Rencana Surat Cinta

1626 Words
Laras menghentikan langkahnya di depan kantin, kepalanya terulur ke dalam untuk mengamati apakah Kevin sudah di dalam atau belum. Ketika dia melihat tiga pemuda yang familiar dan salah satu dari mereka adalah pujaan hatinya, Laras menjadi semangat. Dia memperbaiki rambut panjangnya, mengeluarkan senyuman yang menggoda dan melangkah dengan tenang mendekati Kevin. "Kevin," panggil Laras dengan pelan namun jelas. Kedua matanya berbinar, menatap lurus ke Kevin tanpa merasa terganggu dengan orang-orang di sekitarnya yang mengamatinya. Kevin menoleh ke belakang, melihat Laras dengan senyumannya yang khas, dia entah kenapa merasa kepalanya tiba-tiba pusing. Dia tidak ingin menanggapi sama sekali, tetapi mengingat temannya— Randi yang susah payah meluangkan waktu berbicara untuk gadis itu, Kevin akhirnya tidak begitu dingin mengabaikan Laras. Dia bergumam singkat dan kembali mengobrol dengan Wawan dan Dion. Meski sikap Kevin masih bisa dikategorikan cuek, tetapi Laras sudah sangat bahagia sehingga senyumannya melebar. "Tunggu dulu, aku akan beli makanan," katanya dengan girang dan kemudian berjalan cepat membeli nasi goreng dari ibu kantin. Wawan bersiul panjang, "Aku kira kamu akan menjauh darinya," katanya sembari menatap usil pada Kevin. "Iya, bukankah kemarin kamu terlihat sangat marah?" Dion mengangguk, mengikuti kata-kata Wawan. Kevin memutar garpu di atas piring untuk menjerat beberapa helai mie. Mendengar ucapan kedua temannya, dia menghela napas berat. "Hanya karena aku menghargai persahabatan dengan Randi," katanya. "Randi memintamu untuk menerima perasaan adiknya?" tanya Wawan merasa sedikit takjub, tetapi memikirkannya, dia tidak begitu terkejut lagi. "Ya, bagaimana pun Randi memang sangat baik pada adiknya." Kevin menggelengkan kepalanya, melirik sedikit ke Laras yang masih menunggu makanannya untuk disiapkan. "Tidak, Randi hanya memintaku memaafkannya. Dia bukan tipe orang yang akan memaksakan perasaan orang lain. Dua kakak adik sepupu itu sangat berbeda." Dion juga mengikuti tatapan Kevin, melihat ke arah gadis yang langsing dan lembut, cantik dan indah membuatnya terpana beberapa saat. "Aku rasa Laras oke oke saja, kenapa tidak menerimanya? Jika aku jadi kamu, sudah lama gadis itu jadi pacarku," katanya penuh penyesalan. "Tidak tertarik," jawab Kevin dengan sederhana. "Berhenti bahas ini, dia sudah kemari." Laras duduk di sebelah kanan Kevin, melihat makanan di atas piring Kevin, dia segera mengambil telur goreng dari piringnya dan menyerahkannya ke piring pujaan hatinya itu. "Tidak perlu," kata Kevin ingin menolak. Laras tersenyum centil, "Tidak apa-apa, biar kamu makan sedikit lebih lama lagi untuk menemaniku." Melihat Kevin tampaknya masih ingin mengembalikan telurnya, Laras melanjutkan ucapannya. "Aku bahkan telah memberimu hatiku, jadi hanya telur goreng yang harganya tak kurang dari lima ribu bahkan tidak sebanding." Kevin akhirnya menyerah untuk memperdebatkan hal kecil dengan Laras, dia kembali makan dan terus membalas ucapan teman-temannya. Namun setiap saat dia selalu bisa merasakan tatapan antusias dan semangat dari sampingnya. Kevin berusaha untuk mengabaikan tatapan yang terang-terangan itu, namun dia semakin tidak nyaman Merasa tidak berdaya, Kevin akhirnya menoleh ke arah Laras. "Makan, apakah menatapku membuatmu kenyang?" tanyanya sedikit kesal. Laras terkikik, mengangguk dengan antusias. "Hatiku kenyang," jawabnya tanpa berpikir sedikit pun. Kevin tersedak oleh jawabannya, Wawan dan Dion tertawa dengan keras. "Bagus Laras," puji Wawan memberikan dua jempolnya kepada Laras. Laras mengangguk bangga. Dia memakan nasi gorengnya beberapa suap tetapi tidak kuasa menahan diri untuk terus bicara dengan Kevin. "Vin, kamu suka tidak kado pemberianku?" Kevin bahkan tidak ingat apa isi dari kado Laras, tetapi tidak baik untuk menanyakannya sehingga dia hanya mengangguk asal. "Suka," jawabnya tanpa minat sedikit pun. Mata Laras bersinar terang, merasa sangat lega mendengar jawaban itu. Tidak sia-sia uang jajan bulanannya dikorbankan demi memberi Kevin kado. Jika pemuda pemilik hatinya suka, maka Laras bahkan rela menghabiskan uang tahunannya. Lagi pula jika dia tidak punya uang akhirnya, dia masih bisa menjadi beban keluarga Randi. "Bagus! Jika kamu suka, maka kamu pakai saja. Aku memilihnya lama sebelum membelinya, dan itu benar-benar limited edition. Wawan dan Dion tidak akan bisa membelinya," kata Laras dengan bersungguh-sungguh. Wawan dan Dion yang tersenggol langsung melebarkan matanya dengan tatapan tidak percaya. "Apa yang kamu berikan pada Kevin? Aku pasti bisa membelinya juga, sebutkan saja." Wawan tidak terima diremehkan dan segera ingin menunjukkan harta kekayaannya. Laras tersenyum jail, "Jam tangan XX versi Black and Silver," jawabnya dengan dagu terangkat menantang. Wawan langsung kicep, dia dengan tulus mundur perlahan. "Harga satu jam tangan itu sama dengan harga seratus jam tangan yang aku gunakan sekarang, aku tidak berani lagi menandingimu." Kevin juga terkejut dengan jawaban Laras. Dia belum membuka semua kado yang didapatkan dari pesta sebelumnya, sehingga dia tidak tahu ada barang mahal seperti itu di salah satu hadiah yang diberikan kepadanya. "Kamu tidak perlu mengeluarkan banyak uang hanya untuk memberi hadiah," kata Kevin, merasa tidak nyaman. Laras takut Kevin akan mengembalikan hadiah pemberiannya sehingga dia cepat-cepat berkata, "Aku tidak mengeluarkan banyak uang sama sekali kok, hanya sedikit uang. Lagi pula aku memiliki banyak sumber uang setiap bulan." "Laras, apakah kamu memiliki hati nurani ketika mengatakan itu?" tanya Wawan dengan ekspresi terpana, "Pikirkan perasaan kami ketika kamu mengatakan harga jam tangan itu hanya mengeluarkan sedikit uang." Laras tidak memedulikan keluhan Wawan, dia berkedip cepat menatap Kevin. "Jam tangan itu tidak berharga sama sekali, tetapi akan menjadi berharga jika kamu memakainya. Jadi jangan menolaknya, oke?" Kevin tidak tahu bagaimana menjawab kata-kata Laras, dan juga tidak baik untuk menolak hadiah orang lain. Dia mengangguk pelan namun tetap memberi ketegasan. "Lain kali jangan memberi hadiah mahal seperti itu." Lain kali? Fokus Laras membelok ke kata lain dengan maksud tersembunyi. Dari kata-kata pemuda itu, bukankah itu berarti Kevin secara tidak langsung mengundangnya ke pesta ulang tahunnya yang berikutnya? Begitu mudah untuk membuat Laras bahagia, sehingga selama makan di kantin dia sangat berbunga-bunga. Bahkan nasi goreng yang tidak diberi gula terasa sangat manis di lidahnya. Terlebih lagi tidak ada Tania yang mengganggu pemandangan. Ketika bel masuk berbunyi, Laras merasa sangat enggan. Dia berjalan ke luar dari kantin dengan terus melekat di sisi Kevin. Ketika harus menghadapi perbedaan jalur, Laras menghentikan langkahnya, menatap ke arah Kevin yang semakin menjauh darinya. Sangat jarang dia begitu bisa bahagia tanpa kendala, jadi sangat mengecewakan semua berakhir begitu saja. Kembali ke kelas, Laras masih dalam suasana hati yang baik. Selama pelajaran berlangsung, dia secara diam-diam mengeluarkan ponselnya dan mencari trik-trik mendekati pujaan hati lewat internet. "Surat cinta?" bacanya dengan hati-hati, seolah baru saja menemukan jurus sakti yang kuat. Rena yang sedang mencatat di sampingnya segera menoleh, "Apa lagi yang kamu mau lakukan?" "Menulis surat cinta untuk Kevin!" jawab Laras antusias. "Bukankah itu romantis? Aku akan memikirkan kata-kata indah dan menulisnya dengan cantik di kertas merah muda lalu secara diam-diam meletakkannya di dalam tas Kevin." Rena sangat skeptis dengan rencana Laras, "Untuk apa kamu menulisnya, bukankah kamu selalu mengatakannya secara langsung?" Laras berdecak lidah meremehkan. "Apa yang kamu ketahui? Ini namanya reformasi cinta! Jika aku terus melakukan hal yang sama, maka tidak akan ada peningkatan sama sekali. Pokoknya aku harus meng-upgrade caraku mendekati Kevin." "Laras daripada kamu ngobrol terus, lebih baik berdiri dan jelaskan kembali apa yang Ibu katakan." Suara guru terdengar lantang memotong jalur romantis dalam pikiran Laras. Laras langsung panik. Pulang sekolah, Laras menarik Rena ke toko alat tulis, dia dengan gembira mencari pena dan kertas serta amplop untuk surat cintanya. "Kamu tidak bisa merobek kertas dari bukumu saja?" tanya Rena dengan kesal. "Kalau pena aku punya banyak, tinta hitam atau biru aku bisa pinjami ke kamu." Laras memukul lengan Rena dengan gemas. "Ini surat cinta bukan surat teror, diam dan bantu saja aku pilih kertas yang manis dan cantik." "Kertas yang manis, emang kertasnya kamu jilatin. Bagaimana aku bisa tahu itu manis atau tidak?" omel Rena namun masih patuh melihat-lihat ke kanan dan ke kiri. "Eh, ini cantik bangat!" Laras memegang kertas binder di tangannya yang berwarna biru dengan gambar boneka beruang. Rena mengangguk setuju, "Iya imut," dukungnya. Namun Laras meletakkan kembali sebungkus kertas binder tersebut. Dia menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Ini surat cinta, harus yang romantis." "Itu bagus kok," Rena mengambil kertas binder yang baru saja diletakkan Laras. Laras merebutnya dan meletakkannya kembali, "Tidak, kita harus mencari yang berwarna merah muda seperti hatiku saat ini." "Harus bangat ya merah muda?" tanya Rena kesal, mengambil kembali kertas binder dari rak. "Harus pakai bangat, ya sudah sih, jangan diambil lagi!" Laras mengulurkan tangannya ingin mengembalikan kertas binder yang malang kembali ke tempatnya. "Aku mau beli ini! Kamu cari saja sana yang warna merah muda," kata Rena menghindari tangan nakal Laras. Laras mendelik, berbalik dan dengan serius kembali memperhatikan berbagai gaya dan warna kertas binder yang dipajang di rak. Dia mengambil dua set kertas binder dengan warna merah muda tetapi memiliki desain gambar yang berbeda untuk ditunjukkan ke Rena. "Keduanya bagus, aku tidak bisa pilih. Coba kamu bantu aku," katanya. Rena menatap kedua kertas binder tersebut, dan menunjuk yang dipegang di tangan kanan Laras. "Itu," pilihnya. "Ini?" Laras bertanya kembali dengan ragu, lalu melihat ke kertas binder lainnya. "Tetapi yang ini cantik, lihat deh ada gambar dua hati gitu. Yang hati kecil itu aku, yang hati besar itu Kevin." "Ya pilih sesukamu saja!" sergah Rena kesal. "Setiap nyuruh pilih, selalu saja nolak." Laras meletakkan kertas binder yang memiliki gambar dua hati dan memilih satu set kertas binder yang ditunjuk Rena. "Aku pilih yang ini! Gitu aja ngambek," cibirnya. Kemudian dia menarik Rena ke rak yang memajang macam-macam pena dengan warna dan bentuk tinta yang berbeda. Mata Laras langsung menangkap pena berwarna merah muda yang ramping dan indah. "Ini, ini, ini! Bagus kan?" tanyanya menunjukkan pena itu kepada Rena. Rena diam dan menggelengkan kepala, "Kertasnya warna merah muda, tintanya warna merah muda. Warnanya nanti mati," komentarnya dengan jujur. "Tapi aku ingin pena tinta merah muda," kata Laras keras kepala memegang pena itu di tangannya, meski dia juga sedikit ragu setelah mendengar komentar Rena. "Atau kamu ganti saja kertasnya warna putih. Nanti amplopnya yang warna merah muda, kan serasi?" Rena memberikan idenya. Laras memikirkannya untuk waktu yang lama dan mengangguk, "Ya sudah beli dua kertas yang berbeda, nanti dilihat yang mana yang bagus dan yang jelek."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD