Menulis Surat Cinta

1661 Words
Laras meletakkan tas belanjaannya ke atas meja di ruang tengah dan segera berlari ke kamar untuk berganti pakaiannya. Dia bergerak tergesa-gesa, sehingga tak butuh waktu lama dia kembali ke ruang tengah, duduk di lantai di depan meja dan mulai memikirkan kata-kata indah apa yang akan dia tulis sehingga dapat meluluhkan hati es pangeran sekolah. Laras membuka plastik kertas binder yang satu pak terdiri dari 25 kertas. Dia mengambil satu dan mulai menulis dengan sangat hati-hati. "Dear Kevin, cintaku." Dia bergumam sembari menulis apa yang dikatakannya. Tinta merah muda mengguratkan kata demi kata dengan perlahan di lembaran kertas putih. Setiap huruf yang tercipta membutuhkan usaha dan kewaspadaan yang ketat sehingga membuat tubuh Laras menegang. Ketika dia melihat ada huruf yang miring mengganggu pemandangan, dia segera meremas kertas dan membuangnya. Lalu dia mengambil kertas baru dan mulai menulis kembali. "Dear Kevin, cintaku," gumamnya lagi, kembali menulis kalimat yang sama dengan lebih berhati-hati. Setelah bagian penerima selesai ditulis, Laras menghela napas lega dan tersenyum bahagia. "Nona, saya sudah selesai masak. Apakah Nona Laras akan langsung makan?" Laras baru saja mulai membuat guratan baru tetapi tersentak oleh pertanyaan yang tiba-tiba diajukan itu. Dia melihat huruf yang memiliki ekor berlebihan di kertas dengan cemberut, lalu menoleh ke samping melotot pada pembantu rumah tangga— bi Ina dengan marah. "Bi, aku sedang nulis surat cinta! Jangan ganggu dulu ih!" serunya kesal. Bi Ina tersenyum kecil, dia mengangguk lembut dan kembali bertanya dengan hati-hati. "Jadi Nona mau makan sekarang atau tidak?" tanyanya lagi. "Tidak, aku pantang makan sebelum surat cintaku selesai," tekad Laras dengan semangat berkobar. Kemudian dia segera menambahkan sebelum bi Ina kembali ke dapur, "Oh iya, kalau cuman kripik dan biskuit tidak masalah. Bawa kemari," pintanya. Dia kemudian mengambil kertas binder baru lagi, mulai menulis dengan sangat perlahan dan hati-hati. Melihat satu baris tulisan di kertas, Laras merasa takjub pada dirinya sendiri. Selama ini dia tidak pernah memiliki tulisan sebagus ini, sebelumnya tulisannya sangat berantakan dan membuatnya sendiri malas untuk membaca buku catatannya. Tetapi sekarang, meski tulisannya belum sebagus milik Rena, setidaknya itu sangat rapi. Bi Ina membawa toples isi biskuit dan jus jeruk dingin ke sisi Laras, "Bibi pulang dulu ya, Non. Makanan sudah ada di meja makan, kalau Nona Laras mau makan, nanti tinggal panaskan saja." Laras mengangguk acuh tak acuh, berpikir keras apa yang akan dia tulis. "Ini sangat susah," desahnya sembari menghela napas berat. Ketika dia mengatakan kata-kata cinta kepada Kevin, itu mengalir begitu saja dari mulutnya. Tetapi ketika dia ingin menulis surat cinta, dia seolah kekurangan kata-kata, tidak ada satu pun ide melintas di otaknya. Laras menggaruk kepalanya dengan kepala pena yang ada di tangannya, merasa kesulitan namun pantang berselancar ke internet untuk mencari bantuan. Jika dia melihat contoh kata-kata cinta di internet, itu akan membuat kata-kata cinta yang ditulisnya tidak murni dari hatinya lagi. Jadi Laras dengan sangat ketat melarang dirinya mencari jalan pintas, benar-benar sangat disiplin daripada ketika dia mengerjakan ujian semester. Laras bersandar ke belakang di sofa, menutup matanya mulai mencari ide untuk waktu yang lama. Beberapa ide muncul di kepalanya, dia langsung kembali menulis di lembaran kertas putih yang memiliki corak hati transparan yang tersebar. Setiap selesai menulis satu kalimat, Laras menghabiskan waktu sepuluh menit untuk berpikir dan melanjutkan menulis kalimat berikutnya. Dia sangat fokus dan serius, sehingga tidak sadar bahwa seseorang telah berada di sampingnya untuk waktu yang tidak diketahui. Ketika dia mendengar suara benda jatuh di dekatnya, tangannya tanpa sadar menarik pena membuat garis panjang di kertas. Dia melebarkan matanya dengan ekspresi tak percaya yang berlebihan, lalu menoleh untuk menemukan Randi sedang mengambil sesuatu yang tidak ingin dia ketahui namanya dari lantai. "Kamu, kamu, kamu, kamu," Laras menunjuk ke arah Randi lalu ke arah kertas yang telah tertulis lima hingga enam kalimat cinta. Dia terus mengulangi kata 'kamu' untuk waktu yang lama sebelum berteriak dengan marah, "Kamu mengacaukan surat cintaku!" serunya frustrasi. "Maaf," kata Randi tulus, memasukkan kunci motor yang tanpa sengaja jatuh ke dalam sakunya. "Kamu bisa lanjutkan, kali ini aku tidak akan mengganggu." Laras melotot marah, "Aku membutuhkan perjuangan yang besar untuk semua ini, kamu harus tanggung jawab!" Randi melirik ke arah kertas yang telah tertulis beberapa baris saja, lalu mengangguk tenang. "Aku akan menuliskannya untukmu," katanya sembari mengulurkan tangan ingin meraih pena dari tangan Laras. Laras segera memindahkan tangannya menjauh dari Randi, dia menggelengkan kepalanya kuat. "Tidak perlu, ini surat cinta. Tidak akan ada artinya jika ditulis oleh orang lain. Meski tulisanmu lebih bagus dariku, pokoknya harus aku yang menulisnya." Randi mengetahui sifat keras kepala adik sepupunya itu sehingga dia tidak membantahnya. Dia hanya mengangguk dan berkata dengan tenang, "Sudah jam segini, aku pergi ke meja makan dan lihat kamu belum makan. Hentikan sebentar dulu dan makan, lanjutkan ini nanti." "Tidak, aku tidak akan makan sebelum surat ini selesai," kata Laras dengan sungguh-sungguh, tatapannya memiliki tekad yang kuat yang tidak mudah diruntuhkan begitu saja dengan godaan makanan. Randi memutar matanya. "Aku tanya, sudah berapa lama kamu menulis surat itu?" Laras mengerutkan kening, dia menyalakan layar ponselnya untuk melihat waktu dan menjawab, "Dua jam setengah." "Kamu sudah menulis selama dua setengah jam dan baru mendapatkan enam kalimat?" Randi menggelengkan kepalanya dan menghela napas dengan sengaja. "Ya, terus kenapa?" tanya Laras kesal dengan sikap Randi yang tampak meremehkannya. "Jika kamu hanya ingin mengejekku, maka pergi dari sini!" "Diam dan dengarkan aku," kata Randi menekan dahi Laras dengan jari telunjuknya untuk menghentikan sikap agresif gadis itu. "Alasan kenapa kamu menghabiskan banyak waktu tetapi tidak memiliki ide untuk menulis, itu karena kamu saat ini lapar. Lapar akan mempengaruhi proses berpikir otakmu sehingga konsetrasimu akan menurun yang membuatmu tidak dapat menyelesaikan ini dengan cepat. Jika kamu teruskan, maka sampai malam pun kamu akan terus duduk disini tanpa ide apa pun." Mendengar kata-kata Randi, Laras menjadi dilema. Dia berpikir keras sembari menatap cemas ke lembaran kertas bindernya, lalu mengangguk tanda kalah. "Baiklah, aku mau makan. Apakah kamu sudah memanaskan makanannya?" tanya Laras segera meletakkan penanya dengan hati-hati di sisi kertas bindernya. Memastikan alat perangnya tidak akan hilang sebelum mengulurkan kedua tangannya pada Randi. Randi bergumam singkat, membantu gadis malas itu berdiri dan mendorongnya ke meja makan. "Kenapa kamu tiba-tiba berpikir untuk membuat surat?" tanya Randi sembari menyendokkan nasi ke piring Laras beserta lauk pauknya. Awalnya Laras tidak merasa lapar, tetapi setelah duduk di depan meja makan dan menghirup aroma makanan, perutnya baru bereaksi. Dia segera sadar bahwa dia sangat lapar, sehingga tidak sabar dengan Randi yang begitu lambat menggerakkan tangannya mengambilkannya makanan. "Aku mencari di internet dan menemukan menulis surat cinta sangat populer. Jadi ya, kenapa aku tidak coba saja? Mungkin saja dengan surat cintaku, Kevin akan jatuh hati padaku." Laras terkikik senang, mengambil piring yang penuh dengan makanan dari Randi lalu makan dengan nikmat. "Makan pelan-pelan," tegur Randi, tatapannya mengawasi gadis di sampingnya. Laras tidak peduli, dia masih dengan senang hati bercerita tentang surat cintanya kepada kakaknya. "Aku akan memberikan surat cintaku diam-diam ke dalam tas Kevin, jadi Kevin tidak akan sadar sampai dia memeriksa tasnya." Dia memikirkannya dan tertawa geli, "Kevin pasti terkejut," lanjutnya. "Bagaimana caramu meletakkan surat itu?" tanya Randi dengan penasaran. Laras belum memikirkannya sehingga dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pipinya menggembung terisi makanan dalam proses pengunyahan yang lambat sembari berpikir. "Mungkin aku akan menyusup diam-diam ke kelas kalian?" dia berkata dengan nada bertanya, sedikit tidak yakin dengan idenya sendiri. "Kamu pikir kamu bisa diam-diam meletakkan surat itu tanpa ketahuan seorang pun di kelas?" Randi segera membangunkan Laras ke realita yang kejam. Laras mengerutkan keningnya dalam, makan dalam diam sembari terus memikirkan berbagai rencana di kepalanya. "Apakah kamu ingin aku membantu?" tawar Randi, tidak tahan melihat adiknya memasang wajah linglung. Laras menggelengkan kepalanya tegas, "Tidak boleh! Surat cinta itu hanya harus diserahkan dariku secara langsung. Jika tidak, maka ketulusanku akan dipertanyakan." "Lalu bagaimana kamu akan mengatasinya?" Randi menambahkan sayur ke piring Laras dengan tenang tanpa gadis itu menyadarinya. "Oh aku tahu!" seru Laras dengan antusias. Dia menoleh ke Randi dan membagikan idenya dengan bangga. "Aku tidak akan memasukkan surat itu ke dalam tas Kevin, tetapi di dalam laci meja Kevin! Besok aku akan datang pagi sekali ke sekolah sebelum siapa pun di kelasmu hadir dan secara diam-diam meletakkan surat itu di laci Kevin. Bukankah aku pintar?" Randi bergumam panjang dan mengacak rambut Laras. "Ya, kamu sangat pintar." "Hehe, tentu saja." Laras menerima pujian itu dengan senang hati dan makan dalam suasana hati yang bahagia. Besoknya, dia dibangunkan oleh suara alarm yang menggelegar. Laras berguling-guling di tempat tidur, berseru kesal untuk waktu yang lama tetapi suara bising itu tidak juga berhenti. Akhirnya dia merasa tidak tahan lagi, telinga terasa akan meledak sehingga dia membuka matanya berniat mencari sumber suara untuk memusnahkannya. Laras meraih ponselnya yang bergetar di meja kecil samping tempat tidur. Matanya menyipit melihat ke layar dan segera kesadarannya kembali pulih ketika melihat kata-kata pengingat di layar. [Bangun! Saatnya mengirim surat cinta ke Kevin!] Dia langsung menghela napas lega karena tidak lanjut tidur setelah mematikan alarm dan langsung keluar dari zona nyaman tempat tidur. Jangan sampai dia tergoda untuk tidur dan melupakan misi pentingnya pagi ini. Laras mandi dengan terburu-buru dan keluar dengan tubuh meringkuk menggigil di balik handuk tebal. Dia buru-buru memakai perawatan tubuhnya dan mengenakan seragam dengan rapi. Merasa dirinya sudah cantik dan indah, Laras mengambil tasnya, tidak lupa memasukkan amplop kecil merah muda ke dalam tasnya terlebih dahulu. Dia terkikik bahagia, keluar dari rumah sembari membuka aplikasi taksi online ingin segera memesan taksi. Suara klakson yang panjang mengagetkan Laras, dia mengangkat pandangannya dan melihat di pekarangan rumah tetangga alias rumah bibinya, seorang pemuda duduk di atas motor dengan pandangan tertuju kepadanya. "Hah? Ngapain kamu pergi cepat?" Laras bertanya heran, melangkah mendekat ke arah Randi— kakak sepupunya. Meski Randi memang suka datang kepagian, tetapi itu tidak mungkin baginya datang di pagi buta seperti ini. Randi memutar matanya, menyerahkan helm kepada Laras dan memberi isyarat dengan dagunya. "Naik," katanya yang langsung menyalakan mesin motor. Laras segera memakai helm dan naik ke atas motor tanpa menunda. Dia melihat ke punggung kakak sepupunya dan terkikik bisu. Kakaknya— Randi memang yang terbaik!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD