Keresahan Sekretaris Kelas

1492 Words
Laras mengerutkan keningnya tidak puas, menarik selimutnya ke atas kepalanya, kembali menyembunyikan dirinya. Randi melihat tingkat gadis itu hanya bisa menghela napas panjang, dia dengan langkah ringan keluar dari kamar Laras berniat membeli obat dan bubur untuk gadis itu. Di sekolah, Rena sedang memakan kripik pisang rasa coklat. Dia melihat ke arah jam dinding yang terpasang di depan kelas kemudian mengalihkan pandangannya ke pintu kelas di mana para murid datang pergi dengan kekacauan. "Rena, mana Laras? Dia jadi ikut seminar kan?" tanya Tiara sang sekretaris kelas 11 IPA 2 dengan gelisah. Rena mengangguk bahkan tanpa berpikir, "Iya, jadi, jadi." "Tapi dia dimana sekarang? Aduh—" bahu Tiara disenggol oleh teman-teman kelasnya yang berlarian di kelas. "Sialan kamu Halim! Kalau lari pakai mata!" teriaknya keras. "Maaf, aku hanya tahu lari pakai kaki." Halim masih sempatnya menjawab ketika dia lari dari kejaran siswi yang ikat rambutnya dia jarah. Tiara mendengus kesal, kembali memusatkan fokusnya pada Rena. "Ini sudah mau bel masuk, meski Laras suka terlambat tetapi dia jarang belum hadir sampai jam segini. Kalau dia tidak jadi ikut, aku akan segera menggantinya dengan yang lain." Rena melambai santai padanya, "Tenang saja, anak itu pasti datang. Jika kamu menggantinya, maka bersiaplah untuk menerima amukan darinya." Mengingat sifat bar-bar Laras, Tiara menjadi ragu dengan tindakannya sendiri. Dia mengangguk penuh pengertian, namun tidak bisa menahan rasa gelisahnya. "Darimana kamu tahu dia akan datang? Apakah kamu sudah menghubunginya?" "Aku tanya sama kamu, jika hari ini adalah hari ujian akhir semester yang tidak bisa diulang, apakah kamu bakal tidak datang?" tanya Rena sembari memasukkan dua potong keripik ke dalam mulutnya. Rasa manis bubuk coklat melekat di lidahnya, membuatnya mengangguk dengan nikmat. Tiara menjawab pertanyaan itu langsung penuh kepastian, "Datanglah." Rena mengangguk, "Bagi Laras, datang ke seminar ini lebih penting daripada menghadiri ujian. Jadi tenang saja." Sebagai orang yang mengenal karakter Laras, Rena sama sekali tidak merasa panik dan menjelaskan dengan sangat menyakinkan hingga membuat Tiara secara bertahap akhirnya santai. "Hah? Sejak kapan Laras menganggap pergi ke seminar sangat penting? Aku malah curiga dia akan bermain dengan ponselnya begitu seminar dimulai." Zulkifli yang duduk di depan Rena segera menoleh ketika mendengar percakapan di belakangnya. Tatapan heran dan penuh ketidakpercayaan di matanya sangat jelas sehingga tidak bisa lebih jelas lagi. Rena menghela napas lelah, melambaikan tangannya kepada dua perwakilan kelas itu. "Sudahlah, kalian ke sana, ke sana. Ada Kak Kevin di seminar itu, Laras pasti datang." Mendengar nama Kevin disebut, Zulkifli dan Tiara segera berseru paham. "Ternyata ini alasannya," kata Tiara mendesah lega. "Jika Kak Kevin benar-benar ada di sana, maka aku tidak perlu khawatir lagi." "Ya, karena itu kalian berdua tenang saja. Laras tidak mungkin tidak hadir. Mau makan?" Rena mengulurkan tangannya yang memegang sebungkus keripik, mengarahkannya kepada Tiara dan Zulkifli. Namun hingga bel masuk berbunyi, sosok gadis yang selalu bersikap anggun dan angkuh tidak juga terlihat. Tiara yang masih duduk di bangku Laras dengan memakan keripik bersama Rena dan Zulkifli kembali merasa gelisah. Dia adalah sekretaris kelas, jika ada kesalahan sedikit saja maka dia yang pertama kali ditegur, tugasnya bahkan lebih berat dari ketua kelas yang bisanya hanya memerintah. "Rena, Laras dimana? Sudah bel, kenapa dia belum juga datang?" tanya Tiara mengambil segenggam keripik dari kemasan makanan yang ada di tangan Rena. Rena, "..." Dia tiba-tiba merasa sedikit ragu. "Kita tunggu sebentar lagi," katanya mencoba meyakinkan Tiara serta dirinya sendiri juga. Dia kemudian mengambil ponselnya dari tas, memanggil nomor kontak Laras dan menunggu panggilan terhubung. Namun nada sambung terus berbunyi tetapi panggilan tak juga terjawab. Hingga akhirnya suara sistem wanita terdengar yang menandakan panggilan tak terjawab. Rena mencobanya lagi, namun hal itu terjadi berulang lagi. "Tenang, aku akan mengirimkan pesan padanya." Rena menjilat jari-jarinya yang memiliki bubuk coklat tersisa hingga bersih lalu mengetik pesan kepada temannya. [Kamu dimana? Bel masuk sudah berbunyi. Cepat datang, sekretaris kelas kita akan gila karena kamu.] "Bagaimana?" tanya Tiara mendesak. "Tenang saja, ketika Laras membaca pesanku, dia pasti akan langsung membalasnya." Rena menepuk tangannya ke bahu Tiara, mencoba menenangkan sekretaris kelas mereka itu. "Jangan lap tanganmu di bajuku," Tiara langsung menjauhi dari jangkauan tangan Rena dengan wajah mengerikan seolah melihat virus mematikan yang harus dihindari. "Bagaimana jika Laras tidak membaca pesanmu?" tanyanya kemudian, dia merasa mulai mengalami situasi di mana dia terus berpikir pesimis. Rena terdiam, menatap ke arah Tiara dengan tampang merenung. "Jika tidak, maka haruskan aku memakai cara terakhir?" tanyanya dengan ragu. Tiara memajukan tubuh bagian atasnya dengan antusias, "Apa cara terakhir?" Rena memasukkan tangannya ke dalam kemasan keripik dan terdiam ketika tidak ada satu potong keripik pun tersisa. Kemudian dia melihat ke tangan Zulkifli dan Tiara memiliki segenggam penuh keripik dengan pandangan kosong. Dia merasa berat di hatinya namun tetap fokus pada persoalan hal yang penting. "Aku akan menghubungi Kak Randi," katanya dengan hati-hati seolah ketika menyebut nama ketua OSIS itu maka pemilik nama itu akan mendengarnya. "Ya, ya, telepon sekarang juga." Zulkifli yang sedari tadi mendengar dan melihat kepanikan dua siswi itu segera angkat suara dengan tenang, sama sekali tidak ada keresahan pada wajahnya. Benar-benar menampilkan sosok ketua kelas yang tenang. Tidak, Tiara menyebut itu adalah ketua kelas yang bodoh amat terhadap segalanya dan melempar semua tanggung jawab pada sekretaris kelas yang malang. "Kamu yakin akan menelepon Kak Randi? Dia ketua OSIS loh, pasti sedang sibuk sekarang menyiapkan ruang seminar." Tiara langsung masuk dalam dilema, bagaimana pun OSIS selalu menjadi kelompok tersibuk ketika ada kegiatan di sekolah. Rena tiba-tiba merasa tidak yakin, dia melepas ponselnya di atas meja. "Ya sudah, tidak perlu." "Tidak, tidak, coba kamu meneleponnya sekali. Sekali saja, jika tidak diangkat maka kita menyerah saja." Tiara mengambil ponsel Rena dan meletakkan kembali di tangan sang pemilik. "Kamu yang meneleponnya," kata Rena mengoper ponselnya kembali ke Tiara. Tiara dengan sangat tulus menyerahkan ponsel pintar itu kembali kepada Rena. "Aku tidak akrab dengan Kak Randi, aku bahkan berbicara padanya hanya untuk mengumpulkan informasi kelas. Lagi pula aku sedikit takut padanya, jadi kamu saja." "Apakah kamu pikir aku tidak takut padanya?" Rena bertanya dengan nada retoris. Walau pun dia tidak takut pada Randi, tetapi dia sangat segan kepadanya. Dengan disiplin dan kecerdasan Randi, Rena selalu merasa takut mengeluarkan terlalu banyak hawa keberadaannya. Terlebih lagi dia sangat takut ketika Randi berpikir bahwa dia menyesatkan adiknya itu ke jalan yang salah! "Tidak, kamu tidak takut padanya. Aku yakin dengan keberanianmu." Tiara mengepalkan tangannya, memberi semangat pada Rena sebagai teman reformasi. Rena agak ragu beberapa saat, akhirnya pergi ke riwayat panggilan untuk mencari nomor Randi. Beberapa kali Laras pernah meminjam ponselnya untuk menelepon kakak sepupunya itu sehingga Rena masih menyimpan nomor Randi di daftar riwayat panggilan. Setelah dia menemukan nomor kontaknya, dengan tarikan napas panjang, dia memanggilnya. Hal yang mengejutkan, bahwa nada sambung yang terdengar. Rena berpikir saat ini Randi mematikan ponselnya karena sedang di sekolah, ternyata tidak sama sekali. "Halo," suara pemuda yang dalam terdengar ketika panggilan tersambung. Tiara langsung menggila, dia mengguncang bahu Rena dengan semangat. Rena menatap ngeri noda coklat yang tertinggal di baju putihnya. Dia segera melotot kepada Tiara untuk memberinya peringatan sebelum menyalakan speaker dan berbicara kepada Randi. "Halo Kak, aku Rena. Saat ini Laras belum juga datang ke kelas, apakah Kak Randi tahu dia dimana sekarang?" tanya Rena tiba-tiba mengubah suaranya menjadi begitu formal dan sopan. Randi, "Ya, dia tidak ke sekolah hari ini. Aku sudah menelepon wali kelas kalian untuk memberitahukan bahwa dia sakit." Rena melirik ke arah Tiara, meminta saran untuk hal apa lagi yang ditanyakan. Tiara menggerakkan tangan dan kepalanya memberi isyarat yang kacau dan berantakan. "..." Rena tiba-tiba merasa berbicara dengan orang gila. Dia langsung berdehem singkat, "Baik Kak, aku hanya ingin bertanya tentang ini karena Laras sudah mendaftar sebagai perwakilan kelas untuk ikut seminar. Terima kasih sudah menjawab." Randi, "Ya." Rena meringis mendengar jawaban singkat dan serius itu. Dia segera pamit dan memutuskan panggilan lalu menatap ke arah Tiara dalam diam. "Kamu mengatakan bahwa dia akan datang!" Tiara membenturkan kepalanya di meja Laras, merasa sangat frustrasi. Rena mengangkat bahunya singkat, "Siapa yang sangka ternyata Laras juga bisa sakit. Aku tidak memikirkannya," katanya dengan nada tak berdaya. "Diberitahukan kepada perwakilan kelas yang mengikuti seminar pendidikan hari ini, silakan menuju ke aula." Suara seorang murid yang diduga anggota OSIS terdengar di setia speaker yang terpasang di setiap sudut sekolah menyampaikan pemberitahuan. Tiara merasa waktunya terbuang sia-sia begitu saja. Dia langsung berdiri di atas kursi dan bertanya dengan lantang. "Satu tempat kosong untuk mengikuti seminar, siapa yang tertarik?" Ada sekitar tiga puluh siswa di kelas, namun tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaannya. Yang bermain ponsel tetap bermain ponsel, yang menyalin pekerjaan rumah teman tetap menyalin, yang berlarian mengganggu teman tetap mengganggu, dan yang mengkhayal tetap mengkhayal, seolah suara Tiara adalah angin lalu, tidak ada yang memedulikannya. "Bunuh saja aku," Tiara meringkuk menyedihkan di kursi, merasa dunia sangat kejam untuknya. Dia hanya ingin kehidupan sekolah yang tenang dan damai, namun setiap kali pemilihan sekretaris kelas, dia selalu ditunjuk begitu saja. "Halim, ikut seminar dan istirahat aku akan mentraktirmu minuman." Zulkifli menahan sosok yang baru saja berlari melewatinya. Halim berpikir selama tiga detik dan mengangguk, "Oke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD