Pilih Kasih

1459 Words
"Apa yang kamu katakan pada Kevin? Apa jawaban Kevin? Dimana kamu ketemu Kevin? Dan kenapa kamu tidak ajak aku ketemu Kevin?!" Laras mengajukan pertanyaan berturut-turut dengan semangat perjuangan. Mulutnya sedikit mengembung karena makanan yang masih proses pengunyahan, namun dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mendengar kisah kakaknya. Randi duduk di sampingnya, dengan tenang menambahkan lauk pauk ke atas piring Laras. "Aku memintanya untuk memaafkanmu," katanya sembari memasukkan sayur ke piring Laras. Mendengar ucapan Randi, Laras tanpa sadar menjadi gugup. Dia memasukkan makanan lagi ke dalam mulutnya, menatap kakak sepupunya dengan fokus. "Jadi, apa tanggapan Kevin?" tanyanya hati-hati, takut menerima jawaban yang tidak memuaskan. Randi menambahkan ikan ke piring Laras, daripada menjawab, Randi malah memberi pertanyaan yang menantang. "Kenapa kamu tidak mencobanya besok dan lihat bagaimana tanggapan dia padamu?" "Ahhh jangan buat aku penasaran!" Laras menendang kaki Randi di bawah meja, melotot tajam kepada pemuda itu. "Katakan saja dih, jangan sok misterius gitu." "Dia cuman bilang aku kakak yang baik," jawab Randi, nada sombong yang langka terdengar dalam kata-katanya. Laras ingin marah tetapi tidak bisa menahan tawanya, dia terkikik dan memukul lengan Randi dengan siku kirinya. "Kepedean kamu!" ledek Laras, tidak menerima kata-kata itu. Randi menaikkan alisnya, "Jadi aku bukan kakak yang baik?" Laras tersenyum geli, makan dengan serius, berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Randi. Randi menjentikkan jarinya di kepala Laras, "Aku bukan kakak yang baik?" tanyanya lagi, tampak tidak akan puas sebelum Laras menjawabnya. Randi tidak memberi kekuatan pada jarinya, tetapi Laras sengaja bereaksi berlebihan. Dia melebarkan matanya, menepis tangan Randi dari jangkauannya. "Kekerasan, kamu melakukan kekerasan!" serunya keras, "Aku akan lapor kepada Ibu Rani dan Ayah Raka!" Randi tertawa rendah, mengusap kepala Laras dengan perlahan. "Baiklah, makan dengan baik." "Kevin benar-benar hanya mengatakan itu?" tanya Laras, masih merasa penasaran. "Iya," jawab Randi sembari memutar matanya lelah. Dia menambahkan sayur ke atas piring Laras lagi, "Makan, berhenti bicara." Laras mengangguk, menunduk dan melihat makanan di piringnya tidak habis-habis padahal dia dari tadi makan tanpa henti. "Berhenti nambahin makanan ke piringku!" Dia menggeser dirinya dan piring di depannya menjauh beberapa sentimeter dari Randi. "Kamu mau aku gendut?" tanyanya dengan menyipitkan mata curiga. Randi melirik gadis di sebelahnya, tubuhnya kecil yang terlihat rapuh seolah akan patah jika dipegang terlalu erat. "Kamu harus makan banyak, badanmu terlalu kurus." "Aku naik 10 ons gara-gara kamu! Jangan menyesatkan aku," kata Laras dengan marah, namun mulutnya tak henti untuk makan. Randi tersenyum kecil, memperhatikan gadis itu makan sembari terus menambahkan lauk secara diam-diam. Ketika di sekolah, Laras bersenandung masuk ke dalam kelas. Melihat Rena telah duduk manis di bangkunya, dia segera menyapa teman dekatnya itu. "Pagi," katanya dengan senyuman lebar. Rena menatap Laras dengan curiga, dia memperhatikan gadis itu dari atas ke bawah kemudian kembali ke atas lagi untuk menyelidiki keanehannya. Tidak juga mendapatkan petunjuk, Rena menyerah dan bertanya, "Kok kamu ceria bangat?" "Aku sedang memikirkan seribu satu cara agar Kevin mencintaiku. Tentu saja aku bahagia!" Laras terkikik senang, dia menyanggah kepalanya dengan kedua telapak tangannya dan mulai berpikir indah tentang dirinya bersama Kevin. Dia bahkan sudah merencanakan bagaimana mereka akan menikah dan memiliki 2 anak. "Secepat itu kamu kembali bahagia? Bukankah kemarin kamu patah hati dan bertingkah seolah hidupmu akan berakhir?" Rena menggelengkan kepala tidak paham, berdecak dengan keras untuk membuat Laras mendengar sindirannya. Laras berdecih, "Rena, hidup itu penuh warna, mungkin saja kemarin aku sedih, hari ini aku tentu saja bahagia. Sama seperti hubunganku dengan Kevin, mungkin saja hari ini aku yang ngejar Kevin, tetapi besok giliran Kevin yang ngejar aku." Dia tersenyum penuh bahagia, wajahnya bersinar seolah dia adalah tata surya di dalam kelas. "Pasti ada sesuatu yang kamu belum cerita padaku?" Rena menyipitkan matanya dengan curiga. "Oh, jadi kamu gini ya sekarang, udah main rahasia-rahasiaan." Rena mendengus tak puas, membuka buku dan mulai menulis dengan gusar. Ekspresi wajahnya yang kesal membuat Laras tak bisa menahan tawa geli. Laras menarik buku Rena, menjarahnya untuk menarik perhatian temannya itu. "Randi— kakakku yang tertampan dan terbaik sedunia membantuku untuk bicara kepada Kevin." "Kakakmu bicara apa sama Kevin?" tanya Rena, rasa penasarannya tertarik begitu saja. Laras berpikir panjang, dia mengerutkan keningnya lalu menggelengkan kepala. "Tidak tahu, lupa. Tidak penting apa yang mereka katakan, pokoknya Kevin tidak marah lagi sama aku." Rena kembali berdecak, "Kadang aku kasihan sama Kak Randi," katanya merebut kembali bukunya dari tangan jahil Laras. "Kasihan kenapa? Itu adalah kewajibannya sebagai kakak yang baik dan pengertian." Laras memutar matanya, membuka tas sekolahnya dan mengambil cermin serta alat riasnya untuk mulai mempercantik diri. "Ada tugas Fisika, jangan bilang aku tidak mengingatkanmu lagi," kata Rena, kembali menulis dengan tangan yang bergerak cepat. "Tugas?" Laras membeku, menatap ke arah Rena dengan pandangan bingung. "Tugas apa?" Rena tertawa sinis, mengetuk jari-jarinya di buku yang ada di depannya dan kembali mencatat dengan cepat. Laras segera mengacak isi laci mejanya, mencari buku tugas Fisika dan bergabung dengan Rena untuk menyontek pekerjaan rumah orang lain. "Kenapa tidak ingatin dari tadi? Udah mepet waktunya dih!" serunya tidak puas, menarik-narik buku Rena agar dia bisa melihat dengan jelas. Rena mendorong tangan Laras dengan sikunya, "Aku juga sedang mencatat, jangan ganggu napa dah!" "Iya, tapi kemari-kemari dikit. Aku juga mau lihat," Laras melihat ke arah buku Rena dengan tangan yang bergerak cepat, kata-kata yang tertulis dalam bukunya telah tidak dapat terbaca lagi. Tidak cukup sepuluh menit, bel masuk telah berbunyi. Sebagian besar murid di kelas menjadi gelisah seperti cacing kepanasan, mereka mulai memperlihatkan gerakan seribu bayangan di detik-detik terakhir. Seorang murid yang bertugas sebagai penjaga pintu, mengulurkan kepalanya ke luar kelas. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan guru belum sampai ke kelas. Nyatanya murid itu adalah juara kelas dan korban yang bukunya selalu dipinjam warga kelas yang jarang mengerjakan tugas rumah. "Pak Joko tiba!" teriaknya menggelegar membuat dengungan selama beberapa detik di telinga para murid. Seolah mendengar genderang perang, kewaspadaan para murid langsung ditingkatkan, semua orang kembali ke bangku masing-masing dengan meja yang diatur secara acak dan terburu-buru. Ketika pak Joko masuk ke dalam kelas, dia mengangguk puas melihat setiap murid duduk dengan patuh di bangku mereka masing-masing dan buku serta alat tulis lainnya telah disiapkan di atas meja. Dia tersenyum dengan suasana hati yang baik, tidak lupa memuji dedikasi para murid yang begitu patuh dan disiplin. "Bagus, tetap pertahankan kondisi kelas kalian. Jangan seperti kelas IPA 3 yang selalu ribut dan tidak mengerjakan tugas rumah yang diberikan," kata pak Joko dengan murah hati. Para murid kelas 11 IPA 2 dengan tidak tahu malunya memasang ekspresi bangga dan menjawab secara serentak. "Baik, Pak!" Kelas berlangsung dengan damai dan harmonis, membuat guru dan para murid mendapatkan ilusi kegiatan belajar mengajar yang idaman. Meski nilai tugas Laras anjlok karena tulisannya yang tidak terdefinisi, setidaknya dia tidak dihukum karena tidak mengerjakan tugas, sehingga dia cukup puas. Menjadi bahagia ternyata bisa semudah itu. Ketika bel istirahat berbunyi, pak Joko meninggalkan tugas rumah dalam bentuk tulisan di papan tulis, dan keluar setelah memuji kelas 11 IPA 2 dan membandingkannya dengan kelas lain. Setelah sosok guru itu menghilang, para murid menghela napas lega dan tertawa keras bersama. Laras bangkit dengan cepat. "Aku mau ke kantin," katanya sebelum lari dengan kecepatan yang tak bisa dijangkau Rena. "Apakah ada hal lain selain Kevin di otaknya?" omel Rena, menulis soal di papan tulis sebelum bangkit untuk pergi ke toilet. Kebetulan ketika dia baru balik dari toilet dan ingin kembali ke kelas untuk menikmati keripik kentang favoritnya, dia berpas-pasan dengan Randi di koridor. Rena tersenyum sangat sopan, "Kak Randi," sapanya canggung. Randi mengerutkan kening melihat ke arah Rena, memancarkan aura tidak suka dengan jelas. "Kamu teman Laras yang selalu bersamanya ketika dia berbuat nakal, bukan?" tanyanya dengan pandangan tegas. Rena melebarkan matanya terkejut, buru-buru melambaikan tangannya. "Jangan salah paham, Kak. Aku tidak memberi pengaruh buruk pada Laras, tetapi Laras lah yang selalu memberi pengaruh buruk untukku. Dia bahkan mengajakku untuk menggertak murid baru!" bela Rena untuk dirinya sendiri. Dalam beberapa saat, Rena merasa panik mencoba mencari cara untuk mendukung dirinya sendiri serta memperhatikan ekspresi Randi. Namun dia tidak menyangka bahwa ketua OSIS yang selalu tegas itu ternyata begitu mudah untuk mengubah pandangannya. Seketika sikap tegas Randi pada Rena berkurang setengah, dia menggelengkan kepala pelan mengungkapkan ketidakberdayaannya. "Maafkan tingkahnya, dia terlalu dimanja sejak kecil. Lain kali, cegah saja dia ketika dia mengajakmu melakukan hal buruk lagi," kata Randi penuh dengan ketulusan. "..." Rena terdiam. Dia mengangguk pelan, mengamati Randi berjalan melewatinya dengan suasana hati yang rumit. Meski Rena tahu bahwa Laras adalah adik Randi dan dia hanyalah satu dari sejuta orang yang tidak sengaja kenalan dengannya, tetapi bukankah sikap Randi terlalu membeda-bedakan? Pemuda itu terlihat sangat marah seolah ingin memusuhi Rena ketika berpikir bahwa Rena membuat pengaruh buruk pada Laras. Tetapi langsung berubah baik hati bak malaikat ketika tahu bahwa Laras yang membuat pengaruh buruk padanya. Rena menghela napas, mengasihani dirinya sendiri yang hampir saja disalahpahami oleh orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD