Kakak yang Baik

1063 Words
Randi pergi ke sekolah. Di siang hari setelah waktu pulang, gerbang sekolah masih terbuka dan ada beberapa pemuda yang masuk untuk bermain di lapangan olahraga. Biasanya para pemuda tersebut belum pulang dan langsung bermain atau pulang dan kembali ke sekolah untuk bermain. Intinya mereka semua berkumpul di lapangan hanya untuk bersenang-senang. Karena sinar matahari masih menyengat, lapangan luar seperti wajan di atas api, tiada seorang pun yang ingin bermain di sana. Randi masuk ke gedung olahraga, dan barulah mendengar aktivitas dari suara langkah serta sorakan teman-temannya. "Yo, Randi, tumben datang." Wawan melambai dari tengah lapangan basket, memberi isyarat kepada Randi untuk datang. Randi melepaskan jaketnya dan meletakkannya di bangku penonton, kemudian berjalan ke lapangan basket. "Ingin bermain," jawabnya. Dia biasanya datang ke sekolah di sore hari untuk bermain basket dengan teman-temannya. Hanya saja karena saat ini dia telah kelas dua belas, dimana tekanan ujian semakin terasa sehingga dia mulai jarang untuk pergi bermain basket lagi. Randi langsung bergabung untuk bermain dengan teman-temannya, mungkin sedang terstimulasi oleh sesuatu sehingga gerakan menjadi sangat bersemangat dan lincah. Seolah bermain solo, dia bahkan tidak memberi kesempatan untuk teman timnya mendapatkan bola. Keringat membasahi punggung bagian belakangnya, membuat kaosnya menempel ke tubuh. Hentakan kaki yang cepat dan gerakan tangan yang lincah menjadikannya fokus di lapangan. Beberapa gadis yang datang dan duduk di bangku penonton tertarik olehnya dan mengambil beberapa gambar untuk diabadikan. Setelah untuk waktu lama, Randi akhirnya berhenti, napasnya tersengal-sengal dengan dadanya yang terpompa naik turun tak berirama. "Masuk tim basket aja Ran, kasihan bakatmu disia-siakan." Dion yang adalah seorang anggota tim basket tetapi sama sekali tidak mendapatkan kesempatan menembak bola merasa harga dirinya terluka. Dia bahkan mulai bertanya-tanya tentang bakatnya sendiri. Randi menggelengkan kepala, tatapannya tertuju ke pintu dimana seseorang pemuda baru saja tiba. "Tidak tertarik," katanya kemudian berjalan ke bangku penonton untuk mengambil jaketnya. Kevin baru saja meletakkan botol air minum, jaket, dan handuk kecil di bangku penonton. Ketika dia melihat Randi, wajahnya mengungkapkan ekspresi terkejut. "Tumben," katanya dengan alis terangkat. Randi mengangguk, mengambil jaketnya dari bangku dan memakainya. "Aku ingin bicara denganmu sebentar," katanya dengan tenang. "Bicara apa?" tanya Kevin menghentikan langkahnya yang ingin pergi ke lapangan. Randi diam sejenak, melihat pemuda itu duduk di bangku penonton, dia juga duduk di sampingnya. "Tentang Laras, aku minta maaf untuknya." Kevin menoleh dengan pandangan heran, melihat ekspresi bersungguh-sungguh Randi, terasa sedikit canggung. "Itu, kamu tidak perlu minta maaf, tindakan Laras tidak ada hubungannya denganmu." Randi adalah Ketua OSIS di sekolah, berprestasi, dan sering mewakili sekolah dalam kegiatan penting, tak sedikit para murid mengagumi dan mendewakannya. Bahkan Kevin yang sekelas dengan Randi, merasa sedikit segan untuk terlalu akrab dengan Randi. Apalagi menerima permintaan maaf seperti ini. "Bisakah kamu tidak menjauhinya lagi?" tanya Randi dengan hati-hati, dia merasa sedikit tidak nyaman untuk mengatakan hal tersebut. Melihat ekspresi ragu Kevin, Randi kembali berbicara, "Aku tidak memintamu untuk menanggapi perasaannya. Hanya saja untukku tolong maafkan dia, perbuatannya malam itu adalah kesalahanku karena tidak mengawasinya dengan baik." Kevin mengerutkan keningnya, akhirnya dia menghela napas panjang dan mengangguk tak berdaya. "Kamu kakak yang baik," katanya dengan senyuman kecil. "Terima kasih," kata Randi dengan tulus. "Jangan bicara formal begitu," Kevin terkekeh, menepuk sekali bahu Randi dan berlari ke lapangan. Randi melihat ke lapangan selama beberapa saat dan tersenyum kecut. Dia tidak ingin menjadi kakak yang baik, dia ingin lebih itu. Brak! Suara kursi yang terjatuh ke lantai terdengar keras, merasa tidak cukup, Laras melempar tasnya juga ke lantai. Dia melirik ke meja riasnya, dan segera mengambil langkah mundur lalu memilih melempar benda-benda di atas tempat tidurnya. "Randi sialan!" teriaknya dengan keras. Dia mengambil bantal guling dari lantai lalu memukul-mukulnya membayangkan bahwa bantal guling itu ialah kakak sepupunya yang telah tidak dia anggap lagi. "Kenapa coba kamu dukung gadis bodoh itu? Jelas gara-gara dia Kevin marah sama aku, kenapa kamu ikutan dukung dia sih! Aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Laras terisak, matanya memerah dengan air mata yang mengalir tampak henti. Dia berbaring di atas tempat tidurnya, memeluk satu-satunya bantal guling yang telah dianiaya dan melanjutkan menangis diam-diam. Tak lama terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Tanpa Laras buka pintu pun, dia tahu bahwa yang datang adalah Randi. "Laras, keluar dan makan." Suara familiar dengan nada yang tenang tanpa dosa terdengar dari balik pintu. Laras membuang satu-satunya bantal di sisinya ke pintu, membuat suara terendam sebagai peringatan. "Aku tidak makan bahkan mati kelaparan pun itu bukan urusanmu! Pergi? Jangan masuk ke rumahku!" teriak Laras dengan keras. Suara ketukan pelan terdengar lagi, "Jangan seperti ini, kamu belum makan dari tadi." Laras menggertakkan giginya kesal, "Aku bilang itu bukan urusanmu! Pergi!" Beberapa saat kemudian Laras tidak lagi mendengar suara Randi. Hal itu membuat Laras menjadi lebih kesal. Bahkan Randi— kakaknya tidak akan membujuknya lebih keras lagi dan benar-benar pergi begitu saja? Mata Laras terasa panas kembali, dia mendengus menarik ingus yang menyumbat pernapasannya. "Randi sialan," gumamnya dengan keluhan dalam nada suaranya. Dia ingin kembali berbaring, namun kembali mendengar suara dari kakak sepupunya. "Aku sudah bicara dengan Kevin." Ternyata Randi belum pergi. Laras menghela napas lega. Sedetik kemudian pikirannya teralihkan dengan isi ucapan Randi. "Kamu, kamu, kamu, kamu bicara dengan Kevin?" tanya Laras dengan terkejut. Randi mengetuk pintu kembali, "Buka pintunya, keluar untuk makan." Laras tidak peduli lagi dengan amarahnya atau pun janji pada diri sendiri bahwa dia tidak akan memaafkan Randi. Dia bergegas turun dari tempat tidur dan membuka pintu dengan tergesa-gesa. "Sungguh? Kamu bicara kepada Kevin?" tanyanya dengan gelisah, mengguncang keras lengan Randi. Randi melirik kekacauan yang dibuat Laras dan menatap wajah sembab gadis di depannya. "Cuci mukamu dan makan, aku sudah meminta Bi Ina untuk memanaskan makanan." "Katakan dulu padaku! Apakah itu benar?" tanya Laras, tidak mau mengalah. "Iya, benar." Randi mengangguk tegas, "Sekarang cuci mukamu dan pergi makan." "Apa yang kamu katakan pada Kevin? Apa? Ayo ceritakan padaku!" Laras menuntut lebih, tampak tidak ada habisnya. Randi menatap diam Laras beberapa detik sebelum berbalik dan melangkah pergi. "Lupakan saja. Kamu kembali mengunci diri di kamar, anggap aku tidak pernah datang." "Kak Randi! Kakakku tertampan!" panggil Laras panik. Mengejar Randi dan menahannya, "Aku akan cuci muka, aku akan makan, aku janji!" katanya dengan cepat, seolah takut kakak sepupunya itu pergi. Randi berhenti melangkah, "Cepat," pintanya. Laras mengangguk cepat, "Kamu jangan pergi! Jangan pergi! Jangan pergi!" dia berlari ke dapur, terus meneriakkan kalimat yang sama berulang kali seolah sedang mengucapkan mantra. Randi menatap gadis yang bersemangat itu dalam diam, mengikuti seruan Laras, dia benar-benar tidak pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD