Tenda

1104 Words
Laras berpikir perjalanan akan lebih mudah dan cepat dengan dia melepas sepatu hak tingginya, jadi dia awalnya terus berkeliling di sekitar Kevin namun akhirnya semangatnya sedikit demi sedikit memudar juga. "Masih lama kah?" tanyanya untuk kesekian kali, bibirnya mengerucut tidak bisa membentuk senyuman lagi. Dion yang berjalan di depannya adalah orang yang menanggapinya pertama kali, "Kira-kira lagi setengah jam, tidak lama." "Setengah jam?" Mata Laras terbuka lebar, dia menoleh ke arah Kevin dengan wajah memelas. "Vin, kamu masih mampu berjalan lagi?" tanyanya berharap memiliki sekutu. Namun sayangnya, dia melihat pemuda di sebelahnya itu memiliki tubuh yang kuat dengan postur tanpa lelah meski ada beberapa butir keringat yang berjatuhan dari keningnya. "Masih," jawab Kevin. Laras menghela napas panjang, tapi tak lupa untuk memuji pujaan hatinya. "Tidak heran, kamu kan kuat, berenergi, dan pasti hebat!" Setelah mengatakan itu, langkah kakinya semakin melambat. Dia sangat lelah, terlebih lagi kakinya yang terasa berat. Dia melihat ke sekeliling, menemukan bahwa memang ada juga beberapa gadis sepertinya yang kelelahan dan bertanya-tanya kapan perjalanan tanpa akhir ini mencapai tujuan, sayangnya jawaban yang sama kembali terulang. "Jalan yang benar," tegur seseorang yang berjalan di belakangnya. Laras tidak mengindahkan teguran itu. Dia sudah sangat lelah, sehingga dia ingin mencari barang tumpuan untuk meletakkan semua beban tubuhnya. Dengan begitu, dia menunggu kakak sepupunya— Randi untuk berjalan sejajar dengannya, kemudian dia menjadikan lengan kakak sepupunya itu sebagai penopang tubuh. "Aku akan mati," gumamnya dengan lelah. "Kakiku tak mampu lagi, bantu aku memotongnya, aku tak butuh kaki yang sakit itu." Randi mengabaikan omong kosong Laras, dia berjalan dengan hati-hati, membawa dua buah tas dan seorang gadis yang bergantung pada lengannya. Setiap kali melewati jalan yang buruk, dia segera mengarahkan gadis koala itu dengan benar. Sangat merepotkan hingga membuatnya sedikit kewalahan. Namun apa peduli Laras? Dia sudah merasa bisa pingsan kapan pun dimana pun dengan sekali senggolan jari seseorang. Bahkan dia tidak lagi repot-repot berjalan sejajar dengan Kevin. Tidak mungkin dia bisa menggoda pemuda itu dengan kondisinya saat ini. Yang dibutuhkan saat ini ialah penopang tubuh dan penunjuk arah seperti kakaknya ini. "Bertahanlah sebentar lagi, kita akan sampai." Randi akhirnya berbicara, melihat Laras sudah hampir mati kelelahan membuatnya sedikit tidak tahan. Tentu saja dia tidak begitu percaya gadis itu benar-benar akan mati kelelahan, paling banyak itu hanyalah drama berlebihan yang diciptakan gadis itu. Laras bertanya tanpa harapan, "Benarkah?" "Ya, bertahanlah." Karena itu, Laras memulihkan sedikit energinya dan mendaki terus ke atas dengan perjuangan penuh. "Sudah dekat?" tanyanya lagi setelah beberapa saat. Randi menjawab dengan tenang, "Sudah dekat." "Sekarang bagaimana? Apakah kita sudah mau sampai?" tanya Laras lagi. "Ya," jawab Randi. "Jadi kapan kita sampai?" tanya Laras kembali setelah beberapa menit. "Sebentar lagi," jawab Randi masih dengan sabar mengarahkan jalan kepada Laras yang sengaja tidak memperhatikan langkah kakinya. Setelah lama tak kunjung sampai juga, Laras akhirnya menjadi kesal dengan kakaknya yang pembohong itu. "Kapan sampainya?!" Randi bahkan tidak mengubah raut wajahnya ketika menjawab, "Sebentar lagi." "Sebentar, sebentar, sebentar, sebentar itu seberapa lama?! Kamu pembohong!" serunya kesal, namun menolak untuk berhenti memanfaatkan lengan kakaknya. Randi melirik ke adik sepupunya, melihat tampang akan mati kelelahan namun masih mampu berteriak seperti itu membuatnya tertawa rendah. "Benar-benar sebentar lagi." "Humph, jika aku percaya padamu, maka aku adalah kodok!" Dia mendengus kesal, diam sebagai tanda kekesalannya. Randi tersenyum kecil, mereka berjalan beberapa saat sebelum dia menggerakkan tangan kirinya yang disabotase untuk memberi isyarat kepada gadis itu. "Lihat sana," katanya sembari menunjuk ke atas dengan dagunya. "Apa?" tanya Laras namun enggan mengikuti arah yang ditunjuk Randi. Dia sangat lemah, matanya setengah tertutup dan enggan untuk mengangkat kelopak matanya sedikit lagi. Tidak, dia tidak mampu lagi. "Kita sudah mau sampai," kata Randi. "Omong kosong," balas Laras cepat, jika saja dia tidak kelelahan saat ini, maka dia pasti akan memutar matanya dan melotot marah kepada Randi— pembohong ulung. Namun detik berikutnya, dia mendengar suara pujaan hatinya terdengar. "Kita benar-benar akan sampai," kata Kevin yang telah berjalan di depan Laras. Laras segera membuka matanya, melihat daerah luas yang memiliki beberapa tenda yang terbuka menyebar, kedua matanya langsung bersinar dan berkilauan. "Benar! Akhirnya!" Gadis itu segera melepaskan tongkat manusianya dan berlari untuk berdiri di sisi Kevin dengan antusias. "Ternyata aku masih bisa bertahan hingga tujuan, aku kira aku akan kehilangan napas di tengah jalan." Dia berkata sembari terkikik geli. "Bagus," jawab Kevin seadanya. Senyum Randi secara perlahan memudar, tatapannya memperhatikan gadis lincah di depannya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kelelahan pada Laras seolah yang bergantungan lemah di tangannya tadi bukanlah dia. Sebelumnya, sudah dibahas bahwa mereka akan menginap satu malam di puncak bukit beralaskan tenda. Jadi setelah mereka tiba, hal yang pertama kali mereka bahas ialah pembagian tenda. "Hanya ada tiga tenda, kalian para gadis menggunakan satu tenda bersama. Lalu untuk kita para pemuda ganteng akan bagi dua dan mengatur tenda masing-masing." Wawan berkata membuat pengaturan tenda. Liana mendelik, "Lima orang dalam tenda?" tanyanya dengan tatapan tidak percaya. "Ya, lima orang." Wawan dengan keji menjawab tanpa perasaan. Kali ini Laras tidak menentang Liana, dia juga menunjukkan keterkejutannya. "Kami akan tidur lima orang di tenda yang sama? Apakah kita kekurangan tenda seburuk itu? Jika kalian mengatakan dari awal, maka aku akan membeli tenda lagi." "Itu sangat sempit, bagaimana bisa kami bernapas jika tidur berlima." Fafa juga segera angkat suara. Agar lebih adil, Fadila langsung bergabung sebagai tim protes. "Tidak, aku tidak bisa hidup di dalam tenda kecil berisi lima orang." Para pemuda saling memandang mendengar protes dari para gadis yang tiada akhirnya, seolah kiamat akan muncul jika mereka tidur berlima. Lalu Wawan menoleh ke arah Rena yang kini sudah memiliki kemasan keripik di tangannya, memakan kripik kentang sembari menatap dengan penuh minat seolah sedang menonton pertunjukan. "Kamu tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan?" tanya Wawan. Rena menggelengkan kepala sembari tersenyum ramah, "Tidak, anggap saja aku udara, jangan pedulikan aku." Dia hanya ingin datang dan menyaksikan pertunjukan, tidak berniat untuk gabung ke dalam pertunjukan itu sama sekali. Wawan mengangguk, lalu berkata dengan ekspresi tertekan di wajahnya. "Kalian para gadis memiliki tubuh ramping, kurus, dan kecil. Lihat tubuh kami, apakah kami protes?" Para gadis itu langsung membandingkan tubuh mereka dan sepuluh tubuh para lelaki. Memang benar, dibandingkan mereka, yang seharusnya protes adalah para lelaki karena mereka memiliki tubuh yang tinggi, besar dan berotot, terlebih lagi ada juga beberapa yang kelebihan berat badan. Tidak terbayangkan bagaimana mereka akan berdesakan tidur sebentar malam. "Baiklah, bertahanlah semalaman dengan itu. Ayo cepat bergerak, kita harus mengatur tenda lalu makan." Wawan bertepuk tangan untuk menyadarkan semuanya untuk bergerak. Dengan enggan semuanya kembali bangkit berdiri dan memasang tenda. Tentu saja sebagian besar tenaga berasal dari para lelaki, para gadis hanya duduk tenang atau berdiri di sekitar memberi arahan acak padahal tidak pernah mendirikan tenda sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD