Mencari Kevin

1937 Words
Laras tidak lama berada di rumah ayahnya. Alasannya cukup sederhana dan dia memang sudah menebak hal ini akan terjadi dari awal. Itu karena Gunawan selalu saja mengkritik dan memberinya sindiran halus sehingga dia terus bertengkar dengan ayahnya itu. Akhirnya Gunawan mengatakan kata-kata pengusiran dan Laras langsung pergi saat itu juga dari rumah besar nan megah tersebut. Ketika melihat Laras benar-benae pergi, Gunawan sedikit tertegun namun tidka menghentikan langkah kaki putrinya itu. Hal tersebut membuat mata Laras menjadi merah dan akhirnya mengeluarkan setetes air mata. Benar saja ayahnya itu sangat membencinya. Rifaldi yang baru saja pulang dari perusahaan melihat adiknya membawa koper untuk pulang dan merasa terkejut. "Kamu mau kemana?" Tanyanya dengan heran. Laras menyeka air mata di pipinya dan menjawab dengan ketus, "Pulang! Aku mau pulang! Aku tidak ingin tinggal lama di rumah ini! Menyebalkan!" Rifaldi langsung melirik ke arah ayahnya yang duduk dengan angkuh di sofa. Dia merasa kepalanya kembali sakit. Melihat tatapan isyarat permohonan dari ayahnya, Rifaldi menggertakkan giginya dan berusaha membujuk adiknya itu. "Ayah tidak bersungguh-sungguh mengatakan hal buruk tentangmu. Dia sangat senang kamu berada di rumah. Jadi pulanglah beberapa hari lagi, oke?" Mendengar itu, Laras langsung berbalik ke belakang melihat ayahnya untuk mengkonfirmasi ucapan kakaknya. Namun yang dia temukan hanyalah dengusan dingin dari ayahnya, tampak tidak setuju sama sekali dengan apa yang dikatakan Rifaldi. Air mata Laras terus jatuh ketika dia menunjuk ke arah ayahnya untuk diperlihatkan kepada kakaknya. "Apanya yang senang? Dia jelas sangat ingin aku pergi dan dia telah mengusirku! Aku akan pergi sekarang juga, aku sudah memesan tiket, jangan menghalangiku!" "Mengusir?" Tanya Rifaldi dengan tercengang. Laras mengangguk keras, "Ya, mengusirku!" Melihat adiknya itu tidak akan menuruti ucapannya dan tetap bersikeras kembali ke rumah lama. Rifaldi hanya bisa menghela napas dan mengusap kepala Laras dengan lembut. "Kakak akan mengantarmu ke bandara, oke?" Laras mengangguk, dia hanya membenci ayahnya, dia tidak membenci Rifaldi sama sekali, jadi dia tidak menolak permintaan kecil kakaknya itu. Lagi pula dia sudah lama tidak bersama kakaknya, jadi dia sedikit ingin terus bersamanya selagi ada waktu. Untuk ayahnya yang keji, humph, dia bahkan tidak ingin meliriknya lagi. Melihat kedua anaknya itu benar-benar keluar dari rumah, hati Gunawan langsung menjadi panik. Bagaimana mungkin dia mengusir Laras! Dia hanya mengatakan beberapa kata secara acak seperti biasanya, tetapi bukan berarti dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya itu. Dia tiba-tiba menjadi menyesal dan merasa frustasi. Laras hanya tinggal dua hari disini dan langsung pergi begitu saja. Itu pun juga karena perkataannya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Lama dia menunggu, akhirnya Rifaldi kembali pulang ke rumah. Dia menatap tak berdaya kepada ayahnya yang duduk di sofa tenggelam dalam pikirannya. "Kenapa mengusir Laras?" Tanyanya dengan sangat lelag, meski dia tahu jawabannya. "Aku tidak mengusirnya! Aku hanya mengatakan beberapa kata seperti bisa, siapa yang tahu bahwa dia menganggap kata-kataku terlalu serius?" Kata Gunawan mencoba berdalih. Rifaldi menyadari hal tersebut, namun dia tetap saja merasa heran dan tidak bisa membenarkan perilaku ayahnya ini. "Lain kali Laras datang, maka lembutlah dengannya. Dia selalu sendiri, jadi jangan terlalu keras ketika berbicara padanya." Rifaldi sekali lagi mengingatkan ayahnya. Gunawan hanya bergumam pelan, tidak diketahui apa maksudnya. Kemudian dia mulai menatap ke arah Rifaldi dengan cemas. "Apakah dia terlihat sangat sedih?" Ketika melihat anak pertamanya itu mengangguk, Gunawan menjadi lebih cemas lagi. "Kamu memberikan kartu itu kepadanya, kan? Jangan sampai dia kehabisan uang jajan di sana." "Tenang saja, aku sudah memberikannya." Rifaldi mencoba menenangkannya. "Katakan juga padanya untuk berhati-hati di jalan, dia sangat ceroboh. Aku bahkan selalu khawatir dia akan menerima permen dari paman aneh ketika kecil." Gunawan mengingat masa kecil Laras dan menghela napas panjang. Putrinya itu sangat imut dari kecil. Sesampainya di bandara, Laras berjalan dengan hentakan kaki yang keras. Emosinya belum mereda dari sebelumnya. Sepertinya dia balik ke rumah ayahnya hanya untuk memeriksa pertahanan emosinya sudah sampai dimana. Randi yang menjemput Laras langsung menarik gadis itu ketika hampir menabrak orang lain. "Ada apa? Kamu bertengkar lagi dengan ayahmu?" Tanya Randi dengan tenang. Laras mendengus kesal, "Dia bukan ayahku! Aku tidak punya ayah seperti itu!" Serunya keras. "Baiklah, ayo masuk ke dalam mobil." Randi mengambil koper dari tangan Laras dan menuntun adik sepupunya itu ke dalam mobil. Dia melihat ekspresi kekesalan Laras dengan mata merah dan agak bengkak yang menandakan gadis itu baru saja menangis. "Kenapa pulang cepat?" tanyanya dengan ringan. Diingatkan kembali, air mata Laras kembali jatuh. Dia menjelaskan langsung kepada Randi. "Orang tua itu mengusirku! Dia bsnar-benar berani mengusirku dari rumah!" Mendengarnya membuat Randi terpana, namun dia sedikit kurang mengerti sikap Gunawan. Dia pernah melihatnya sewaktu Laras masih kecil. Setiap hari ayah dan anak itu selalu bertengkar. "Kamu harus sedikit sabar dengan ayahmu," kata Randi mencoba mengingatkan. "Kenapa aku harus sabar dengannya? Kamu tidak tahu betapa kejinya kata-katanya. Setiap waktu, setiap kali dia melihatku dia pasti akan mengkritik semua kesalahanku. Jika aku tidak punya kesalahan, dia akan emngkrtik setiap tindakanku. Apakah kamu ingin aku bersabar? Apa itu sabar? Aku sama sekali tidak mengenal kata sabar jika melihat orang tua itu!" Laras berkata dengan menggebu-gebu, melampiaskan semua emosinya. "Apa salahnya? Aku hanya ingin berinteraksi dengan putriku?" Gunawan bertanya dengan santai kepada Rifaldi, sama sama sekali tidak berniat mengakui kesalahannya. Rifaldi juga telah lelah menghadapinya. Jadi dia memeriksa bahwa Laras sudah mendarat dengan aman dan dijemput oleh Randi, barulah dia merasa lega. "Laras sudah bersama Randi," katanya. Dia melihat ayahnya langsung bersandar ke sofa, tampaknya dia juga sangat khawatir sejak tadi. Jadi liburan semester Laras kali ini, dia habiskan di dalam rumah besarnya yang besar, luas, dan sepi. Setidaknya di rjmahnya ini, dia tidak akan mendengar ocehan b***k Gunawan dan bisa hidup dengan nyaman dan bebas. Memikirkannya, Laras langsung mengangguk, merasa puas dengan hidupnya di kota ini. Dia bahkan setiap hari menelepon Rena untuk mengajaknya berbelanja ke mal ska menonton bioskop memakai kartu pemberian dari kakaknya— Rifaldi. Meskipun Rifaldi mengatakan bahwa kartu ini dari ayahnya, Lara sama sekali tidak mempercayainya. Meski pun dia ingin memercayainya sekali pun, tetapi pikirannya tidak bisa memercayainya sedikit pun. Laras melihat kartu hitam Laras, dan berseru kagum. "Ayahmu sangat baik padamu!" Laras mendengus, "Bukan ayahku, tetapi kakakku— Rifaldi! Ayahku sangat buruk, tidak ada hal baik darinya." Rena mengangguk, segera mengubah kata-katanya. "Kakakmu sangat baik padamu!" Laras langsung tersenyum bangga, melambaikan kartu warna hitam legam di tangannya. "Aku memiliki banyak sumber keuangan. Dari kakakku dan dari ibuku, jadi aku sangat repot memikirkan bagaimana menghabiskan semua ini." Rena dapat melihat kesombongan dan mencoba untuk pamer yang Laras tunjukan padanya. Namun dia sama sekali tidak peduli, lagi pula dia sudah biasa dengan sikap ceroboh gadis itu. "Aku bisa membantumu menghabiskannya," kata Rena, tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan baik ini. "Ayo, mari kita lihat kemampuanmu menghabiskan uang." Laras berkata dengan angkuh. Lalu mereka berdua segera mengunjungi setiap toko dalam mal, membeli banyak barang hingga tangan mereka penuh dengan tas belanjaan. Rencana Laras untuk pergi ke bioskop pun juga terhalang dengan banyaknya barang yang dibawanya. "Tenang saja, hari libur masih panjang. Besok kita bisa pergi ke bioskop. Lalu besoknya lagi kita spa. Kemudian besok besoknya lagi kita bisa membeli belajar bulanan kita." Rena berkata sangat girang membawa banyak tas belanjaan di tangannya. Laras mengangguk setuju dengan mudah, tetapi dia merasa terkejut mendengar kalimat terakhir Rena. "Kamu belanja bulanan?" tanyanya heran. "Belanja bulanan maksudku itu simpanan skincare dan alat riasku yang sudah habis." Rena dengan senang hati menjelaskannya kepada Laras. "Oh iya, aku juga harus beli beberapa persediaan baru. Baik, ini harus masuk ke dalam agenda." Laras dengan antusias setuju dengan saran Rena. Rena mengangguk cepat. Inilah alasan dia betah berteman dengan Laras meski selalu dimanfaatkan. Itu karena dia juga selalu memanfaatkan Laras! Inilah hubungan teman yang seimbang, saling memanfaatkan dan tidak menyimpan pikiran jahat di dalam hati. Ya karena pikiran jahat mereka berdua selalu diutarakan secara langsung tanpa malu-malu. Jadi selama hari libur itu, Laras sangat bahagia. Dia bahkan mulai melupakan kejadian menjengkelkan di rumah ayahnya. Yang dia lakukan saat ini adalah habiskan uang dan bersenang-senang. Bagaimana jika dia kehabisan uang? Minta uang lebih banyak lagi! Ketika waktunya masuk sekolah semester baru, yang berarti masa liburan yang menyenangkan dan membahagiakan juga berakhir. Rena dan Laras sangat kecewa dengan waktu yang sangat cepat berlalu. Namun Laras tidak begitu kecewa lagi ketika mendengar berita yang sangat, sangat, dan sangat membahagiakan. Dia menemukan bahwa Kevin dan Tania sepertinya sedang dalam konflik. Laras tidak tahu konflik apa yang terjadi, sehingga dia segera embaya seseorang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dan alangkah terkejutnya dia ketika mengatahui bahwa ternyata Tania telah melakukan hal yang sangat tidak bisa dimaafkan kepada Kevin. Laras menjadi sangat kesal, kemarahan langsung berkibar di dadanya. "Kenapa gadis itu sangat berani membuat masalah untuk Kevin? Aku harus memberinya peringatan." Kata Laras dengan menggebu-gebu, siap untuk pergi mencari Tania. Namun sebelum dia sempat melangkah, Rena sudah menarik Laras untuk kembali duduk. "Apakah kamu bodoh?" Tanya Rena dengan kesal. "Kamu yang bodoh!" Seru Laras tidak puas. "Terserah apa katamu, tapi tidakkah kamu berpikir apa yang terjadi saat ini?" Rena dengan baik hati mencoba mengingatkan Laras. Laras memasang ekspresi bingung, "Apa? Jangan menggunakan tska teki seperti ini, katakan saja." Rena menghela napas, sangat kesal dengan kebodohan Laras yang tiada akhir. "Sebelumnya kamu telah memperingatkan Kevin untuk menjauhi Tania karena Tania ingin melakukan hal buruk kepadanya. Tetapi apa jawaban Kevin saat itu? Dia menolak percaya padamu dan malah menjatuhkan kotak makanan cinta yang telah kamu buat dengan susah payah." "Lalu? Bukankah itu bagus sekarang? Kevin sudah tahu bahwa Tania bikan orang baik dan sekarang aku bisa membuktikan bahwa aku benar dan tidka berslaha." Laras berkata dengan sangat polosnya. "Tetapi dia tidak percaya padamu! Apakah kamu punya harga diri atau tidak! Jika dia sudah menolakmy, bahkan kasar padamu ketika kamu berusaha membantunya, maka itu berarti dia bukan orang baik." Rena terus mencoba memberi Laras lencerahan. Laras sama skslai tidak mengerti, dia bahkan memandang Rena seolah melihat orang bodoh. "Kamu yang tidak lernah jatuh cinta mengerti apa tentang hal ini?" Rena hampir saja mencekik leher Laras. "Jangan mengganggu dia lagi, biarkan Kevin datang dan minta maaf sendiri kepadamu." "Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa menunggu selama itu oke?" Ucap Laras sembari menggelengkan kepalanya dengan keras. Sebelum Rena sempat mengatakan apa-apa lagi, Laras langsung pergi berlari keluar kelas dan mencari Kevin. Karena ucapan Rena, dia langsung lupa bahwa sebelumnya dia ingin menemui Tania dan membuat masalah untuk gadis itu. Dalam perjalanannya dia tidak henti-hentu menggerutu tentang Rena. Rena tahu apa tentang hal ini, dia tidak pernah jatuh cinta dan mebgejar seseorang? Untuk Laras, selama ada kesempatan maka dia harus mengejar kesempatan itu sevaik mjngkin. Namun dia mencari kemana-mana dan tidka juga menemukan Kevin. Laras lertama kalj lergi ke kantin. Bagaimana pun ektika istirahat, kantin adalah temoat paling utama dikunjungi para murid. Bamhn dia tidak melihat sosok Kevin di sana. Lalu Laras mencoba mencari di kelas Kevin. Dia berlari dan melihag melalui pintu kelas. Yang dia temui hanya Randi, menatapnya dengan pandangan bertanya. "Kevin dimana?" Tanya Laras cslat, mendesak Randi jntuk menjawabnya. Rand menatap lama adik sepipunya yang tidak sabaran itu dan mengernyit. "Kenapa? Jangan mencarinya," katanya. "Kenapa? Katakan saja padaku! Ayo Randi, bukankah kamu kakakku yang paling baik dan lengertian?" Laras me coba memelas kepada Randi. Mencoba mencari informasi dari kakaknya itu. Lama dia terus memuja puji Randi, akhirnya Rand memberitahunya bahwa Kevin ada di kantor dipanggil guru. Setelah mebdnegar itu, dua tidka lagi memandang Randi, dia langsung berbalik dan lari menuju ke kantor guru. Laras hanya ingin bertemu Kevin, menunjukkan senyum ceria kepada pemuda itu dan mengatakan bahwa dia tidak bersalah. Kevin lastj akan merasa sangat bersalah kepadanya dan menjadi menyukainya.unsetwlah itu mereka bisa menjadi pasangan yang lamjng sempurna di kelas ini. Memikirkannya saja membuat Laras tersenyum bahagia. Lalu langkah kakinya langsung berhenti, tepat di depan matany, pemuda yang dari tadi dicarinya kini berdiri di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD