Hak Tinggi

1208 Words
Di pagi hari di hari Sabtu, sinar matahari keemasan jatuh melintasi celah kecil di gorden jendela kaca kamar Laras. Masih sangat awal untuk bangun di hari libur seperti ini, namun gadis pemilik kamar telah lama bersiap dan berdandan untuk mempercantik diri. Laras duduk di depan meja riasnya, dengan penuh semangat melihat wajah yang telah selesai dia lukis sedemikian rupa. Di atas meja, ada sebuah ponsel dengan silikon berwarna merah muda yang terang. Di layar ponsel tersebut, panggilan sedang berlangsung dengan nama 'Rena' tertulis jelas. "Iya, iya, ini aku lagi siap-siap." Rena berkata dengan suara kantuk yang jelas, seolah dia masih melayang di antara sadar dan tidur. Mendengar dari nada suaranya saja, Laras sudah menjadi kesal. Dia mendengus keras, memukul meja untuk melampiaskan amarahnya. "Bukankah kamu selalu datang cepat ke sekolah, kenapa sekarang masih mengantuk juga?" tanyanya dengan tidak percaya, meski Rena bukan orang terajin di sekolah tetapi setidaknya jika dibandingkan dengan Laras maka Rena bisa dikatakan sudah cukup rajin. Dari transmisi suara, Laras mendengar suara tawa dingin temannya tampak sedang mengejeknya. "Hari sekolah dan hari libur itu berbeda oke? Sudahlah, jangan khawatir, aku pasti siap-siap sebelum kamu menjemputku." Laras masih ingin mengungkapkan ketidakpuasannya kepada Rena, tetapi berpikir itu membuang-buang waktu dan membuat Rena menjadi lebih masalah sehingga dia dengan enggan bergumam setuju. "Kalau begitu cepatlah!" desaknya sebelum memutuskan panggilan. Setelah itu dia memeriksa tas dan barang bawaan yang akan dia bawa untuk pendakian nanti. Sudah pukul delapan pagi ketika mobil Randi berhenti di kaki bukit tempat janjian perkumpulan mereka. Ketika Laras dan Rena keluar dari mobil, beberapa pasang mata menatap mereka dengan tercengang. Randi yang turun paling akhir bahkan memiliki ekspresi yang tidak baik. "Kalian ..." Wawan membuka mulutnya, menatap kedua gadis yang sangat mode dengan barang bawaan yang kaya di punggung mereka. Laras sering mengikuti kegiatan para kakak kelas itu sehingga dia tidak canggung untuk bertemu dan mengobrol dengan mereka. Dia tersenyum dengan tatapan mengincar mencari sang pangeran hatinya. Ketika dia melihat Kevin di antara teman-temannya, dia segera berjalan maju mendekat ke arahnya. "Pagi, Vin." Dia berkata dengan senyuman manis di bibirnya, suaranya sangat centil dengan sentuhan menggoda yang jelas. Kevin menatap ke arah Laras dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia sedikit terkejut melihat Laras membawa tas besar dan penuh di punggungnya, ketika dia melihat sepatu hak tinggi yang dipakai gadis itu, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. "Kita akan mendaki ke atas, kenapa pakai hak tinggi?" Mata Laras berbinar ketika mendengar perkataan Kevin, dia segera melirik ke arah Rena dengan tatapan bangga seolah ingin agar Rena melihat bahwa Kevin sedang memperhatikan dan peduli padanya. Rena memutar matanya, berpura-pura tidak melihat sikap sombong Laras yang disentil sedikit bisa terbang jauh ke luar angkasa. Laras mengikuti tatapan Kevin ke bawah, melihat sepatu hak tinggi yang digunakannya dan tersenyum gembira. "Tenang saja, sepatuku ini sangat bagus dan tahan dari setiap cuaca dan hambatan. Pasti tidak akan ada kejadian haknya terlepas seperti sepatu orang lain." Bibir Kevin berkedut, bukan itu yang ingin dia katakan. Tatapannya bergeser ke arah Randi, kakak dari gadis tersebut. Namun dia melihat Randi memiliki ekspresi tidak berdaya di wajahnya seolah dia sudah berusaha yang terbaik tetapi tidak memiliki hasil apa pun. Mereka berkumpul sebentar lagi, menunggu yang lain untuk datang berkumpul bersama. Setelah setengah sembilan, sudah ada sekitar lima belas orang yang berkumpul. Sepuluh pemuda dan lima gadis. Setelah semuanya telah lengkap, barulah mereka membayar pendaftaran untuk mendaki bukit dan naik ke atas dengan semangat yang besar. Terutama Laras, yang dengan semangat terus menempel kepada Kevin. Dia dengan sengaja menggunakan tatapannya untuk menyingkirkan orang untuk memberinya tempat di sisi Kevin, lalu berjalan beriringan bersama Kevin di tengah barisan. "Vin, kamu sudah sarapan?" tanya Laras sekadar basa basi. Kevin melirik ke arah gadis itu, tetapi tatapannya tidak bisa untuk tidak tertuju ke arah sepatu hak tinggi di kaki Laras lagi. Di bukit, meski telah dibuat jalur pendakian yang nyaman untuk wisatawan tetapi jalanan masih berbatuan dengan lika liku tantangan di tanah yang harus dilalui. Ada juga beberapa tanah lunak yang harus dilalui dengan menginjak bebatuan, itu pasti akan sangat sulit dilalui dengan sepatu hak tinggi. "Sudah," kata Kevin menjawab pertanyaan Laras. Angin berhembus pelan dengan cahaya yang mengaburkan pandangan, membuat profil pemuda itu menjadi samar-samar. Laras melihat ke arah Kevin, tersenyum entah untuk alasan apa dan mengangguk ketika mendengar jawaban dari Kevin. "Aku membawa banyak makanan di dalam tas, ketika kita istirahat nanti, aku akan memperlihatkannya padamu. Tenang saja semuanya aman dikonsumsi," katanya dengan sengaja atau tidak sengaja ingin menonjolkan diri memperlihatkan seberapa dirinya dapat diandalkan. Namun bukannya kagum, tatapan Kevin menjadi aneh melirik ke tas punggung Laras yang membengkak seolah akan meledak jika diisi dengan beberapa hal lagi. "Kamu membawa banyak makanan?" tanyanya sedikit tak terbayangkan. Laras mengangguk, "Tentu saja! Jika kita naik nanti, apa yang akan kita makan jika kita tidak membawa banyak makanan? Aku membawa cemilan, minuman, makanan kering, dan banyak lagi. Pokoknya untuk kamu, hatiku aja bisa kuberi, apalagi makanan ini." Kevin terdiam tanpa kata-kata mendengar ocehan Laras. Laras tampaknya tidak perlu untuk mendengar tanggapan Kevin, melihat pemuda pujaan hatinya itu mendengarkan ucapannya saja sudah sangat memuaskan baginya. Selama perjalanan, Laras terus mengoceh dan paling banyak bicara. Terkadang dia akan mengatakan hal-hal yang dia lihat di sekitar atau hanya percakapan biasa sekadar mencari topik untuk dibahas dengan Kevin. "Aku mendengar tentang seseorang pernah hilang di bukit ini," saat ini suara Wawan tiba-tiba terdengar dari depan. Wawan selalu dapat mencari topik yang menarik rasa penasaran orang lain. Ketika dia mengatakan itu, tatapan sebagian besar orang sudah tertuju padanya. Bahkan Laras sendiri tidak bisa menahan diri untuk tidak angkat suara. "Benarkah? Kapan?" tanyanya dengan penasaran. Wawan menoleh membalas sebagian besar tatapan orang lain kepadanya, "Tidak lama ini sekitar dua bulan yang lalu." Tio seolah baru saja teringat sesuatu dan mengangguk, "Aku juga pernah mendengar tentang hal itu," katanya mendukung topik yang sedang berlangsung. Yang lain segera meminta mereka berdua untuk menceritakan dengan rinci, sehingga dalam perjalanan itu mereka mulai membahas tentang orang yang hilang dalam berbagai hal mulai dari kondisi, tempat, dan sebab akibat terjadinya hal tersebut. Mereka bertingkah seperti detektif yang sedang menyelidiki suatu kasus, namun hal itu juga membuat perjalanan terasa menarik. Belum lama mereka berjalan, Laras merasa punggungnya mulai tak dapat menahan beban yang ditanggungnya. Dia menoleh ke belakang, melepas tas punggungnya dan menyerahkannya kepada kakaknya dengan senyum manis penuh permohonan. "Berat, kakak yang baik tolong bawakan." Randi dengan tanpa ekspresi menerima tas Laras, merasa sedikit terkejut ketika mengukur berat beban yang sedari tadi Laras bawa. "Berikan tasmu, aku akan membawanya," Laras melihat tas Randi yang lumayan lebih ringan dari miliknya dan berupaya untuk melakukan pertukaran. Randi menggelengkan kepala, mengangkat dagunya sedikit untuk memberi isyarat. "Lihat ke depan," tegurnya mengingatkan. Laras langsung menghadap ke depan. Karena beban di punggungnya telah lenyap, dia merasa sangat ringan seolah dapat terbang dengan mudah. Dia kembali ke sisi Kevin, mendekati pemuda itu dan mengobrol bersama dengannya. "Apakah kamu tidak lelah?" tanya Kevin melirik ke arah sepatu hak tinggi Laras. "Tidak, tidak, ini baru awal. Sama sekali tidak melelahkan," katanya dengan senyuman kecil, dia bahkan mengambil langkah jauh untuk membuktikan bahwa dia masih mampu. Kevin melihatnya dan mengangguk, untuk pertama kalinya dia memperhatikan senyuman gadis itu. Bayangan pepohonan di sekitar jatuh ke tubuh Laras, menggelapkan fitur wajahnya, namun entah kenapa senyumannya bisa begitu menyilaukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD