Bantuan Randi

1221 Words
Ketika Laras pulang ke rumah, dia melempar tasnya di ruang tamu sebelum kembali keluar dan menuju ke rumah tetangga. Di halaman rumah tetangga, Laras melihat Raka— ayah Randi sedang memotong rumput liar di halaman samping. Laras berhenti sesaat, terkikik dalam diam sebelum berjalan perlahan ke arah Raka. "Jangan membuat ulah, kamu lihat apa yang Ayah pegang?" Suara Raka terdengar tenang tanpa menoleh atau menghentikan kegiatannya sama sekali, ketika dia mengatakan itu, sabit di tangannya tampak mengkilat terpapar sinar matahari. Laras tertawa terbahak-bahak. "Ayah Raka, Randi sudah pulang?" tanyanya setelah menyelesaikan tawanya. Randi adalah ketua OSIS, murid yang memiliki aktivitas tersibuk di sekolah dan terbiasa datang cepat pulang lambat. Karena itu juga, Laras menolak untuk pulang pergi sekolah bersamanya. Dia tidak mampu mengikuti aktivitas ketat Randi. "Belum, kamu tunggu saja di dalam." Raka menjawab sembari mengibas-ngibaskan tangannya sebagai tanda pengusiran. Diusir seperti itu, sifat keras kepala Laras segera muncul. Dia tipe orang yang jika diminta dia tidak akan melakukannya, dan ketika tidak diminta dia akan melakukannya. Laras berjongkok di samping Raka, kepalanya miring sehingga membuat salah satu pipinya bersandar di lutut. "Ayah Raka dipecat? Kenapa tidak kerja?" tanyanya dengan santai, berusaha untuk berbasa-basi. Namun sayang sekali niat baik Laras untuk basa basi tidak dihargai sama sekali. Raka mengangkat sabitnya ke arah Laras, wajahnya yang tegas menoleh memberi perasaan intimidasi bagi yang ditatapnya. "Kamu sepertinya benar-benar meminta kematian," kata Raka dengan mengayunkan sabit ke arah Laras. Laras tertawa dan bangkit untuk menghindar, suaranya terdengar antara panik dan geli ketika mengangkat tangan berteriak kepada Raka. "Ayah Raka seorang polisi! Membunuh merupakan perbuatan kriminal!" serunya sembari mengambil langkah mundur. "Jika yang dibunuh adalah kamu, maka itu sebuah perbuatan mulia." Raka membalasnya segera, namun dia tidak mengejar Laras dan kembali memotong rumput liar yang mengambil alih kekuasaan tanah. Laras terkikik, dia mendengar deru motor yang kian mendekat dan menoleh untuk melihat bahwa Randi sudah pulang. "Randi!" Laras melambaikan tangannya, menunjuk ke pintu rumah dan segera berlari masuk ke dalam rumah tetangga. Di dalam rumah tetangga, Rani sedang menjahit sebuah baju di sofa ruang tengah sembari sesekali mengangkat kepalanya untuk menonton acara varietas yang berlangsung di televisi. "Ibu Rani, aku ingin numpang makan." Laras berkata acak, menyapa bibinya itu. Rani mengangkat kepalanya dan tersenyum lembut ketika melihat Laras. "Ada banyak makanan di dapur, kamu makan sana." Laras mengacungkan dua jempolnya, "Oke, aku mau diskusi penting dengan Randi dulu." "Diskusi penting," cibir Randi yang baru masuk ke dalam rumah. Dia bahkan tertawa mengejek, berjalan melewati Laras tak lupa mengacak rambut gadis itu. Laras menjadi semangat, dia berlari mengikuti Randi sembari berbicara cepat kepada Rani. "Aku ingin diskusi sebentar dulu!" Sebelum pintu kamar Randi tertutup, Laras menggunakan tubuh langsing dan lincahnya untuk menyelinap masuk. Dia menghela napas lega ketika dia telah sepenuhnya berada di kamar kakak sepupunya itu. "Randi, Randi!" panggilnya antusias, dia bahkan lompat-lompat di tempat tampak sangat bahagia. Randi meletakkan tas sekolahnya dan duduk di depan mejanya. "Ada apa?" tanyanya tenang, menunggu gadis itu untuk mengatakan keinginannya. "Kevin sudah melunak padaku," kata Laras membagi informasi bahagianya kepada Randi. "Kevin tidak lagi mengabaikan ku, dia akan mengobrol denganku, dan juga menungguku menyelesaikan makananku. Astaga, sepertinya Kevin sudah menyukaiku!" Ketika Randi mengetahui bahwa ini tentang Kevin lagi, dia memutar matanya malas. Tangannya mengambil pena dari tempat pensil dan memutarnya dengan santai. "Kamu terlalu banyak berpikir," katanya untuk menyadarkan Laras. Sayangnya, khayalan Laras sama sekali tidak mudah dibuyarkan. Gadis itu berjalan dengan langkah panjang dan pelan ke arah jendela yang terbuka, berdiri di bawah sinar matahari yang menyelinap masuk. Angin sepoi-sepoi terkadang terasa memberi kenyamanan yang membuat Laras menyipitkan mata nikmat. "Kamu sih tidak lihat sendiri, Kevin benar-benar sangat lembut kepadaku." Dia mengatakannya dengan kesabaran yang langka, membuat Randi menyipitkan mata curiga. "Katakan, apa yang kamu inginkan?" Randi mengangkat dagunya singkat, meminta Laras untuk langsung saja mengatakan keinginannya tanpa pembukaan atau basa basi. Mengetahui niatnya terbongkar, Laras tidak malu sama sekali. Gadis itu terkikik bahagia, menatap ke arah kakak sepupunya yang menampilkan ekspresi tidak sabar di wajahnya, Laras segera mengutarakan keinginannya, "Bantu aku untuk mendekati Kevin, oke? Dia sudah melunak kepadaku, jika aku terus di sisinya maka dia mungkin akan mengenali perasaannya dan menembakku." "Keluar." Randi menunjuk ke pintu kamarnya, tegas dan penuh penekanan. Laras buru-buru berjalan mendekati kakak sepupunya itu, dia mengguncang pundak Randi, berkata dengan nada memelas dan memohon. "Randi— kakakku yang tertampan dan terpintar, bantu aku ya? Ya ya ya? Hanya kamu satu-satunya yang dapat membantuku. Jika Kevin dan aku benaran sudah pacaran, maka aku— Laras Filandari akan menuruti semua ucapanmu. Apapun itu, aku tidak akan melawan lagi." Kondisi yang dikatakan Laras memang membuat Randi tergerak, hanya saja untuk Kevin dan Laras bersama, Randi menganggapnya mustahil, jadi dia masih menolaknya. "Berhenti mengkhayal yang aneh-aneh, kamu sudah kelas dua sekarang. Belajar yang tekun, jangan hanya cinta-cintaan—" "Ya ya ya, kamu benar." Laras segera memotong ucapan Randi, memutar matanya diam-diam tanpa kakak sepupunya itu tahu. "Tetapi aku tidak bisa fokus belajar selama Kevin belum menjadi milikku," katanya mendesah berat. Randi tertawa dingin, tidak menanggapinya. Pemuda itu bahkan mulai mengambil salah satu buku yang tersusun rapi di atas meja dan membukanya. Tatapannya tertuju ke lembaran buku di hadapannya, bersikap bahwa dia mengabaikan Laras. Laras segera menarik buku dari genggaman Randi, dia memasang ekspresi sedih pilu dan tertekan yang sangat berlebihan. Bahkan matanya mulai mengeluarkan air mata palsu yang sangat dramatis. "Baiklah, bantu aku sekali saja. Kamu kan sering diajak Kevin dan teman-temannya bermain, ajak aku juga. Jika kamu mengajakku, maka aku akan menuruti semua perkataanmu, tidak akan membantahnya atau menolaknya." "Coba katakan lagi," kata Randi membuka rekaman suara di ponselnya dan mendekatinya di depan wajah Laras. Laras melihat ke layar ponsel Randi dengan kening berkedut, sama sekali tidak menyangka bahwa Randi akan mengumpulkan bukti. Memang benar, kakaknya yang satu ini tidak mudah dikelabui! "Aku— Laras Filandari berjanji, jika Randi mengajakku bertemu Kevin dan bermain di luar bersamanya maka aku akan menuruti dan mengikuti semua yang diinginkan Randi Anditara— kakakku tertampan dan terpintar sedunia!" Laras berteriak ke arah mikrofon ponsel, lalu mendengus kesal. "Puas?" tanyanya ketus. Randi menyimpan rekaman suara dan mengangguk pelan, akhirnya dia tersenyum ramah untuk pertama kalinya sejak masuk ke dalam rumahnya tadi. Sembari mengubah nama rekaman, dia berkata kepada Laras dengan tenang, "Sabtu ini, Kevin akan pergi mendaki bukit." "Sungguh?" tanya Laras dengan mata bersinar terang, "Kamu ikut?" Sebenarnya Randi tidak ingin ikut, tetapi melihat rekaman di layar ponselnya, pemuda itu dengan enggan mengangguk. "Ya," jawabnya. "Oke! Aku akan bersamamu kalau begitu. Tunggu, tunggu, kenapa hari Sabtu?" Dia bertanya dengan kening berkerut, kemudian mengangguk paham. "Oh iya libur nasional," katanya menjawab pertanyaannya sendiri. Mungkin karena saking senangnya, Laras mulai merencanakan apa yang akan dia lakukan nanti. Dia berbicara panjang lebar dan membiarkan Randi mendengarnya dengan semua kesabaran yang dimilikinya. "Oh iya, aku akan mengajak Rena juga. Boleh?" tanya Laras kepada Randi. Randi melirik adik sepupunya itu dengan tenang. Memikirkan bahwa nanti Laras tidak punya teman di sana maka dia mengangguk setuju, "Terserah kamu," katanya lelah. "Randi, kamu yang terbaik!" Laras memeluk leher Randi singkat lalu berlari keluar dari kamar. Randi dapat mendengar suara Laras dari luar yang sedang mengobrol dengan ibunya. Kamarnya kembali tenang dan tentram, Randi bangkit dari bangku dan mengunci pintu. Ia berjalan ke lemari pakaian untuk mengambil kaos dan mengganti seragam sekolahnya yang masih dia kenakan. Setelah beberapa saat, dia seolah memikirkan sesuatu dan menghela napas panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD