Laras Benci Ayahnya!

2092 Words
Pada hari Sabtu, penerimaan rapor yang menunjukkan nilai murid satu semester telah tiba. Hati Laras segera gelisah, dia bahkan menjadi cemas dan terus menerus mengganggu Rena. Bukannya gelisah karena takut mendapatkan nilai yang buruk. Tetapi dia gelisah karena jika dia telah mendapatkan rapornya maka liburan semester akan tiba. Yang artinya dia harus segera pulang ke rumahnya. Laras memperhatikan guru di depan kelas dengan panik dan benar-benar tak nyaman ketika melihat buku rapor yang ada di tangan guru. Kemudian dia mendengarkan guru membagikan rapor satu-persatu kepada murid dimulai dari murid yang mendapatkan peringkat tinggi, Laras mengabaikannya karena dia yakin bahwa dia tidak mungkin mendapatkan peringkat tinggi. "Apakah kamu khawatir tentang nilai kamu?" tanya Rena. "Apa yang harus aku khawatir kan? Aku sudah yakin nilai Aku tidak akan baik sehingga aku tidak ingin memikirkan apapun yang hanya akan membebani pikiranku." Laras berkata sembari terus memegang jari-jarinya dengan gugup dan tentu saja dia sangat cemas. Rena yang jelas mengetahui bahwa Laras sangat panik merasa heran, Dia menyenggol temannya itu dan bertanya, "Kamu mengatakan kamu tidak khawatir dengan nilaimu, jadi kenapa kamu merasa cemas seperti itu?" "Aku sama sekali tidak khawatir dengan nilaiku, ini karena aku harus balik ke rumah," kata Laras sembari mengacak rambutnya. Rena tidak mengerti apa yang begitu mengerikan dengan kembali ke rumah orang tua sendiri. Dia hanya dengan senang hati memperhatikan ekspresi panik Laras dan terus menerus menunggu rapornya dibagikan. Meski Rena yakin dia tidak akan mendapatkan juara kelas. Tetapi nilainya pasti tidak separah Laras, jadi dia memiliki kegugupan yang Laras tidak miliki. Setelah rapornya diterima. Rena langsung berdiri mengambil rapornya dari guru dan kembali duduk di tempatnya sendiri. Laras yang tadinya masih jatuh ke pikirannya sendiri langsung merasa penasaran dengan nilai Rena. "Coba buka dan perlihatkan," katanya sembari mengulurkan kepala melihat ke rapor Rena. Rena tentu saja menolaknya. Dia menutup rapornya rapat-rapat. Lalu berbalik badan dan mengintip isi di dalam rapornya dengan hati-hati. Ketika dia telah melihat peringkatnya. Dia sedikit menghela napas dan menyerahkan rapornya kepada Laras. "Ambil dan lihatlah," katanya dengan tenang. Laras membukanya, melihat Rena mendapatkan peringkat 10 dan merasa kagum. "Kamu meningkat, apakah kamu diam-diam belajar d belakangku?" tanyanya dengan curiga. Matanya menyipit menatap Rena penuh penyelidikan seolah menemukan kasus yang sangat parah dan tak termaafkan. Rena memutar matanya, merebut kembali rapornya dari Laras dan dengan tenang memperlihatkannya kepada gadis itu nilai-nilainya. "Aku sama sekali tidak pernah belajar di belakangmu. Bukankah setiap hari aku selalu belajar di depanmu? Di saat kamu sibuk memikirkan Kevin, aku sedang sibuk mencari contekan tugas rumah. Di saat kamu sibuk untuk menemukan metode rayuan baru untuk Kevin, aku sedang sibuk untuk mempersiapkan ujian semester. Di saat kamu sedang sibuk menggalau karena patah hati, aku sedang sibuk menjawab bank soal dari tahun-tahun sebelumnya. Nah itulah perbedaan antara kamu dan aku, jadi jangan seenaknya menuduhku." Rena berkata dengan bangga, nada sombong bahkan bisa ditemukan dalam suaranya. Laras mengerucutkan bibirnya, mencibir setiap ucapan Rena dan kembali tenggelam dalam kekhawatirannya sendiri. Dia melihat dengan tenang ke papan tulis, mendesah berat hingga akhirnya namanya terpanggil untuk menerima rapor. "Kamu pasti bisa!" Sorak Rena, memberi Laras semangat perjuangan. Laras mendengus, "Baru peringkat sepuluh aja sudah bangga," kata Laras sembari mencibir dan maju mengambil rapornya. Ketika kembali, dia melihat isi rapornya dengan tenang dan sama sekali tidak terkejut melihat angka 27 tercetak manis di posisi peringkat kelas. "Lumayan, setingkat lebih tinggi dari semester lalu." Rena melihat peringkat Laras yang sama sekali tidak bisa dibanggakan dan menggelengkan kepala dengan pelan. "Apa? Ada apa dengan ekspresi minta tabokmu itu? Apakah salah peringkat dua puluh tujuh? Kamu hanya peringkat sepuluh dan sudah meremehkan peringkat orang lain. Tunggu semester depan, aku akan melampaui peringkatmu," kata Laras dengan gusar. Mendengus keras dan kembali tenggelam dalam rasa cemasnya. Rena sama sekali tidak khawatir dengan ancaman Laras, dia malah merasa tertarik. "Bagus, coba perlihatkan padaku nanti. Aku ingin melihat seorang Laras melampaui peringkatku." "Ya ya ya, kamu tunggu saja." Laras mendengus kesal. Kekhawatiran Laras langsung terjadi, setelah dia pulang sekolah, dia langsung mendapatkan telepon dari rumah ayahnya. Dia dengan enggan mengangkat telepon, sedikit menghela napas lega ketika mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah kakak kandungnya, Rifaldi. "Laras, kapan kamu pulang? Bukankah kamu sudah menerima rapor?" tanya Rifaldi dengan tenang. Suara kakaknya yang satu ini selalu pelan dan sangat enak didengar. Laras tidak pernah mendengar Rifaldi berkata dengan nada yang kasar sehingga dia agak menyukai kakaknya yang lembut dan baik itu. Namun ada satu hal yang dia tidak sukai darinya, mata Laras menyipit ketika bertanya dengan curiga. "Bagaimana kamu tahu aku sudah terima rapor?" Rifaldi tersenyum rendah, suara dengusannya pun sangat merdu hingga hampir membuat Laras terpana. "Tentu saja aku mengetahuinya dari banyak sumber," jawabnya tanpa menyembunyikannya sama sekali. Kakaknya ini sangat suka mencari informasi tentangnya! Laras selalu merasa dia diikuti oleh orang asing yang berbahaya karena menemukan bahwa kakaknya selalu tahu apa pun tentang dirinya. "Aku akan pulang besok," kata Laras dengan cemberut. "Aku sudah membelikan tiket untukmu sore ini, kami menunggu kehadiranmu." Rifaldi berkata dengan ringan, sama sekali tidak menyadari bahwa ucapannya itu bagaikan peledak waktu yang dipasang di otak Laras. "Apa? Kenapa tidak bertanya dulu padaku?!" seru Laras tidak puas. "Ayah yang memesannya, sepertinya dia tidak sabar bertemu dengan kamu." Rifaldi segera menjawab sembari mecoba menenangkan adiknya itu. Bagaimana mungkin Laras mempercayainya. Dia bahkan merasa ayahnya itu hanya ingin dia panik dan tidak dapat bersiap-siap sebelum harus berangkat di sore hari. "Dia hanya ingin merepotkan ku!" seru Laras kesal. Ingin sekali berteriak marah. "Jangan seperti itu," kata Rifaldi, "Kamu sudah lama tidak pulang ke rumah, ayah menjadi khawatir dan tidak sabar bertemu denganmu." "Heh, aku tidak memercayainya. Pria tua itu sama sekali tidak akan memiliki rasa rindu untukku." Sebelum kata-kata Laras selesai, dia mendengar suara samar yang jauh namun terdengar jelas datang dari sisi kakaknya. "Apakah kamu sudah selesai menelepon anak itu? Jika sudah maka matikan saja teleponnya, jangan buang-buang waktu untuk meladeni anak nakal itu." Laras sangat mengenal suara itu. Tentu saja dia kenal karena itu adalah suara ayahnya sendiri. Emosi Laras langsung memuncak, dia mendekatkan mulutnya ke earphone, lalu berteriak dengan lantang. "Siapa juga yang ingin lama-lama menelepon! Jangan menggangguku!" Dengan begitu, Laras terpaksa harus pergi ke rumah ayahnya sore ini. Dia bergegas mengatur kopernya, memasukkan bajunya secara acak dan beberapa alat riasnya. Dia mungkin hanya tinggal sehari dan langsung diusir dari sana, jadi Laras tidak membawa terlalu banyak kebutuhan. Lagi pula jika dia memerlukan sesuatu, dia bisa merepotkan ayahnya itu. "Hati-hati di jalan, jangan selalu bertengkar dengan ayahmu." Randi mengingatkan Laras sebelum mengantar gadis itu ke bandara. Laras mendengus kesal, sama sekali tidak mengindahkan pengingat dari Randi. Bagaimana pun, ayahnya lah yang selalu memulai pertengkaran dengannya. Laras yang pada dasarnya sangat keras kepala mau tidak mau membalas setiap kata-kata ayahnya. Mau dikatakan anak kurang ajar pun dia tidak peduli. "Kamu dengar?" Tanya Randi ketika tidak memperoleh jawaban dari Laras. Laras bergumam acak, sama selaki tidak memasukkan perkataan Randi ke dalam pikirannya. Setelah memastikan Laras mendengar ucapannya, Randi kemudian membiarkan Laras pergi. Dia menghela napas berat melihat gadis itu naik pesawat seorang diri tanpa pendamping. Bagaimana pun, Laras masih di bawah umur, tidak baik membiarkannya pergi sendirian, terlebih lagi dengan sifat keras kepala dan ceroboh anak itu. Namun meski Randi termasuk keluarga Laras, dia keluarga dari ibu Laras, sama sekali tidak baik untuknya mengantar Laras ke rumah ayahnya. Waktu yang cukup lama dan melelahkan di pesawat dan di mobil terasa sangat cepat bagi Laras. Ketika dia sampai di depan rumah yang sudah dikenalinya selama bertahun-tahun, Laras menghentikan Langkahnya menatap dengan kosong ke arah rumah besar tersebut. Setelah beberapa saat, barulah dia melanjutkan langkahnya membuka pintu dan masuk ke ruang tamu. Di ruang tamu dia melihat ayahnya duduk di sofa sembari memegang koran. Meski tahu Laras telah datang, pandangannya bahkan tidak terangkat sama sekali. "Oh, ternyata kamu masih ingat jalan ke rumah." Gunawan— ayah Laras berkata sembari memberi sindiran halus. Laras langsung naik darah. Dia lelah dari perjalanan namun yang menyambutnya adalah sindiran dari lelaki tua itu. "Tentu saja aku ingat, aku masih muda dan ingatanku masih kuat. Tidak seperti seseorang yang sudah tua dan beruban, aku curiga dia bahkan telah lupa nama putrinya." Laras mendengus keras. Gunawan tertawa dingin, "Kenapa aku harus mengingat seseorang yang hanya datang sekali setahun di hadapanku? Aku masih ingat wajahnya saja sudah sangat bagus." Mata Laras segera menjadi merah ketika mendengarnya, dia melotot tajam ke arah ayahnya, menyentakkan kakinya ke lantai dan berteriak. "Aku tidak peduli denganmu! Sungguh! Aku tidak akan ingat denganmu lagi!" Gunawan menurunkan korannya, menatap ke arah Laras dengan dingin. "Apa yang kamu teriakan di sana? Apakah kamu ingin tetangga mendengar ucapan omong kosong mu itu?" katanya memberikan peringatan. Laras tertawa getir mendengar omong kosong ayahnya. Rumah ini, halamannya saja lebih luas dari lapangan utama di sekolahnya. Lalu ruangan di ruang tamu sama luasnya dengan aula sekolah. Bagaimana mungkin suaranya bisa terdengar oleh tetangga yang rumahnya berada dua ratus meter dari sini. Bahkan jika Laras mengambil toa dan berteriak sekali pun, tidak akan ada tetangga yang repot-repot mendengarnya. "Ayah," kata Rifaldi tenang, memberi pandangan isyarat kepada Gunawan, lalu dia melangkah mendekati Laras dan mengambil koper yang dibawa adiknya itu. "Apakah kamu lelah? Istirahat di kamarmu, ayah sudah meminta bibi Surti untuk memasakkan banyak makanan enak untuk kamu, tunggu sebentar lagi aku akan memanggilmu." Laras mendengar hal tersebut dan langsung menoleh menatap Gunawan yang sedang duduk di sofa dengan memasang wajah angkuh. Lalu dia mendengar ayahnya itu berkata, "Apakah kamu percaya itu?" tanyanya dengan sedikit ekspresi senyum sinis yang diberikan kepada Laras. Laras langsung lari ke kamarnya, dia sangat membenci ayahnya! Dia benar-benar tidak ingin pulang ke sini lagi! Rifaldi menghela napas lelah melihat ayahnya yang masih memiliki sikap arogan dan duduk sembari membaca koran. Jelas saja sebelumnya pria itu sangat antusias dengan kedatangan putrinya. Dia bahkan meminta pembantu rumah tangga untuk menyiapkan makanan kesukaan Laras. Namun kenapa ketika putrinya itu telah tiba, sikapnya malah menjadi seperti ini? "Yah, Laras baru saja sampai, jangan memancing emosinya." Rifaldi berkata dengan pelan. Gunawan mendengus, tidak tahu apakah dia mendengar atau mengabaikannya. Beberapa saat kemudian, Laras dipanggil turun untuk makan. Dia sangat senang melihat semua makanan di atas meja adalah makanan kesukaannya. Dia mulai berpikir jernih, apa mungkin ayahnya benar-benar menyiapkan ini semua untuknya? Namun segera, ayahnya itu memutuskan pikiran indahnya tanpa perasaan. "Ada apa dengan makanan tidak sehat dan berminyak ini? Apakah kamu hanya bisa memasak ini?" tanya Gunawan kepada bi Surti. Bi Surti diam sembari menundukkan kepalanya, dia dengan tenang mendengarkan ocehan tuannya sebelum kembali ke dapur tanpa perubahan ekspresi apa pun. Bagaimana pun dia telah lama bekerja untuk keluarga ini, sehingga dia tahu betapa anehnya sifat tuannya kepada putrinya. Jelas saja dia yang memintanya untuk memasak semua itu, tetapi dia mencelanya dengan keras di depan Laras seolah-olah bukan dia yang menyuruhnya. Rifaldi juga tidak habis pikir dengan tindakan ayahnya. Dia merasa bahwa sikap keras kepala Laras adalah keturunan darinya. Tiba-tiba Laras merasa makanan favoritnya menjadi tidak sedap dipandang. Dia menoleh menatap Gunawan dengan penuh kebencian dan memakan makanan di depannya dengan cepat agar bisa kembali ke kamarnya. Saat Laras kembali ke kamarnya, Gunawan mengerutkan keningnya. "Apakah ini bukan makanan kesukaannya? Kenapa dia pergi ke kamar begitu cepat?" katanya bertanya-tanya dengan heran. Rifaldi menghela napas berat, "Jika Ayah tidak mengatakan hal yang tidak perlu dikatakan sebelumnya, maka Laras akan makan sedikit lebih lama." Gunawan mengabaikan saran dari anak pertamanya dan lanjut makan dengan tenang. "Kamu nanti pergi ke kamar adikmu dan bawakan dia cemilan kesukaannya," katanya ringan namun jelas. Tetapi sikap angkuhnya tampak mengatakan bahwa bukan dia yang mengatakan hal tersebut. "Baik," kata Rifaldi dengan tenang. Bagaimana pun, dia adalah penengah dalam kelurga ini. Puas dengan kepatuhan putranya, Gunawan mengangguk dengan senang. Lalu dia memikirkannya lagi dan terus mengatakan apa saja yang harus Rifaldi lakukan untuk Laras. "Berikan kartu sebelumnya yang telah aku siapkan kepada Laras. Biarkan dia membelanjakannya sepuas hatinya. Kemudian tanya tentang dekorasi kamarnya, sudah lama dia tidak mengubahnya. Setelah itu kamu juga harus mengingatkannya untuk cuci muka dan kaki, tidur cepat, dan jangan kelamaan main ponsel." Gunawan mengatakan semuanya sembari terus makan. Dia berpikir sejenak, takut ada kelupaan. Namun akhirnya menyerah karena sepertinya dia telah mengatakan segalanya. "Jika Laras ingin sesuatu, turuti saja dia," katanya akhirnya. Rifaldi hanya bisa mengangguk dan menerima pesanan dari ayahnya. Dia sama sekali heran kenapa ayahnya itu tidak melakukan apa yang dia inginkan sendiri saja. Bukankah itu akan membuat Laras lebih bahagia? Bagaimana pun Rifaldi sadar sifat Laras sangat mudah dipuaskan, jadi berbaik sedikit padanya sudah cukup untuk mengambil hatinya. Namun melihat ayah yang tak dapat diandalkan ini ... Rifaldi sekali lagi menghela napas berat dalam hatinya. Sepertinya dia harus mencari cara sendiri untuk menyatukan ayah dan anak itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD