Tidak Kenal Kevin!

2034 Words
Ketika ujian semester dimulai, Laras disibukkan oleh Randi yang selalu mengingatkannya untuk belajar, belajar, dan belajar. Jika hanya pengingat bisa Laras tidak akan peduli, tetapi Randi bahkan menempatkan buku setiap hari di rumahnya tanpa Laras ketahui. Laras menjadi kesal, niat awalnya ingin men-stalker Kevin langsung dihancurkan oleh pengingat belajar terus menerus. Sama seperti saat ini, dia pergi ke toilet bersama Rena dan membuka tasnya untuk memakai lipcream. Namun ketika dia melihat hanya ada buku, buku, dan buku di tasnya, Laras merasa jantungnya tertusuk bertubi-tubi. "Ada apa? Mana lipcream-mu?" tanya Rena, berdiri di depan cermin sembari mengulurkan tangannya juga ingin memakai lipcream milik Laras. Laras mendengus, membuka tasnya dengan lebar untuk ditunjukan kepada Rena. "Kakak kurang ajar!" katanya kesal, ingin sekali pergi ke ruang ujian Randi dan membuang buku-buku ini di atas kepala pemuda itu. Rena melihat buku-buku di dalam tas Laras dan tak bisa menahan tawanya, dia bahkan memberikan jempol kepada tindakan mulia Randi. "Nah, inilah yang seharusnya kamu bawa ke sekolah. Akhirnya tas sekolah kamu berfungsi dengan baik," kata Rena sembari membuat ekspresi bangga yang berlebihan. "Heh, pandai sekali kamu bicara, bukankah kamu juga sering memakai alat riasku?" Laras mendengus kesal, dia segera menutup tas sekolahnya, enggan melihat isi di dalamnya. Rena tersenyum usil, menatap ke cermin sembari memperbaiki ikatan rambutnya yang miring. "Aku memakainya karena kamu membawanya, jika kamu tidak membawanya, aku tidak akan memakainya." "Cih," Laras memutar matanya, tidak mempercayai kata-kata Rena sedikit pun. "Ayo pergi ke ruanganmu," Rena meletakkan kedua tanggannya di pundak Laras, berjalan sembari mendorong temannya itu untuk keluar dari toilet. Langkah Laras sangat berat, enggan menuju ke ruang ujian. Terlebih lagi ruang ujiannya dan Rena terpisah jauh seolah para guru sengaja memisahkan mereka berdua yang kadang tak terpisahkan. Setelah mendorong Laras masuk ke dalam ruang ujiannya, Rena menepuk tangannya dan melangkah ke ruang ujiannya sendiri. Sebelum itu, dia bersorak untuk temannya. "Meski aku tak yakin, tapi kamu pasti bisa!" Laras melotot, "Enyah dari sini!" katanya sembari membuka tas sekolahnya, ingin melempari Rena dengan buku tebal yang dimasukkan Randi ke dalam tasnya. Bagaimana mungkin Rena tidak mengetahui pikiran kejam Laras? Sebelum Laras sempat membuka tasnya, dia telah lari jauh menuju ruang ujiannya. "Dasar," Laras menghentikan gerakan tangannya, mendengus keras dan berbalik untuk berjalan ke meja dimana dia akan menempatinya selama satu Minggu. Seperti dugaan Laras, ujian menjadi semakin sulit. Hari demi hari, jawaban dari soal-soal dari kertas ujian tampak tak terjangkau. Jangan bicara tentang jawabannya, Laras bahkan merasa soalnya saja sudah membuat kepalanya pusing. Terlebih lagi semakin berlalunya hari ujian maka libur semester semakin dekat. Bukannya Laras tidak suka libur, hanya saja jika libur semester dimulai maka itu berarti dia tidak akan melihat Kevin untuk waktu yang lama. Salah! Bukan itu alasannya. Dia sudah move on, jadi dia tidak akan peduli untuk bertemu Kevin atau tidak. Yang paling dia khawatirkan sebenarnya adalah, dia harus pergi ke rumah ayahnya! Itu adalah sesuatu yang Laras hindari. Hari terakhir ujian, Laras masih juga tidak dapat menebak teka teki dalam soal ujian sehingga dia meraih jawaban secara asal. Dia bahkan menjawab soal pilihan ganda dengan taruhan kepada dirinya sendiri. Sebagian besar dari dirinya, dia menyerah pada ujian semester ini. Setelah ujian terakhir berakhir, Laras langsung menjatuhkan dirinya di atas meja, merasa seluruh energinya terkuras selama seminggu ini. Dia merasa bahwa saat ini dia memiliki phobia terhadap soal-soal. Dia enggan lagi melihat pertanyaan yang memintanya mencari x atau y, menghitung massa dan beban, apalagi meneliti asam basa yang membingungkan. "Aku bertanya-tanya, kenapa tubuhku bisa tersesat di kelas IPA?" gumam Laras sembari menyatukan dahinya dengan meja, bertanya-tanya tentang misteri dunia yang susah dipecahkan. "Bukankah itu karena kamu ingin terlihat keren dan pintar, jadi kamu memilih jurusan IPA." Sebuah jawaban segera muncul dengan nada yang sangat mirip dengan suara sinis khas Rena. Tidak, itu benar-benar suara Rena. Laras mengangkat kepalanya, melihat teman yang tidak dapat lagi diandalkan dengan murung. "Ada apa?" tanyanya jutek. Rena tersenyum dengan sangat riang, "Tidak ada, aku hanya ingin menonton seorang Laras menderita. Aku tidak akan mengganggumu, lanjutkan saja depresimu." "Kamu yang depresi!" seru Laras tidak terima. Rena tertawa bahagia melihat wajah kesal Laras, lalu dia akhirnya mengatakan maksudnya datang ke ruang ujian Laras yang penuh aura suram kegagalan. "Ayo kembali ke kelas, ketua kelas meminta kita berkumpul segera." "Untuk apa? Jika tidak penting maka aku tidak akan pergi, aku bahkan enggan menggerakkan satu jari pun saat ini." Laras kembali menyatukan dahinya dengan meja, mengungkapkan kesetiannya pada meja dan tidak akan melepaskannya. "Lomba olahraga antar kelas, apakah kamu mau ikut atau tidak?" tanya Rena sedikit tidak sabar dengan tingkah laku Laras. "Apa?" tanya Laras bingung. Rena menarik bahu Laras, membuat gadis itu kembali duduk dengan baik. "Bukankah setiap selesai ujian semester akan selalu ada lomba olahraga? Nah ketua kelas memanggil kita untuk membahas ini dan menanyakan siapa yang ingin berpartisipasi." Laras mengangguk frustrasi, "Aku ingat, setelah lomba maka akan ada penerimaan rapor. Setelah itu liburan semester," Laras menghela napas, "Kenapa dunia begitu kejam padaku?" "Berhenti bertingkah dramatis seperti ini, ayo pergi ke kelas." Rena menarik Laras berdiri, setengah mendorong Laras untuk berjalan keluar ruangan dan melangkah menuju ke kelas mereka. "Aku tidak ingin pulang ke rumah ayahku," kata Laras dengan gelisah, merasa bahwa hari bertemu ayahnya semakin mendekat membuatnya tidak nyaman. Rena menepuk bahu Laras, "Bukankah itu ayahmu? Kenapa kamu bertindak seolah akan bertemu dengan malaikat maut?" "Apa yang kamu tahu?" Laras melotot tajam, "Malaikat maut bahkan lebih enak dipandang daripada ayahku. Humph, kenapa juga sih ada libur semester? Siapa coba yang mengemukakan gagasan mengerikan seperti ini? Bukankah kita sebagai siswa harus menghabiskan sepanjang tahun untuk belajar dan belajar? Kenapa perlu diadakan liburan semester? Apakah ini rencana memperbodoh generasi muda?" Rena tidak bisa menahan diri untuk memukul kepala Laras, "Apa yang kamu keluhkan? Apakah kamu sekolah selama ini untuk belajar? Aku bahkan tidak pernah melihatmu fokus belajar sefokus kamu mengejar Kevin!" "Diam! Siapa Kevin? Aku tidak mengenalnya!" teriak Laras melotot tajam pada Rena. Ketika dia kembali menoleh ke depan, kebetulan dia melihat sosok Kevin muncul di depannya. Laras langsung membeku di tempat, perasaannya langsung campur aduk seperti gado-gado tanpa sambal kacang. Rena di sampingnya tertawa dingin, "Heh, mari kita lihat apakah kamu mengenalnya atau tidak." Laras memberikan Rena tatapan peringatan, namun dia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Apakah Kevin mendengar ucapannya tadi? Suaranya tidak begitu keras bukan? Pasti tidak keras. Ya, Laras yakin suaranya sangat pelan. Menghadapi wajah tampan Kevin, hati Laras terasa geli ingin menyapa pemuda tersebut dan mengeluarkan kata-kata menggoda. Namun dia menahan diri, saat ini dia harus tampil mengesankan. Dia tidak akan berbicara kepada Kevin! Tetapi jika Kevin ingin berbicara dengannya, dia sama sekali tidak akan masalah dengan mengobrol sedikit. Laras menyetujui pikirannya diam-diam dan tetap menutup mulut menunggu Kevin duluan menyapanya. Namun sayangnya, jangankan menyapanya, Kevin bahkan tidak meliriknya sedikit pun dan berjalan melewatinya begitu saja. Laras melebarkan mata tak percaya, menoleh ke belakang melihat punggung Kevin semakin menjauh darinya. Di sampingnya, Rena tertawa sangat senang sembari menganggukkan kepalanya. "Benar saja, kamu memang tidak mengenal Kevin. Atau mungkin Kevin yang tidak mengenalmu." "Diam kamu!" seru Laras kesal, dia kemudian menjadi gugup. "Apakah Kevin mendengar ucapanku sebelumnya? Sepertinya tidak bukan?" "Tentu saja dia dengar," jawab Rena yang dengan kejam menghancurkan harapan Laras. "Kamu berteriak sangat keras, mustahil Kevin tidak mendengarnya." Kemudian Laras memasang wajah depresi melebihi ketika dia harus menghadapi soal-soal ujian atau memikirkan akan pulang ke rumah ayahnya. "Aku membutuhkan mesin waktu, aku harus kembali ke beberapa menit yang lalu dan menutup mulutku yang mengatakan omong kosong seperti itu!" Laras bersandar di dinding, dia memiliki keinginan kuat untuk membenturkan kepalanya di dinding yang keras itu. "Sudahlah, ayo pergi ke kelas." Rena menarik tangan Laras dan membawanya kembali melangkah. Laras mendengus keras, "Semua karenamu! Semua salahmu! Jika kamu tidak memancingku, maka aku tidak akan mengatakan hal seperti itu. Kamu menyebalkan." Rena memutar matanya, "Baik, aku memang menyebalkan." "Kamu sialan!" seru Laras tidak puas. "Hooh, aku sialan," kata Rena setuju dengan malas. Laras menjadi semakin tidak puas, "Mati saja kamu!" "Baik, aku akan mati. Tapi kita harus ke kelas dulu," kata Rena, mempercepat langkahnya menarik Laras ke kelas mereka. Sesampainya di kelas, murid-murid sudah berkumpul melingkari meja depan milik sekretaris kelas. Ketua kelas— Zulkifli langsung menyapa mereka berdua ketika baru saja masuk. "Rena bukankah kamu sangat pandai bola voli? Pergi ke Tiara dan daftarkan namamu. Kamu juga Laras, apakah kamu tertarik melakukan smash lagi? Mungkin saja kamu beruntung mendapatkan kakimu keseleo lagi, ayo daftarkan namamu segera." Zul dengan semangat mendorong mereka ke meja Tiara— sekretaris kelas. Laras melotot marah kepada Zul, "Jika kamu ingin kakimu keseleo, aku bisa membantumu." Zul langsung mengangkat tangan dan menjauh, "Oke, oke, aku hanya bercanda tadi. Kamu bisa mendaftar sesuatu yang ringan, pokoknya daftarkan saja namamu. Urusan menang dan kalah itu urusanmu, bukan urusanku. Yang penting kamu mendaftar." Para murid yang mendengarnya langsung tertawa dan berseru untuk menghakimi perkataan Zul yang terlalu jujur. Laras yang ingin tetap marah juga tidak bisa mengendalikan senyuman geli di wajahnya, dia hanya bisa memasang tatapan tajam yang tidak mengancam sembari berkata, "Selamat, kamu berhasil membuatku tidak tertarik untuk mendaftarkan namaku." Zul langsung panik, segera mengubah kata-katanya tanpa malu. "Tadi aku hanya bercanda, ayo Tuan Putri Laras, silakan daftarkan nama. Aku yakin kelas kita akan menjadi juara dengan adanya Laras yang bergabung. Benar tidak?" Dia segera melirik memberi isyarat kepada murid-murid lainnya. "Benar!" seru beberapa murid kompak. Laras diluluhkan dengan mudah, dia berjalan dengan angkuh menuju meja Tiara dan melihat pilihan lomba di kertas brosur di atas meja. "Apakah ada lomba yang tidak menguras keringat?" "Bagaimana jika kamu ikut lomba sastra? Story telling atau menulis cerpen, itu tidak akan membuatmu berkeringat." Tiara dengan senyuman profesional ala sales marketing yang sedang membidik target untuk menarik konsumen. Laras bergidik mendengar jawaban Tiara, "Tidak, sama sekali tidak! Aku lebih memilih menggunakan ototku daripada otakku. Oke, sebutkan saja posisi yang kosong, aku akan memilih secara acak." Mata Tiara langsung bersinar, "Bagaimana dengan lari estafet? Aku bisa memberimu posisi di tengah, yang tidak terlalu memakan energi?" Laras menggelengkan kepala dengan tegas, "Hah, apakah kamu bercanda? Aku akan berada di posisi pelari keempat! Tentu saja aku harus membuat diriku terlihat mengesankan," katanya dengan keras kepala tanpa menerima bantahan apa pun. "Bagus! Seperti yang diharapkan dari primadona kelas kita!" Tiara sangat antusias langsung menulis nama Laras ke bagian yang ikut lomba lari estafet untuk pelari keempat. Jika ada seseorang yang ingin maju dan menerima beban, maka Tiara sama sekali tidak akan menolaknya. Rena terkekeh di samping, ikut mendaftar ke lari estafet bersama Laras. "Aku pelari ketiga," katanya. "Voli bagaimana?" Tiara bertanya, penanya sama sekali menolak untuk menyentuh kertas. Rena sangat pandai bermain bola voli, jika kelas mereka memiliki kesempatan menang maka Tiara tidak akan melepaskan kesempatan itu. "Ya, dengan voli putri juga. Jika ada posisi lomba olahraga yang kosong dan tidak bertentang dengan waktu kedua lomba itu, masukkan saja namaku." Rena berkata dengan santai. Tiara merasa terharu hingga memiliki keinginan menangis sembari memeluk kaki Rena kuat-kuat. Inilah teman sekelas yang dibutuhkan! Tidak seperti yang lain yang sangat sulit untuk diajak bergabung ke lomba. Bagaimana pun tugas mendaftarkan para murid ikut lomba jatuh ke tangan para perwakilan kelas, sehingga mereka selalu menampilkan kemampuan membujuk mereka setiap berakhirnya ujian semester. "Ayo makan, aku lapar setelah ujian." Laras menarik Rena keluar dari kerumunan. Membawanya ke pintu kelas. "Makan cilok," saran Rena, tanpa menunggu jawaban Laras, dia langsung memimpin jalan. Laras mengernyit tidak puas, "Itu kan tidak higenis sama sekali." "Bodoh amat, kamu makan saja makanan rumah sakit, terjamin higenis." kata Rena dengan malas. Meski mengeluh, Laras tetap ikut bersama Rena untuk membeli cilok yang dijual di depan gerbang sekolah. Eskpresi enggan langsung surut digantikan dengan ekspresi kepuasan saat memakan cilok. "Lumayan lah, aku akan meminta bi Ina untuk membuat ini." "Aku pikir sebelumnya ada orang yang mengeluh ketika aku ajak makan di sini," sindir Rena sembari memutar matanya. Laras terkikik, dengan cerdik mengubah topik pembicaraan. "Kenapa kamu repot-repot ikut banyak lomba olahraga?" Rena memikirkannya dan tertawa rendah, "Aku kasihan sama mereka, sebelumnya aku juga pernah jadi sekretaris kelas. Sebagai kawan yang pernah melalui nasib yang sama, aku mencoba untuk membantu," katanya dengan geli. "Hooh, kasihan, karena itu aku tidak pernah mau jadi perwakilan kelas." Laras menusuk cilok bulat dengan tusuk sate. "Mengurus kelas dan para murid, ckck, bukankah itu hal yang hanya dimiliki orang sabar?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD