OSIS atau Murid Biasa

1105 Words
Laras berpakaian olahraga, mengikat rambutnya dengan sembrono hingga menghasilkan damage yang dahsyat untuk para pemuda yang melihatnya. Setiap kali Laras melangkah satu meter, pasti ada saja panggilan dari murid lain yang menyapa atau menggodanya. Laras membalas mereka dengan tatapan tajam dan penuh niat pembunuhan, menghancurkan harapan setiap pemuda yang ingin mendekatinya. "Nah, ada banyak pemuda yang melirikmu, beberapa di antara mereka juga tampan. Kenapa kamu tidak mendekati mereka saja daripada berharap dengan sesuatu yang tak tergapai?" kata Rena yang berjalan di sisi Laras. Laras mendengus keras, selalu memasang tatapan tajam ke setiap pemuda yang meliriknya. Jika tatapan bisa membunuh orang, maka Laras mungkin telah membunuh banyak orang sejak datang ke sekolah pagi ini. "Hatiku selalu mengutamakan kualitas dalam memilih pasangan. Kamu yang tidak tahu apa-apa tentang cinta tahu apa?" kata Laras pada Rena, menatapnya merendahkan. Rena sama sekali tidak tersinggung dengan ucapannya. Dia malah merasa bangga. "Tidak masalah aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Melihatmu begitu kacau karena cinta membuatku merasa beruntung." Laras menjadi kesal karena ucapan Rena. Dia melotot tajam, berjalan ke lapangan tempat dimana lomba olahraga akan diadakan. "Ini lomba voli atau lari dulu?" tanya Laras melihat lintasan lari dan lapangan olahraga telah dipersiapkan diatur sedemikian rupa. "Voli dulu, habis itu baru lari estafet." Rena menjawab dengan santai, di tangannya ada sebungkus besar keripik kentang. Dia membuka kemasannya dan memakan dengan nyaman. "Bukankah itu melelahkan? Kamu harus bermain voli, habis itu pergi segera lari estafet. Ckck, kenapa tidak ikut satu-satu aja? Merepotkan diri sendiri," gumam Laras menggerutu kebodohan Rena dengan tangan yang terulur mencuri keripik yang ada di tangan Rena. Rena tertawa mendengar perkataan Laras, dia malah dengan bangga terus menunjukkan keahliannya. "Oh setelah lari estafet, aku juga ikut lomba tarik tambang. Besok aku juga akan ikut sepak bola putri dan kemudian lomba lainnya. Pokoknya banyak deh." "Dan kamu bangga?" tanya Laras dengan alis terangkat. Rena mengangguk tegas, "Tentu saja bangga." "Kulitmu jadi terpapar matahari, kusam, kering, bersisik, dan coklat. Apakah kamu benar-benar rela?" tanya Laras lagi. Memikirkan kulitnya akan berubah menjadi seperti itu, dia bergidik ngeri. Rena memutar matanya, "Bukankah kamu punya sunblock? Kenapa aku harus mengkhawatirkan itu?" "Apakah kamu pikir, aku akan meminjamkannya kepadamu?" Laras menatap Rena sinis, merebut sebungkus kripik sekaligus dari tangan Rena lalu membawanya pergi menuju ke lapangan voli. "Hei, maling!" Rena langsung berlari mengejar gadis usil itu. Laras berhenti di bawah pohon jambu di dekat lapangan voli. Lalu dia duduk di bangku-bangku yang terbuat dari batang pohon kelapa yang ada di bawah pohon. Kaki kanannya bertumpu di kaki kiri. Punggungnya tegap, dengan pose yang elegan. Dia melirik ke arah Rena dan berkata sembari memberikan peringatan. "Nah, aku akan menontonmu nanti dari sini, pastikan kamu membawa kemenangan untuk kelas kita. Jika kamu tidak menang, maka jangan pernah mengaku menjadi temanku lagi." Rena duduk di samping Laras, mendengar ucapan tak berkemanusiaan dari teman dekatnya itu, Rena langsung naik tensi. "Bukankah kamu yang selalu menjadi teman yang memanfaatkan temannya? Jika kamu tidak mengakui aku sebagai teman, apakah kamu tidak tahu seberapa bahagianya aku?" "Oh, kalau begitu, kalau kamu kalah maka kamu akan terus aku manfaatkan seumur hidupmu." Laras segera melarat kata-katanya tanpa malu. Tatapannya dengan ringan jatuh ke para murid yang menggunakan almamater OSIS. "Lihat mereka, menjadi b***k sekolah. Melakukan ini dan itu. Pergi paling cepat, pulang paling lambat. Heran aku, kenapa mereka berlomba-lomba untuk menjadi OSIS? Bukankah bagus menjadi murid tanpa titel apa pun? Hidup dengan bebas, melakukan pelanggaran pun hanya dapat teguran, bahkan tidak perlu memedulikan urusan murid lainnya. Tetapi anggota OSIS? Mereka melakukan pelanggar sekecil apa pun akan langsung dibesar-besarkan dengan murid lainnya." Laras bergumam secara acak sembari terus memakan kripik. Rena mengikuti garis pandang Laras, dia langsung melihat Ketua OSIS alias kakak sepupu Laras— Randi sedang memberi instruksi kepada anggotanya, entah apa yang mereka bahas. Dia mendengar Laras dan terkekeh geli. "Apa yang kamu tahu? OSIS adalah organisasi yang mengatur tatanan hidup kita di sekolah ini. Menjadi bagian dari mereka akan membuatmu dikenal murid lain, memiliki banyak teman, dan tentunya lebih disegani!" "Maksud kamu populer?" tanya Laras dengan alis terangkat. Rena mengangguk, "Ya, tentu saja. Rata-rata orang yang populer di sekolah ini bukankah mereka berasal dari anggota OSIS?" "Kevin tidak," bantah Laras langsung. Rena memutar matanya, "Aku bilang rata-rata oke? Bukan keseluruhannya!" katanya merasa geram dengan tingkah Laras. Laras melirik Rena yang wajahnya sudah memerah karena kesal dan merasa tertarik untuk menambahkan bahan bakar ke api. "Randi— ketua OSIS tetapi tidak lebih terkenal dari Kevin. Jika apa yang kamu katakan benar, bukankah seharusnya Randi yang lebih terkenal?" Kedua mata Rena terbuka lebar menatap Laras dengan pandangan tidak percaya. "Laras Filandari, meskipun aku tahu seluruh perhatianmu berpusat pada Kevin, tetapi bukan berarti kamu bisa mengabaikan yang lainnya. Di sekolah ini! Aku katakan dan dengarkan baik-baik, di sekolah ini tidak ada satu pun orang yang tidak tahu Kak Randi. Walau pun mereka kutu buku yang kerjaannya hanya di perpustakaan sekali pun, mereka pasti mengenal Kak Randi!" "Tapi aku tidak pernah lihat tuh Randi dikejar-kejar seperti Kevin," kata Laras mencoba untuk terus melawan dan tetap mempertahankan kemenangannya. "Heh, tentu saja. Meski sama-sama terkenal, mereka dua orang yang berbeda." Rena tertawa dingin, mengasihani pengetahuan Laras yang minim. "Kak Kevin sangat populer karena dia tampan, dia tipe pria dingin di drama yang meluluhkan hati para gadis." Laras mengangguk setuju, "Ya, benar. Aku juga merasa Kevin itu adalah karakter yang keluar dari drama yang aku sering tonton. Tampan, keren, sempurna lagi!" "Nah, itulah alasan kenapa Kevin memiliki banyak orang yang mengejarnya." Rena kemudian melanjutkan, "Untuk Kak Randi, dia adalah ketua OSIS. Baik akan aku ulang, dia adalah ketua OSIS yang sangat ketat dan disiplin. Jika seorang gadis memberinya surat cinta atau bunga, apakah kamu tidak tahu apa yang akan terjadi?" Laras langsung mengangguk penuh pengertian, "Tidak perlu dijelaskan, aku telah mengerti." Tentu saja Laras mengerti. Bagaimana pun Randi adalah kakak sepupunya, dia lebih jelas tahu bagaimana Randi daripada Rena. Jika ada seorang siswi mengejarnya, maka Randi sebagai ketua OSIS pasti akan menegur dan memberi ceramah kepada siswi itu untuk fokus belajar daripada melakukan hal tidak bermanfaat seperti itu. Untuk sesaat, Laras merasa kasihan kepada jodoh Randi kelak. Tak lama menunggu, lomba akhirnya dimulai. Meski Laras sangat tertarik dengan pertandingan basket yang telah berlangsung, tetapi dia telah janji akan menonton pertandingan Rena sehingga dia hanya diam duduk di bawah pohon jambu sembari menonton pertandingan bola voli dan menunggu giliran kelas mereka. "Kalau tahu gini, seharusnya aku ke lapangan basket saja dulu." Laras menghela napas berat, merasa bosan menonton pertandingan dari kedua tim kelas yang tidak diketahuinya itu. Rena mengangguk, "Tapi dah nanggung, duduk saja di sini." "Hooh, aku juga enggan berpisah dengan bangku batang pohon kelapa ini." Laras menjawab dengan malas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD