Rencana

1044 Words
"Iya, iya, jadi kamu ikut?" Laras bertanya dengan semangat, senyumannya bahkan terbentuk lebar tanpa dia sadari. "Ikut!" Rena berseru tanpa berpikir panjang. Laras terkikik senang mendengar jawaban Rena, bagaimana pun sangat menyenangkan memiliki seorang teman daripada tidak sama sekali. "Bagus, besok kita akan pergi ke mal dan belanja banyak!" kata Laras, melirik kartu hitam yang ada di tangan kirinya. "Bagus, bagus, bagus, besok aku akan datang ke rumahmu." Rena menjawab segera, baginya tidak ada hal yang lebih menyenangkan daripada belanja. Terlebih lagi belanja bersama Laras, itu hanyalah surga dunia! Jadi dengan begitu janji dikatakan dan tepati. Keesokan harinya, sinar matahari menyerbu masuk ke jendela dan jatuh ke salah satu sisi wajah seorang gadis. Banyak butiran putih terlihat jelas di dalam cahaya tersebut. Namun sebagian besar ruangan, masih diselimuti bayangan besar karena kurang cahaya yang ada. Menciptakan suasana yang begitu sepi dan tenang. Tak lama kemudian, ketenangan yang menyenangkan itu terhapus oleh suara dering alarm yang dahsyat. Gadis yang tidur di atas tempat tidur mengerutkan kening tak suka sembari terus memeluk selimut di sekitarnya. Bantal gulingnya yang seharusnya berperan sebagai sosok yang dipeluk telah jatuh ke lantai entah kapan. Bantal kepalanya masih tetap di tempat, namun kepala gadis itulah yang telah berpindah tidak lagi memanfaatkan fungsi bantalnya sama sekali. Dalam posisi meringkuk seolah kedinginan atau hanya sekedar postur kebiasaan, gadis itu bergumam rendah. Bibirnya bergerak-gerak, tampak meminta seseorang mematikan suara yang mengganggunya. Lama tidak ada jawaban atau tanggapan dari orang lain, akhirnya gadis itu membuka matanya dengan enggan. Tangannya terulur mengikuti suara bunyi alarm dan menemukan ponselnya di atas lemari kecil di sebelah tempat tidur. Alarm dimatikan, ketenangan kembali terjalin. Laras duduk masih dengan aura kantuk di tubuhnya. Matanya setengah tertutup, berdiam diri sejenak untuk menyadarkan dirinya sepenuhnya dan akhirnya bangkit dan keluar dari kamarnya. Rumah Laras sangat luas dan besar, meski begitu jarang ada barang keramik atau benda yang mudah pecah. Bagaimana pun gadis itu selalu impulsif, berapa kali dia marah, dia akan membuang barang di sekitarnya dan menghancurkan segalanya. Sehingga benda-benda di ruangan menjadi lebih berkurang dan berkurang, membuat ruangan menjadi lebih kosong tanpa adanya sebuah tanda-tanda kehidupan yang jelas. Namun karena telah terbiasa, Laras sama sekali tidak memperhatikan kekosongan itu. Dalam sekejap, dirinya ditimbun oleh rasa semangat dan bergegas untuk membersihkan diri dan siap-siap untuk pergi ke sekolah. Pergi ke sekolah, dia bertemu dengan Rena yang semangat. Laras mendekati temannya itu yang ternyata sedang bermain dengan ponselnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Laras dengan bingung, melihat ke layar ponsel Rena dan mengangguk paham. Di layar ponsel Rena, ada permukaan browsing internet. Gadis yang terkadang belajar itu ternyata sedang mencari barang-barang apa saja yang akan dia belinya nanti. Sepertinya dia telah sangat semangat dan sudah menyiapkan listnya dengan hati-hati, takut melewatkan apa saja yang akan membuatnya menyesal. "Kamu sedang buat list belanjaan?" Laras mengerutkan kening, bertanya dengan tampang ragu dan tidak puas. Rena menghentikan gerakannya, menatap ke arah Laras dengan bingung. "Iya, kamu tidak?" tanyanya sedikit tidak semangat, jika Laras tidak melakukannya, maka itu tidak baik jika hanya dia yang membuat daftar belanjaan. "Omong kosong macam apa yang kamu katakan," Laras mendengus keras, merebut kemasan keripik kentang yang ada di atas meja Rena dan memakannya dengan senang hati. "Aku tentu saja melakukannya, tetapi sudah selesai tadi malam. Kenapa kamu baru membuatnya sekarang?" Dia berdecak tidak puas, seolah melihat seorang teman yang tidak memenuhi harapannya. Rena menjadi tenang mendengar ucapan Laras, dia tersenyum santai ketika menjawab. "Oh itu, semalam aku harus mengerjakan tugas Matematika, lumayan susah jadi tidak ada waktu untuk melakukan ini." "Tugas Matematika?" Laras bertanya dengan senyum penuh arti. Mungkin karena mereka telah berteman dekat dari abad-abad sebelumnya, sehingga Rena segera mengerti apa maksud dan keinginan Laras dengan hanya senyumannya saja. Dia mengangkat dagunya, menunjuk tas sekolah di atas meja dengan itu. "Cari sendiri," katanya lalu kemudian kembali fokus mencari kebutuhan untuk mendaki dan tinggal di bukit. Laras tanpa basa basi segera mencari buku tugas Rena. Meski dia tidak peduli dengan nilai atau pun pelajaran, tetapi lebih baik untuk tidak meninggalkan masalah untuk diri sendiri. Jika dia tidak mengerjakan tugas rumah, maka guru mungkin berubah menjadi sesuatu yang mengerikan, memintanya berdiri selama jam pelajaran atau mengusirnya dari kelas. Yang lebih mengerikan dari keduanya ialah akan mendapatkan ceramah gratis selama selusin menit dan akhirnya telinga berdengung tidak mampu mendengarnya lagi. Gerakan tangannya melaju cepat ketika dia mencatat, tulisan yang miring serta tak teratur terbentuk di halaman buku di hadapannya. Tidak butuh banyak waktu hingga akhirnya Laras menyelesaikan contekannya, kebetulan saat itu juga seorang teman sekelas mengatakan bahwa bu Ranti— guru Matematika telah datang. Ketika baru saja masuk, guru itu langsung mencari pekerjaan rumah setiap murid, memeriksanya secara teliti dan penuh perhatian. Semua murid dengan tenang mengumpul buku tugas mereka ke meja guru, tidak ada ketegangan sama sekali. Bagaimana pun, waktu sebelum bel masuk berbunyi telah memberi mereka kesempatan untuk menyontek pekerjaan rumah orang lain. Ketika bu Ranti mulai mengajar, Laras menjadi bosan terlebih lagi dia harus melihat dan mendengar rumus-rumus yang enggan dia ketahui itu. Dengan malas dia mengeluarkan ponselnya, berselancar di internet untuk mencari tips untuk mendekati sang pujaan hati. Ketika dia mulai bermain internet, waktu terasa lebih menyenangkan dan suara guru pun tidak terdengar lagi di telinganya. Lama dia mencoba belajar untuk mengejar seseorang, lengannya disenggol oleh teman sebangkunya. "Apa?" Laras menoleh ke Rena, bertanya dengan malas. Rena tidak bicara sama sekali, namun alisnya bergetar naik turun dengan mata berkedip seolah sedang kelilipan. "Apa maksudmu berkedip seperti itu?" tanya Laras bingung. "Maksudnya kamu harus berdiri sekarang juga," suara bu Ranti yang tegas dan penuh penekanan terdengar. Laras segera melempar ponselnya ke laci meja dan bangkit berdiri dengan tegang. "Bagus, Laras, nilai ujian semestermu sudah sangat mengerikan dan kamu masih berani bermain di kelasku." Bu Ranti selalu menjadi sosok yang lumayan ditakuti murid-murid, terlebih lagi kontur wajahnya mendukungnya menjadi guru killer yang membuat para murid waspada di sekitarnya. "Berdiri di tempatmu sampai istirahat, jangan berani tidak memperhatikan kelas atau kamu akan berdiri sampai bel pulang berbunyi." Ancamannya berhasil menakut-nakuti Laras. Gadis itu dengan cepat mengangguk patuh, wajahnya yang tajam menunjukkan kepolosan anak remaja yang tidak tahu besarnya dunia. Meski bu Ranti tahu bahwa itu hanya kamuflase semata, tetapi dia hanya bisa menerimanya dan melanjutkan pelajaran. Laras menghela napas lega, dengan enggan menatap ke depan untuk mendengar dan melihat bagaimana guru mengajar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD