Emosi Sementara

1554 Words
Rena sangat terkejut ketika melihat Laras kembali ke kelas dengan mata merah. Dia melihat gadis itu duduk di bangkunya lalu membenamkan kepalanya di atas meja. "Kamu kenapa?" tanya Rena dengan hati-hati, sedikit rasa heran muncul di hatinya. Bukankah Laras baru saja pergi untuk mengantarkan nasi goreng kepada Kevin? Jika menurut kebiasaan sehari-hari, maka seharusnya Laras belum kembali ke kelas saat ini dan masih dengan senang hati terus menempel dengan Kevin seperti prangko. Tetapi kenapa saat ini gadis itu kembali begitu cepat? Dan juga, dengan mata merah dan ekspresi wajah sedih. "Apakah Kevin mengatakan nasi gorengmu tidak enak?" Rena mencoba menebak-nebak sendiri ketika Laras tidak juga menjawabnya. Berpikir bahwa tebakannya kemungkinan besar benar, Rena segera menghela napas panjang dan mencoba menghibur gadis itu. "Jangan seperti ini, besok kamu bisa memasak nasi goreng lagi dan aku bisa membantumu. Meski aku mungkin jarang memasak sama sepertimu, setidaknya aku bisa mencicipi masakanmu." Laras mengangkat kepalanya, mata merahnya melotot marah kepada Rena. "Tidak akan ada lagi nasi goreng!" serunya kesal, dia menyeka kasar matanya, sangat kesal dengan dirinya yang saat ini tidak bisa menahan air mata untuk turun. "Kenapa? Apakah Kevin mengkritik nasi gorengmu sangat kasar?" Rena mengerutkan keningnya, tiba-tiba kebenciannya pada Kevin bertambah pesat. Laras yang tidak pernah memasak sudah berusaha untuk membuatkannya nasi goreng, apakah akan membunuhnya jika dia memuji makanan itu sedikit saja? Lagi pula Rena sangat tahu bahwa Laras tipe orang yang dipuji sedikit, terbangnya selangit. Namun jawaban Laras lebih mengejutkan Rena. "Kevin tidak memakannya," kata Laras pelan, "kotak makananku jatuh." "Kenapa bisa?!" tanya Rena dengan kaget. Laras menekan kedua bibirnya hingga membentuk garis lurus, dia sama sekali tidak ingin mengingatnya lagi. "Baiklah, kamu tidak perlu menjawabnya. Kamu masih bisa membuat nasi goreng yang baru besok," kata Rena, menepuk pundak temannya untuk memberikan ketenangan. Laras menggelengkan kepalanya dengan tegas, matanya terkulai rendah ketika dia berkata dengan suara kecil seperti bisikan, "Biarkan saja, aku lelah." Meski Rena tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dia yakin bahwa hal ini tidak sesederhana bekal makanan yang jatuh. Pasti ada hal lain yang lebih besar yang membuat Laras bertindak dan berkata seperti ini. Teman yang baik tahu kapan harus bicara dan diam, Rena tidak lagi mengatakan apa-apa dan membiarkan Laras termenung sendiri untuk menenangkan dirinya. Ketika pulang ke rumah, Laras meletakkan makanan yang dia beli dari luar di atas meja. Di sekolah, bi Ina mengirim pesan untuk meminta cuti dengan alasan anaknya sedang sakit sehingga tidak bisa memasakkan makan siang untuk Laras. Laras menghela napas, berganti baju dan segera ke dapur untuk mengambil peralatan makan. Langkah kakinya berhenti di pintu dapur, melihat kekacauan di pagi hari yang belum dibersihkan membuat suasana hatinya kembali menjadi buruk. Dia mengambil piring dan sendok, lalu segera keluar dari dapur, enggan berlama-lama untuk mengingat kebodohannya. "Ya, terus kenapa? Kevin lebih percaya dengan Tania daripada denganku, jadi biarkan saja dia bersama Tania. Jika ada masalah atau hal buruk terjadi padanya, itu bukan masalahku!" omel Laras sembari mendengus keras. "Dasar, Kevin bodoh!" Terengah-engah oleh amarahnya, Laras mencubit daging ayam bakar seolah sedang menganiaya Kevin. "Mati kamu, mati kamu, mati kamu," gumamnya sembari menyiksa ayam bakar tak bersalah itu. "Kamu sedang makan?" Suara Randi tiba-tiba datang dari belakangnya, Laras menjawab tanpa menoleh, "Tidak, sedang menyantet seseorang." Kemudian dia lanjut mencubit daging ayam dengan kesal, "Mati, mati, mati," gumamnya. Randi terkekeh, meletakkan semangkuk sup di sebelah piring ayam bakar. "Ibu memasak sup, makanlah." Laras mengangguk, menjauhkan piring yang menampung ayam bakar darinya dan menarik mangkuk berisi sup dengan uap panas. "Buang saja ayamnya, aku tidak mau memakan itu," pinta Laras sembari menyeruput air sup yang menyegarkan. Randi duduk di sampingnya, meraih piring yang berisi ayam bakar yang malang. Meski telah dianiaya dengan kejam, aromanya masih sangat lezat dengan daging empuk yang tampak menggoda. "Aku akan membantumu menghabisinya," kata Randi dengan tenang. Laras mengangguk tidak peduli. "Karena kamu mengambil ayamku maka sebagai bayarannya, bersihkan dapurku." "Dimana bi Ina?" tanya Randi sepintas. "Cuti, anaknya sakit, entah sakit apa." Laras menjawab acuh tak acuh, makan dengan nikmat tanpa beban pikiran lagi. Setelah makan, Laras meninggalkan mangkuk kotor di atas meja, pergi minum, dan lari ke kamarnya. Biarkan saja semua kekacauan yang dibuatnya dibereskan oleh Randi, bagaimana pun Randi adalah kakaknya, sudah tanggung jawabnya untuk merawatnya. Randi menggelengkan kepalanya melihat tingkah sembrono Laras, tetapi dia juga menghela napas lega. Dia takut Laras akan larut dengan kesedihan akibat kejadian di sekolah tadi, tetapi untung saja gadis itu tipe orang yang akan langsung meluapkan emosinya dan tidak akan membawanya terlalu lama. Terkadang karakter seperti Laras juga baik, tidak terlalu terikat dengan emosi. Tetapi kadang juga itu terlihat menyedihkan. Randi membawa alat makan yang kotor ke dapur, segera bertemu dengan kekacauan yang dibuat Laras. Awalnya dia pikir membersihkan dapur hanya sekedar menyeka hal-hal. Tetapi melihat situasinya, tampaknya inilah alasan mengapa orang seperti Laras yang tidak peduli dengan kebersihan memintanya untuk membersihkan. Di dapur, semua alat masak berhamburan kemana-mana. Ada juga daun bawang, kulit bawang merah dan bawang putih yang tersebar di lantai. Randi terdiam selama beberapa saat sebelum menghela napas dan mulai membersihkan hal-hal kacau ini. Ketika Randi sedang disibukkan untuk membersihkan dapur, Laras telah naik di atas tempat tidurnya dan tenggelam dalam mimpi dengan cepat. Seperti kata Randi, Laras tidak begitu tenggelam dengan emosinya sendiri. Ketika dia kesal atau sedih, dia akan langsung melampiaskan semuanya. Setelah itu, semuanya kembali seperti semula. Cinta dan bencinya begitu mudah terlihat dan tidak disembunyikan. Ketika dia bangun, sudah sore hari. Laras dengan linglung berjalan ke sofa di ruang tengah sembari menggaruk kepalanya dan menemukan bahwa Randi masih ada di rumahnya. "Rumahku bukan tempat untuk belajar, pergilah," kata Laras mendelik jijik melihat Randi yang kini sedang membaca buku di sofa. Randi sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata Laras, dia melirik gadis yang wajahnya masih sembab akibat baru bangun tidur dengan rambut yang berantakan dan memutar matanya malas. "Kamu harus belajar dengan giat, Senin depan sudah mulai ujian, jangan terlalu santai seperti ini." "Apaan sih, kalau mau belajar ya belajar aja sendiri. Adikmu ini sedang patah hati, hatinya retak dan hancur menjadi serpihan kecil yang tak bisa lagi diperbaiki. Apa itu belajar? Adikmu ini tidak ingin tahu kata itu sama sekali." Laras menjatuhkan dirinya di atas sofa, mengambil remote dan menyalakan televisi. Randi tertawa rendah ketika mendengar kata-kata Laras. Dia dengan sengaja menatap gadis itu dan bertanya, "Jadi apakah kamu masih menyukai Kevin?" "Siapa itu Kevin? Apakah aku mengenalnya?" tanya Laras dengan ketus, pandangannya tidak pindah dari layar televisi. "Oh, dia adalah pangeran sekolah dan adikku sangat menyukainya. Aku pikir kamu mengenalnya," kata Randi, mengikuti permainan kata-kata Laras. "Adikmu tidak suka!" seru Laras tegas, matanya yang bulat melotot lebar sebagai bentuk ancaman yang sama sekali tidak mengancam. "Um," gumam Randi dengan lembut, "baiklah, adikku tidak suka." "Bagus kalau kamu tahu," Laras memutar matanya, menguap malas dan menonton acara di televisi yang tampak menarik. Randi tersenyum kecil, bangkit dari sofa dan mengacak rambut Laras menjadi lebih berantakan. "Aku pergi," katanya sebelum melangkah menjauh. Laras langsung meraih bantal sofa dan melemparkannya ke Randi. "Enyah," katanya dengan kesal. Randi menghindar dan tertawa puas sebelum suara dan keberadaannya lenyap di balik pintu. Keesokan harinya, Laras dibangunkan oleh alarm. Dia mengerutkan keningnya, bangkit untuk mematikan alarm lalu melihat waktu yang masih sangat dini. Oh masih pagi, untuk apa dia bergegas cepat-cepat? Laras hanya membutuhkan sepuluh detik untuk menatap waktu di ponselnya sebelum kembali jatuh ke tempat tidur dan menikmati indahnya mimpi. Benar saja, tanpa mengejar seseorang, dia bisa hidup nyaman tanpa gangguan. Seperti biasa, Laras datang ke sekolah ketika bel istirahat akan berbunyi, dia hampir saja telat karena tidak ada alarm yang membangunkannya untuk tidur keduanya. Dia langsung duduk di tempatnya, mencuri roti yang berada di atas meja Rena dan memakannya dengan rakus. "Hei, apakah kamu tidak malu mengambilnya di depan pemiliknya langsung?" tanya Rena kesal. Laras tersenyum sinis, "Apakah aku tipe orang yang akan mengambil sesuatu di belakang pemiliknya?" Rena berpikir dan memang lebih buruk mengambil barang di belakang pemiliknya, jadi tindakan Laras masih dalam batas toleransinya. Fokusnya langsung pindah ke sikap gadis itu yang tampak sama seperti biasanya. "Kamu tidak sedih lagi?" tanya Rena dengan nada sindiran. Laras membuka bungkus roti dan memakannya, mendengar pertanyaan Rena, dia dengan malas menggelengkan kepalanya. "Sedih? Kapan aku sedih? Hidupku penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan, sedih sama sekali tidak masuk dalam kamusku." "Oh," Rena berkata dengan nada panjang. Kemudian dia mendekati dirinya pada Laras, dan bertanya dengan penasaran, "Kemarin apa yang terjadi padamu?" Dia sudah memendam rasa penasarannya dengan sangat baik kemarin. Karena sekarang Laras tampak lebih tenang, maka dia mengambil kesempatan itu untuk memuaskan rasa penasarannya. Laras menggigit potongan roti terakhir, lalu mengulurkan tangan ke arah Rena. "Minta roti," katanya dengan senyum licik. Rena mendengus kesal, mengambil roti dari dalam tasnya dan melemparkannya kepada Laras. "Ceritakan sekarang!" "Baiklah," kata Laras segera membuka bungkus roti dan memulai ronde baru memakan roti sembari bercerita dengan tenang seolah karakter utama dalam ceritanya bukanlah dirinya. "Kemarin ketika aku mengantarkan nasi goreng, aku tanpa sengaja mendengar Tania sedang menelepon dengan seseorang. Meski tidak terlalu jelas, aku mendengarnya mengatakan bahwa dia ... intinya dia menipu Kevin. Aku mengatakannya kepada Kevin, tetapi Kevin lebih percaya dengan gadis ular itu daripada denganku. Kevin bahkan menepis tanganku, membuat kotak makananku jatuh." Rena mendengarkannya dan emosinya langsung melonjak, "Seharusnya kemarin aku ikut bersamamu! Tontonan yang bagus itu, kenapa tidak mengajakku?" "Heh, kemana fokusmu pergi?" Laras melotot kepada Rena, merasa kesal dengan teman yang tak bisa diandalkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD