sangat penasaran untuk mengetahuinya. Laras tersenyum kecil dengan susah payah, dia duduk bersandar di kepala tempat tidur dan mengambil semangkuk bubur dari Randi. "Aku tahu Randi kakakku yang paling tampan dan baik," katanya dengan senang. Randi bergumam pelan menanggapi pujian berlebihan gadis itu. "Habiskan buburmu," titahnya sebelum mengambil tas plastik berisi obat yang baru saja dia beli dari apotik. "Hum," Laras mengangguk patuh, mulai makan dengan enggan. Napsu makannya sama sekali tidak ada, namun jika permintaannya dikabulkan dengan menghabiskan bubur ini, maka Laras rela makan dua mangkuk bubur lagi. Randi duduk di samping tempat tidur, memperhatikan gadis itu makan dengan cepat meski napsu makannya jelas sangat buruk. "Makan pelan-pelan," katanya sembari menyerahkan gelas air ke dekat bibir Laras. "Hum hum," Laras mengangguk, ia minum beberapa teguk air dan lanjut makan dengan cepat, tampak menganggap pengingat Randi hanya angin lalu. Setelah mangkuk di tangannya gambus tanpa sebutir nasi pun, Laras menghela napas lega dan mengulurkan tangan untuk melihatkan mangkuk kosong kepada Randi. "Aku mau ke sekolah," katanya dengan antusias. Randi mengerutkan kening, "Kamu masih sakit." "Kamu sudah janji! Jika kamu berbohong padaku, sungguh, Randi Anditara jangan pernah bicara denganku lagi." Laras melotot marah, sangat tidak puas dengan sifat labil kakak sepupunya itu. Randi mengambil alih mangkuk kosong dari tangan Laras dan meletakkannya di atas meja, dia meraih obat dan menyerahkannya kepada gadis itu dengan segelas air. "Minum obat dulu," katanya dengan lembut. "Setelah ini kita ke sekolah?" tanya Laras dengan waspada. Randi bergumam enggan, "Um." Laras langsung mengambil obat menelannya dan minum air. "Sudah, ayo ke sekolah." "Kamu yakin bisa kuat ke sekolah?" tanya Randi tidak yakin, dia melihat wajah adik sepupunya itu masih pucat dan bibirnya pecah-pecah. Dia sama sekali tidak ingin Laras pergi, hanya saja gadis itu sangat keras kepala sehingga susah bagi Randi untuk mengubah keinginan Laras daripada mengerjakan soal Matematika. "Aku kuat, sangat kuat. Ayo cepat, aku ingin bertemu Kevin. Aku harus ketemu dia hari ini," desak Laras. Dia merasa matanya masih panas dan tubuhnya sangat lemah, tetapi tidak mungkin dia akan memberitahukan kepada Randi. Dengan kakak sepupunya yang sangat protektif itu, jika tahu bahwa dia sakit sedikit pun pasti sudah panik dan akan menghambat pertemuannya dengan pemuda pengisi hatinya. "Kamu bersiap-siap, jika tidak tahan, maka beritahu padaku. Jangan memaksakan diri." Randi mengingatkan adiknya dengan tegas. Laras mengangguk acuh tak acuh, "Ya, ya, aku tahu. Aku pasti akan memberitahukanmu bahkan tentang nyamuk menggigitku sekali pun." Randi berganti dari motor menjadi mobil untuk pergi ke sekolah. Di rumah, dia menjelaskan kepada ibunya sebab dan alasan kenapa dia tidak berada di sekolah saat ini. "Terus kenapa kamu membawa Laras ke sekolah saat dia masih sakit?" Rani bertanya dengan ekspresi khawatir. "Aku juga tidak ingin," kata Randi tidak berdaya. "Jika Ibu bisa meyakinkan Laras tidak pergi sekolah, aku akan sangat berterimakasih." Rani menatap Randi dalam diam dan akhirnya menggelengkan kepala menyerah. Dia sendiri tahu tentang sifat keras kepala Laras, jika Randi tidak bisa membujuknya maka tidak ada satu pun orang yang bisa melakukannya. "Jaga dia baik-baik, jika ada apa-apa segera bawa ke UKS." Meski tidak bisa mencegah Laras, Rani tidak kuasa untuk tidak mengingatkan Randi dengan sangat cemas. Randi mengangguk berulang kali, ketika dia melihat pintu rumah Laras terbuka, dia segera pergi ke arah gadis itu. "Aku akan menjaganya," katanya dengan pasti sebelum pergi untuk menuntun gadis sakit itu ke dalam mobil. "Randi, berkendara cepat." Laras mendesak dengan tubuh terselimut jaket duduk di kursi depan. "Jangan khawatir, lebih baik berkendara pelan dan selamat. Apakah kamu mau kita kecelakaan dan kamu tidak akan bisa bertemu Kevin?" Randi bertanya sembari menyalakan penghangat ruangan yang ada di dalam mobil. Ketika sakit, Laras juga menjadi susah berpikir, terlebih lagi dia jarang mengunakan otaknya untuk berpikir sehingga dia merasa apa yang dikatakan Randi sangat benar. Bagian dia tidak bisa bertemu Kevin adalah ancaman yang akurat, jadi Laras bersandar dengan tenang, tidak lagi mendesak kakak sepupunya itu. Namun seketika dia ingat sesuatu, dia langsung membuka tas sekolah mengeluarkan cermin dan mulai merias wajahnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Randi, melirik adik sepupunya singkat sebelum fokus menatap jalan di depannya. "Wajahku sangat pucat saat ini, aku harus mempercantiknya. Kevin tidak boleh melihatku dengan wajah buruk seperti ini, bagaimana jika dia menganggapku jelek dan menjauh dariku?" Laras mengerutkan keningnya, menatap kesal pada sosok yang ada di dalam cermin saat ini. "Aku harus menggunakan skill riasku saat ini," sambungnya dengan tekad penuh. Randi hanya diam saja, tidak menanggapi seolah sedang sangat fokus menyetir dengan baik dan disiplin. Setelah sampai ke depan sekolah, gerbang sekolah sudah lama tertutup. "Bagaimana kita bisa masuk?" tanya Laras dengan cemas, merasa kepalanya tiba-tiba berat dan pusing hingga dia menutup matanya erat untuk menetralkan perasaan tidak nyaman itu. "Kamu duduk tenang di sini," kata Randi menenangkan sebelum membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Pandangan Laras kabur, dia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang kakak sepupunya itu. Namun dengan samar dia lihat gerbang yang tertutup segera terbuka begitu saja. Untuk saat ini, Laras merasa jabatan Randi sebagai ketua OSIS seorang murid paling berpengaruh di sekolah sangat bermanfaat. Randi kembali masuk ke dalam mobil, "Kita sudah boleh masuk," katanya sebelum menyetir mobil masuk ke dalam lingkungan sekolah menuju ke tempat parkir. "Apakah kamu masih bisa tahan?" tanya Randi dengan khawatir setelah mematikan mesin mobil. "Bisa," jawab Laras dengan yakin. Dia merasa sangat senang ketika telah sampai di sekolah. Suasana hatinya menjadi lebih baik. Tanpa penundaan, Laras membuka pintu dan keluar dari mobil. Dia baru saja berdiri di tanah, namun merasa kakinya melunak dan hampir jatuh jika saja dia tidak memegang pintu mobil dengan kuat. "Hati-hati," kata Randi cemas, segera berjalan ke sisi Laras dan menopang tubuh kecilnya itu agar bisa berdiri dengan stabil. "Apakah kamu sungguh tidak apa-apa? Atau kita pulang saja." "Tidak, kita sudah di sini, kenapa pulang kembali?" Laras mengerutkan keningnya tidak suka, merasa kakak sepupunya sangat berlebihan ketika khawatir. Laras mengeluarkan masker yang dibelikan Randi untuknya dengan hati-hati agar dia tidak menginfeksi orang lain dan juga menutupi sebagian wajahnya yang terlihat sangat buruk bahkan setelah dirias. "Ayo bawa aku ke aula, seminarnya belum mulai kan?" tanyanya dengan cemas. Randi mengangguk, "Aku sudah bertanya, pembawa materi belum datang." "Bagus, ayo bawa aku ke sana." Laras tersenyum dangkal, menarik-narik lengan kakak sepupunya untuk membawanya ke aula. Dia sangat ingin bertemu dengan Kevin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD