Jatuh

1504 Words
Laras duduk santai menonton Rena dan teman sekelasnya yang lain bertanding bola voli. Dia awalnya tertarik menonton pertandingan itu. Namun setelah beberapa saat, garis pandangannya terhalangi oleh kerumunan penonton yang berdiri di pinggir lapangan. Laras menggerutu beberapa saat sebelum mengganti fokusnya yaitu bermain dengan ponsel. Ada perbedaan antara sebelum dan sesudah dia bermain ponsel. Sebelumnya, dia merasa waktu berjalan lambat, merasa sangat lelah menunggu berakhirnya pertandingan Rena. Namun saat dia bermain ponsel, dia sedang menonton YouTube dengan asik dan tiba-tiba saja mendengar bahwa pertandingan lari estafet akan segera diadakan. "Hei, bukankah ada seseorang yang berkata akan menonton dan mendukungku? Siapa orang tersebut, kenapa aku tidak melihatnya?" kata Rena sembari menyeka keringat di keningnya. Laras tanpa rasa malu menunjuk kerumunan penonton yang masih berdiri di pinggir lapangan menunggu pertandingan dari kelas lain. "Kamu bisa memilih satu dari mereka sesukamu," katanya sembari memasukkan ponselnya ke dalam tas sekolahnya. Rena mendengus, menghabiskan satu botol air mineral, lalu memukul kepala Laras dengan botol kosong. "Ayo ke lintas lari, kelas kita termasuk dalam kelompok pagi." "Emang ada kelompok lain selain pagi ini?" Laras melempari Rena dengan botol setengah terisi air mineral miliknya sebagai balas dendam. "Apakah kamu tidak pernah memeriksa grup kelas? Buka dan bacalah, kamu mungkin akan menemukan sesuatu yang menarik di dalamnya." Rena mendengus, untung saja dia langsung menangkap botol yang dilempar Laras. Jika benda ini mengenai perutnya, maka dia mungkin akan segera ke UKS dan tidak bisa berpartisipasi dengan yang lainnya. "Dih, hal menarik apa yang bisa ada di sana." Laras bangkit berdiri, berjalan bersama Rena ke lintasan lari estafet yang telah disiapkan oleh anggota OSIS yang sangat rajin. Rena terkekeh, "Ada gambar tentang pengelompokan lomba lari estafet di grup. Buka dan bacalah baik-baik, aku tidak bercanda." Merasa penasaran dengan kata-kata Rena yang penuh teka-teki, Laras dengan patuh membuka obrolan grup kelas mereka. Ada banyak percakapan yang ringan dan tidak penting di sana, dia langsung menggeser layar dan melewati semua percakapan tersebut hingga akhirnya menemukan kumpulan gambar-gambar informasi lomba yang dikirimkan sang ketua kelas— Zulkifli di grup. Laras mencari gambar untuk informasi pengelompokkan lomba lari estafet. Dia membacanya sekilas, melihat nama kelas mereka masuk ke lomba pagi seperti yang dikatakan Rena dan merasa itu biasa saja. "Apakah kamu bercanda padaku? Dimana hal menariknya?" tanya Laras dengan ekspresi wajah yang gelap, seolah akan memakan Rena hidup-hidup. "Baca baik-baik, jangan hanya melihat sepintas." Rena berdecak lidah, mendesak Laras untuk kembali membaca informasi itu. Laras kembali membacanya kali ini lebih lambat dari sebelumnya, namun tidak juga menemukan hal menarik seperti yang dikatakan Rena. "Katakan saja apa itu?! Aku tidak melihat apa pun disini." "Heh, apa yang bisa kamu lakukan," gerutu Rena, menarik ponsel Laras lalu membesarkan layar di bagian tertentu dan menunjukkannya kepada Laras. "Baca pakai mata jangan pakai emosi," katanya memberikan ponsel Laras kembali kepada pemiliknya. Laras melihat nama kelas dan nama perwakilan murid lomba lari estafet yang familiar di layar ponselnya dan langsung mengerutkan kening tak suka. "Bagaimana? Menarik bukan?" tanya Rena sembari terkekeh senang. "Apanya yang menarik! Gadis cupu itu juga ikut lomba ini! Cih, lihat saja. Nanti aku akan mendorongnya hingga jatuh, siapa yang memintanya menjadi pelari keempat mengikutiku." "Jangan GeEr kamu, itu semua sudah diatur sebelum dia tahu kamu ikut lari estafet. Aku yakin, jika Tania tahu kamu juga ikut, dia pasti tidak akan memilih lomba ini." Rena segera menyadarkan Laras dari perkataan omong kosongnya. "Tapi kalian ikut kelompok lari estafet pagi dan termasuk pelari keempat, bukankah itu sudah takdir?" "Cih, menjijikkan. Lihat saja anak itu, dia pasti menyesal ikut lomba ini." Laras tersenyum sinis, rencana jahat sudah berputar di otaknya, tinggal mewujudkannya saja dan semua menjadi beres. Rena berkata kembali memutuskan rantai pikiran Laras, "Biar aku beritahumu. Ini lomba lari estafet, bukan lomba lari maraton. Kamu tidak bisa keluar dari lintasan lari kamu hanya untuk mendorong Tania jatuh. Lagi pula lihat nomor kelas kita dan kelas mereka, ada beberapa kelas yang memisahkan jarak." Laras mendengus, merasa kesal karena merasa gagal sebelum bertindak. Dia berjalan sembari termenung. Memikirkan cara yang sangat baik untuk membuat pelajaran bagi Tania di lomba lari nanti. Melihat Laras telah linglung, Rena langsung menepuk pundak gadis itu. "Tidak perlu berpikir banyak, berusaha saja untuk menang. Bukankah dengan menang kamu sudah membuktikan kamu lebih baik darinya?" Mata Laras langsung berbinar. Dia memikirkan ucapan Rena dan merasa bahwa itu memang ide yang cemerlang. Mungkin saja Kevin juga menonton lomba ini. Dengan begitu, dia akan melihat bagaimana Tania akan dikalahkan olehnya. "Bagus, kalau begitu kamu tidak boleh jadi beban. Larilah secepat mungkin, sebelum kakimu lumpuh, maka kamu harus menggunakan seluruh tenagamu untuk menyerahkan tongkat kepadaku!" kata Laras penuh penekanan. Dia melihat dua teman sekelasnya yang juga akan ikut lari estafet, segera dia berlari ke arah mereka dan memberi instruksi yang sama. "Ingat kalian harus lari sangat kencang. Aku tidak peduli ada paku atau bom di tengah lintasan, pokoknya kalian harus menjadi yang pertama di depan tim kelas lain. "Siap, pasti itu." Rita menjawab dengan santai dan mudah. Kidar juga mengangguk sebagai pengertian. "Jangan sampai kamu mengatakan hal tersebut malah kamu yang menjadi beban kami," kata Rena datang mendekati mereka. Laras melotot marah kepada Rena, merasa heran kenapa dia bisa memiliki teman seperti itu. Yang tidak mendukungnya tetapi terus membuyarkan imajinasi indahnya. "Enyah saja kamu, tidak ada hal baik yang keluar dari mulutmu setiap kali kamu bicara." "Pengumuman, untuk peserta putri lari estafet pagi silakan mengambil posisi yang sesuai nomor lari masing-masing." Suara yang berasal dari pengeras suara terdengar. Laras langsung mendorong ketiganya untuk bergegas ke lintasan lari. Berulang kali dia memberi mereka peringatan untuk menang, harus menang dan hanya menang pilihan mereka. Rena segera mengusir Laras mengambil posisinya sendiri. Dia merasa otaknya akan tercuci jika terus mendengarkan ucapan Laras yang tiada hentinya itu. Dengan enggan Laras menatap mereka untuk memberi pengingat terakhir sebelum berjalan dengan antusias ke posisinya. Matanya menyapu setiap wajah para murid yang ikut lomba lari bersamanya bagian pelari keempat. Segera dia menemukan wajah sok polos namun munafik milik Tania yang sangat tidak sedap di pandang. Tentu saja Tania menyadari tatapan jahat yang tertuju padanya. Dia dengan hati-hati memeriksa darimana tatapan itu berasal dan segera mengalihkan pandangannya ketika menemukan bahwa hal itu berasal dari Laras. Dia segera menjadi canggung dan kikuk, kepalanya sedikit tertunduk, takut untuk terangkat. "Cih, serigala berbulu domba," cibir Laras yang langsung mengalihkan pandangannya ke depan. Ketika ada hitungan mundur lomba dimulai. Perhatian Laras langsung teralihkan. Dia menatap dengan cemas ke Rita— pelari pertama yang berlari menuju ke arah Kidar. "Kurang cepat, itu kurang cepat," gumam Laras ketika melihat beberapa orang berlari melewati Rita. Itu membuat Laras merasa frustrasi dan ingin mengambil tarik untuk menarik Rita berlari lebih cepat lagi. Ketika tongkat telah diserahkan kepada Kidar, gadis paling tinggi di kelas itu langsung berlari menggunakan kaki panjangnya yang melampaui beberapa orang hingga berhasil menjadi urusan ketiga di depan yang lainnya. Meski begitu, Laras tetap saja panik, merasa Kidar juga kurang cepat. Yang dia inginkan menjadi yang pertama jadi dia tidak merasa puas dan terus bergumam seolah untuk menenangkan dirinya sendiri. Ketika tingkat jatuh ke tangan Rena, Laras langsung berbalik ke depan dengan tangan kanan terulur ke belakang siap menerima tongkat. Dia frustrasi melihat Rena tak juga memberinya tingkat. Jadi ketika tongkat tersebut jauh ke tangannya, dia agak tercengang sebelum sadar dan kari dengan secepat kilat. Tidak ini belum cepat. Belum cepat. Masih bisa lebih cepat lagi. Laras melihat seseorang melewatinya, dan langsung menjadi lebih panik. Dia segera menggunakan seluruh kemampuannya, berlari dengan kencang secepat yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Beberapa meter dari tempat finish, Laras menoleh sedikit untuk melihat dimana Tania berada? Apakah gadis cupu itu berada di depan atau di belakangnya. Namun karena fokusnya yang terbagi, dia tanpa sadar masuk ke lintasan orang lain dan hampir menabrak murid kelas lain yang berlari di sampingnya. Laras segera menghindar, memutar pergelangan kakinya hingga membuat tubuhnya tidak seimbang dan jatuh dengan keras ke tanah. "Auh," ringis Laras, merasa tubuhnya kaku tidak bisa bergerak untuk bangkit. "Laras!" Suara teriakkan Rena terdengar dari belakang beserta langkah kaki yang cepat. Laras melihat ke depan, dia langsung bangkit berdiri. Di bawah banyak pasang mata penonton yang hadir, Laras mengabaikan luka di kakinya dan lanjut berlari dengan sekuat tenaga. Namun, dia tentu saja tidak bisa menang. Dia menjadi yang terakhir sampai ke garis finish. "Gadis bodoh, ayo ke UKS." Laras menoleh untuk melihat Randi berada di sampingnya dengan kening mengernyit tidak puas. "Gendong, tangan dan kakiku sakit." Mata Laras langsung menjadi merah karena baru merasakan perih luka yang ada di tubuhnya. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa bisa masuk ke lintasan orang lain? Bukankah aku mengatakan untuk tidak melewati lintasanmu sendiri!" Rena datang dengan terengah-engah, langsung menyemburkan kata-kata kesalnya kepada Laras. Gadis ini selalu saja menimbulkan masalah. Laras melihat wajah panik Rena dan niatnya untuk menegur temannya yang sedang memarahinya itu langsung hilang. "Lukaku sakit, cepat bawa aku dan obati semuanya." Dia berkata dengan kesal. Menoleh ke Randi untuk memberi isyarat pemuda itu menggendongnya. Randi langsung berbalik dan membungkuk, membiarkan Laras naik ke punggungnya dengan nyaman. Rasa khawatir Rena langsung lenyap. Dia berdecak melihat betapa manjanya gadis itu dan berjalan mengikuti langkah Randi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD