Sakit

1059 Words
Laras bangun dengan linglung, merasa kedinginan, dia merangkak mengambil selimut yang jatuh di lantai dan kembali berbaring dengan tubuh yang tertutup selimut tebal. "Haaaciim!" Kesadaran Laras baru saja akan kembali tenggelam, namun segera dihentikan oleh bersin yang tidak dapat dihindari. Dia mengusap hidungnya yang tersumbat, dan menarik napas dengan susah payah. Dia kembali terdiam dengan tenang, namun sekali lagi dikejutkan oleh bersinnya yang mengguncang tubuhnya. Merasa sangat tak berdaya, Laras membuka matanya yang terasa panas, melihat ke arah jam dinding dengan susah payah. Waktu kini menunjukkan pukul 2 tengah malam, masih jauh dari waktunya seharusnya bangun. Dia meringkuk di dalam selimut, matanya yang panas kembali tertutup dengan kesadaran setengah hilang. Padahal dia tidak menyalakan pendingin ruangan sebelum tidur, tetapi kenapa dia menggigil seolah berada di kulkas? Laras bergumam tidak jelas, keningnya berkerut dalam. Dia mengulurkan tangannya mencari ponselnya, tetapi tak juga menemukannya. Tidak tahu sampai kapan dia terus berada dalam kondisi setengah sadar setengah tidur hingga akhirnya dia benar-benar masuk ke alam mimpi dalam keadaan gelisah. Ketika dia bangun kembali, Laras sangat enggan untuk keluar dari zona tempat tidurnya. Dia memegang sudut selimutnya dengan erat dan meringkuk erat menyatukan tubuhnya menjadi bola. "Dingin," gumamnya tidak puas. Namun lama dia menderita dalam rasa nyaman, tidak ada satu pun orang yang datang menghiburnya. Laras membuka matanya yang terasa lebih berat dan panas dari sebelumnya. Melihat ke pintu kamarnya yang tertutup rapat dan suasana redup di sekitarnya, matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Pikirannya yang kabur langsung berpikir acak. Dia tidak merasa nyaman di seluruh tubuh, kepalanya pusing, matanya berat, dia merasa dingin namun tubuhnya sangat panas. Tetapi tidak ada seorang pun yang menemaninya di sini. Randi baru saja sampai ke kelas ketika mendengar nada dering samar dari dalam tasnya. Dia mengerutkan kening karena merasa dirinya sangat ceroboh. Biasanya meski dia membawa ponsel ke sekolah, dia akan menonaktifkannya selama jam sekolah. Lagi pula di sekolah tidak ada larangan membawa ponsel hanya saja tidak boleh menggunakannya selama jam mata pelajaran berlangsung. Dia membuka tas sekolahnya, mencari ponselnya dan ingin menonaktifkannya. Namun gerakannya berhenti ketika melihat panggilan tak terjawab dari adik sepupunya. Tanpa pikir panjang, dia segera memanggil Laras. Suara nada sambungan terdengar, namun lama berlangsung, Laras tak juga mengangkat ponselnya. Restu berpikir panggilannya tidak akan terjawab namun segera suara nada sambung berhenti dan layar segera memunculkan hitungan detik panggilan berlangsung. Randi ingin bertanya kenapa Laras meneleponnya namun mendengar suara isakan tangis yang datang dari sisi seberang membuatnya membeku. "Randi hiks ... hiks ..." Laras memanggil namanya dengan terisak. "Kamu kenapa?" Randi segera berdiri dari bangkunya, menajamkan pendengarannya lebih baik dari sebelumnya. "Ibu dan ayah tidak ada hiks ... mereka meninggalkanku ... aku sendiri di sini." Laras bergumam tidak jelas, semakin banyak dia bicara, tangisannya menjadi lebih besar. "Tidak ada siapa pun ..." Randi mendengarkan ucapan Laras dan merasa ada yang salah dengan gadis itu, segera dia mengeluarkan kunci motornya berjalan dengan cepat keluar dari kelas menuju tempat parkir. "Tenanglah, aku akan datang." Laras tampaknya tidak mendengarkan ucapan Randi, dia menangis sangat keras. Suara isakan dan tarikan ingus terdengar terus menerus. "Aku menunggu mereka sangat lama tetapi mereka tidak pernah pulang. Hiks, tidak ada siapa pun. Randi ... Randi!" "Iya, iya, aku akan naik motor sekarang menemuimu. Aku matikan dulu panggilannya," kata Randi dengan cepat membuka kunci motor sembari berbicara dengan lembut untuk membujuk gadis itu. "Kapan mereka akan kembali? Aku, aku menunggu sangat lama. Aku selalu menunggu, kamu tahu aku selalu berharap mereka kembali lagi." Laras bersembunyi di dalam selimut, tubuhnya gemetar karena tangisnya yang tak kunjung mereda. Di area tertentu di seprai terdapat tanda basah dan terus menyebar. "Mereka tidak menyayangiku. Siapa yang mau uang mereka? Aku hanya ingin mereka pulang, kembali ke sini. Hiks, katakan, kenapa mereka harus pergi?" Randi menghela napas tak berdaya, duduk di atas motor namun tak tega memutuskan panggilan. Tetapi dia tidak membawa earphone, jadi tidak mungkin mengemudi sembari terus tersambung panggilan dengan Laras. "Mereka menyayangimu, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Aku akan memutuskan panggilan dulu, segera aku akan tiba di rumahmu, oke?" Laras melihat ke layar ponselnya dengan pandangan kosong, panggilan telah berakhir. Dia menjadi lebih frustrasi, menyingkirkan ponselnya ke lantai dan terus menangis dengan keras hingga membuat suaranya serak. Dalam tangisnya, dia memanggil orang tua dan saudaranya. Suaranya menjadi samar, hingga kata-kata yang diucapkannya secara beriringan menjadi tidak dapat dimengerti. "Tidak ada seorang pun ... tidak ada ..." Laras merasa anggota tubuhnya saat ini semua tidak nyaman, dia ingin tidur tetapi tidak dapat beristirahat dengan nyaman. Pikirannya penuh dengan hal acak yang berantakan. Suatu saat dia memikirkan boneka masa kecilnya yang hilang, dia menangis. Kemudian dia memikirkan guru-guru menegur karena nilainya buruk, dia menangis lagi. Lalu dia memikirkan tentang bagaimana Kevin dulu membentaknya di saat dia ingin membantunya, dia langsung menangis. Setiap hal segera datang menjadi keluhan di pikiran Laras, membuat perasaannya tidak nyaman dan hanya merasa sedih. Ketika Randi datang membuka pintu kamar Laras, yang dia lihat adalah sebuah gundukan di bawah selimut. Dia bisa dengan jelas mendengar Isak tangis dari arah itu. Langkah kakinya menjadi lebih ringan, dia mendekati Laras dengan perlahan. "Laras, aku datang." Dia berkata dengan sangat pelan dan lembut, mencoba menenangkan gadis itu. Laras mendengar suara kakak sepupunya, dia menarik sedikit selimut hingga menunjukkan matanya yang merah dan berair. "Aku tidak nyaman, kepalaku sakit, tubuhku lemas. Aku tidak nyaman," keluhnya dengan isakan sedih. Randi mengulurkan tangannya mengukur suhu tubuh adik sepupunya itu, merasa tertekan dengan panas di bawa telapak tangannya. "Kamu sakit, ayo ke rumah sakit?" "Tidak," Laras kembali membenamkan seluruh tubuhnya di dalam selimut. Mengungkapkan penolakannya dengan tegas, "Aku akan di rumah. Menunggu mereka, mereka akan kembali ..." Kening Randi berkerut mendengarnya. Laras jarang jatuh sakit, dia selalu tampak semangat dan riang sehingga melihatnya seperti ini membuat Randi merasa sangat tersiksa. Dia duduk di pinggir tempat tidur, mencoba menarik selimut untuk melihat kepala gadis itu. "Aku akan pergi beli bubur dan obat untukmu. Tunggu sebentar, hm?" "Aku tidak mau ke rumah sakit," gumam Laras dengan acak. "Iya, kita tidak akan ke rumah sakit. Kamu tenang sebentar di sini, aku akan membeli sarapan dan obat untukmu." Randi mengelus rambut depan Laras yang telah basah oleh keringat dingin. Melihat adik sepupunya itu telah tenang, dia bangkit dan berjalan ke pintu. "Randi," panggil Laras tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. "Seminar," kata Laras menggigit bibir bawahnya gelisah. "Aku ingin ke sekolah," lanjutnya. "Tidak, kamu sakit. Jadilah baik dan tetap di rumah," kata Randi menolak permintaan Laras begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD