Hanya saja rasa lelah yang Laras pikir tidak akan muncul itu secara bertahap menghantuinya. Dia merasa kakinya pegal saat ini, terlebih lagi jari kelingking kakinya yang terjepit terasa digiling dengan keji.
Awalnya tanah memang lumayan rata. Namun semakin mendaki, jalur yang penuh rintangan dan tipuan segera muncul satu persatu membuat Laras kewalahan.
Berulang kali dia hampir keseleo, jatuh, dan bahkan salah mengambil pijakan.
"Kamu tidak lelah?" tanya Laras pada Kevin. Dia menyeka keringat di keningnya, berusaha mempertahankan senyumnya ketika menoleh ke arah pemuda pujaan hatinya.
Kevin menggelengkan kepalanya jujur. Baru setengah jam, jalan masih panjang dari tempat tujuan mereka. Tetapi ketika dia melihat ke sepatu hak yang dipakai Laras, entah kenapa dia mengerti apa yang sedang dialami gadis itu.
Benar saja, detik berikutnya Laras berhenti berjalan. Dia melihat batu besar yang bersih dan segera duduk untuk beristirahat.
"Tapi aku lelah!" katanya segera membuang bebannya di batu itu. Untungnya dia menggunakan riasan anti air yang tahan lama. Jika tidak, maka dengan kelelahan yang dia alami serta kakinya yang sangat menderita, wajahnya pasti pucat pasi yang sangat tidak sedap dipandang.
Karena seseorang telah berhenti dan duduk di tempat, yang lainnya juga menghentikan langkah mereka. Terutama para gadis yang mencari tempat berteduh dan duduk dengan nyaman, mengambil keuntungan dari keegoisan Laras untuk beristirahat juga.
"Kamu tidak apa-apa?" Dion bertanya dengan ngeri melihat sepatu dengan hak tinggi lebih dari lima sentimeter yang digunakan Laras.
Laras menjawab dengan napas yang tak beraturan. "Apakah kamu tidak melihat sekarang aku sekarat dan bisa mati kapan saja? Aku bahkan memiliki keinginan untuk memotong kakiku saat ini."
Apa yang dikatakannya tidak berlebihan. Bagaimanapun Laras biasanya sangat membenci olahraga yang membuatnya berkeringat. Tetapi sekarang keringat sudah membasahi tubuhnya, kakinya sangat ngilu dan kesemutan, terlebih lagi bagian jari kelingking yang akan terasa nyeri di setiap langkahnya.
"Bukankah aku melarangmu memakai sepatu ini sebelumnya?" Randi melirik Laras dengan singkat, membuka tas dan menyerahkan botol air mineral kepada adik sepupunya itu.
Laras segera mengambil dan minum dengan lahap, dia hampir meneguk setengah botol sekaligus namun langsung direbut oleh Randi.
"Aku masih haus!" Tangannya terulur ke udara, mengejar botol air tersebut yang dijauhkan dengan keji darinya.
"Jangan minum, masih jauh dan nanti kamu akan minum lagi. Jika kamu menghabiskannya semua, apa yang akan kamu minum setelahnya?" tanya Randi dengan pandangan serius. "Dan juga meminum air berlebihan akan membuatmu mudah buang air kecil, apakah kamu tipe orang yang akan patuh buang air kecil di semak-semak?"
Ancaman Randi membuat Laras merinding. Dia dengan patuh, mengambil kembali tangannya tetapi tidak juga bergerak untuk melanjutkan jalannya.
"Bukankah dari awal sudah dibilang, pakai sepatu hak tinggi tidak cocok untuk mendaki. Tampil cantik di bukit, apa yang diharapkan?" Suara Liana yang dengan sengaja dikeraskan namun tanpa penyebutan nama yang membuatnya ambigu. Tetapi tetap saja, hal itu tidak membuat orang lain bingung kepada siapa dia bertanya.
Meski tubuhnya tertutupi bayangan cabang-cabang pohon, namun panas masih menghantuinya dengan keringat yang muncul tanpa henti. Mendengar sindiran dari orang lain tertuju lurus ke arahnya membuat hatinya menjadi ikut panas dan siap meledak kapan saja.
"Apa urusannya denganmu? Aku mau pakai hak tinggi atau tidak pakai apa-apa, itu urusanku. Aku tidak memintamu untuk melepas sepatumu untukku atau menggendongku ke atas." Laras berkata dengan mata melotot marah, mendengus keras dengan sikap tak menunjukkan kebaikan.
Laras adalah satu-satunya adik kelas yang begitu blak-blakan dan tidak segan sama sekali dengan kakak kelas, hal itu membuat Liana menjadi kesal setiap melihat gadis ini muncul di antara mereka dan bergabung seolah setara tanpa memberi kehormatan sedikit pun pada yang lain.
Melihat orang-orang di sekitarnya sebagian berasal dari kelasnya, Liana mendapatkan keberanian untuk melawan gadis sombong itu. "Tentu saja itu urusanku, itu juga urusan semua orang yang ada di sini. Karena kamu, kami menjadi terhambat dan harus menunggumu beristirahat. Apakah kamu tidak tahu bahwa kami sebenarnya sudah memiliki titik istirahat yang direncanakan, tetapi karenamu semua menjadi berantakan."
Dengan cerdik, dia menyeret semua orang berada di sisinya, merasa percaya diri mengungkapkan keluhannya pada Laras.
"Apakah kamu pikir aku buta? Ketika aku istirahat di sini, kamu orang pertama yang mengikuti duduk. Aku bahkan melihatmu menghela napas lega, minum dengan banyak, dan menyeka keringat. Dan kamu mengatakan aku menghambatmu?" Laras tertawa kering, "Sangat menggemaskan."
Jika berbicara tentang berdebat, itu seperti makanan sehari-hari Laras. Kemana pun dia berada, dia seolah dapat menemukan teman untuk adu mulut dan menang beberapa kali.
Lalu tatapan Laras menelusuri setiap orang, dengan pandangan penuh waspada seperti sedang mengawasi setiap orang, dia bertanya, "Apakah aku menghambat kalian?"
Tatapan Laras yang tajam di tengah kelelahan menjadi sedikit lebih lembut tanpa dia sadari. Hal itu membuat para pemuda menjadi lunak di bawah pandangan yang diberikannya. Mereka tidak akan tegas terus memaksa gadis kecil yang sedang menderita itu untuk terus melanjutkan perjalanan dengan kaki yang kesakitan.
"Tidak apa-apa untuk istirahat di sini, tidak jauh dari tempat yang kita bicarakan sebelumnya. Lagi pula di sini juga pas untuk istirahat, bayangan pohon lebat menghalangi sinar matahari langsung ke tubuh." Wawan segera menjawab, mengambil kesempatan untuk membuktikan kejantanannya kepada gadis cantik yang lemah.
Dion selalu mengagumi keindahan, dia segera mengangguk. "Ya, ya, istirahat saja beberapa saat. Tidak masalah, tidak masalah.
"Sudahlah, jangan berdebat." Kevin menghela napas dan menggelengkan kepala sembari bersandar di sebuah batang pohon. "Lebih baik gunakan waktu untuk istirahat, simpan energi kalian."
Laras tersenyum angkuh dan melirik Liana penuh kemenangan.
"Ambil tatapanmu itu dan lepas sepatumu. Aku akan lihat bagaimana kondisinya," Randi mengangkat dagunya untuk memberi instruksi.
Laras dengan patuh membuka sepatunya. Dia memiliki keinginan untuk membuang sepatunya jauh-jauh ke dalam hutan. Sekarang dia memiliki kebencian terhadap sepatu hak tinggi, kakinya menjadi sakit bahkan untuk melihatnya saja.
"Aku tidak akan pakai sepatu ini lagi. Aku tidak mau memakainya bahkan jika kamu membunuhku saat ini juga," Laras membuang sepatu itu ke tanah, enggan untuk menyentuhnya lagi.
Liana sudah sangat kesal dengan sikap Laras, terlebih lagi beberapa orang yang mendukungnya. Dia menyenggol temannya Fafa, dan menunjuk ke arah Laras yang memiliki sikap manja. "Untuk siapa dia bersikap sangat manja?" katanya dengan penuh kebencian.
Untuk merasa lelah, haus, dan kaki pegal bukan cuman Laras. Bahkan Liana pun merasakannya. Namun dia tidak mengeluh sama sekali.
"Biarkan saja dia jalan tanpa alas kaki," jawab Fafa, namun suaranya sengaja tidak dikecilkan untuk didengar.
Namun dia tidak mendapatkan balasan yang bersemangat dari Laras, melainkan tatapan sepintas Randi membungkamnya.
Randi melihat ke gadis yang duduk di atas batu dengan cemberut. Gadis itu mengerutkan kening, matanya menatap ke kakinya seolah berpikir panjang, jika saja dia tidak sedang berpikir, dia mungkin akan segera mengeluarkan tembakan kata-kata membalas sindiran yang dilemparkan padanya lagi.
"Apakah tidak apa-apa pakai sandal?" Randi mengeluarkan kantong plastik dari dalam tas dan mengeluarkan sepasang sandal di hadapan Laras.
Mata Laras langsung berbinar. Dia mengangguk cepat, merasa sangat terharu hingga hampir menangis. "Sandalku? Kamu membawa sandalku?" Laras bertanya dengan pandangan tidak percaya, seolah merasa bingung bagaimana ada seorang penyelamat sesempurna kakaknya itu.
"Ya, pakai." Randi meletakkan sandal di tanah depan kaki Laras, lalu mengambil sepatu yang dibuang adik sepupunya itu untuk disimpan ke dalam tas.
Ketika dia melihat Laras memakai sepatu hak tinggi, dia tahu bahwa gadis itu akan menciptakan masalah lagi. Dia ingin mengingatkan untuk membawa sandal, tetapi dengan tas mengembung seolah akan meledak, bagaimana cukup diisi dengan beberapa barang lagi. Jadi dia akhirnya yang mengalah dan membawa sandal adiknya itu ke dalam tasnya. Sifat dan sikap keras kepala Laras sudah dipahami olehnya dengan baik, bagaimana pun Laras telah mengulanginya berulang kali hingga membuatnya sendiri bosan.
Memakai sandal yang nyaman, yang tidak menjepit jari-jari kakinya, Laras merasa dia kembali hidup lagi. Segera dia bangkit, tersenyum lebar kepada kakaknya dan bergegas ke sisi Kevin seolah energinya yang telah habis tadi telah terisi penuh.
"Nah, ayo kembali jalan. Sekarang aku bisa maju tanpa henti hingga ke tujuan!" katanya dengan senyum lebar, terkikik senang di sekitar Kevin.