Perdebatan

1230 Words
Rena memperhatikan gadis di sampingnya yang duduk dengan linglung di kursinya tanpa bergerak sedikit pun. Dengan jail, dia mengulurkan tangannya, menyenggol lengan gadis itu untuk menarik perhatiannya. Namun bagaimana pun Rena mencoba mengganggu gadis tersebut, jiwa Laras tampak terbang ke tempat lain. Dia bahkan belum bicara sejak kepergian Kevin. "Tidak perlu terlalu memikirkannya, kamu lakukan saja seperti biasanya, pasti Kevin juga tidak akan terlalu memikirkannya." Rena mencolek lengan Laras dengan jari telunjuknya, mencoba menghibur gadis di sampingnya yang saat ini hatinya retak. Sejak pelajaran berakhir dan bel istirahat dimulai, Laras tidak beranjak dari bangkunya sedikit pun. Atau mungkin bisa dibilang, hal ini dimulai sejak Kevin pergi meninggalkan kelas ini dengan kata-kata peringatan yang dia ucapkan. Rena merasa tidak nyaman dengan sikap Laras yang tiba-tiba menjadi pendiam dan linglung begini. Jika ini seperti biasanya, gadis itu pasti akan lari ke luar kelas ketika bel istirahat berbunyi untuk pergi ke kantin menunggu Kevin sang pujaan hatinya. Namun untuk saat ini, gadis itu bahkan tidak mengatakan apa-apa untuk bertemu Kevin. Ini masalah yang serius! "Kenapa kamu tidak mencoba mencari Kevin? Katakan saja kamu salah dan tidak akan mengulanginya lagi, aku yakin Kevin tidak akan kesal lagi." Rena berkata dengan sedikit tidak percaya diri, bahkan suaranya penuh keraguan yang terlihat jelas. Jiwa Laras akhirnya kembali ke dalam tubuhnya, dia menoleh ke arah Rena dan mendengus kesal. "Aku juga mau ke kantin, terlebih lagi bertemu dengan Kevin. Tetapi ..." Laras mengerutkan bibirnya, merasa sangat tertekan. "Tetapi bagaimana jika Kevin semakin membenciku?" Rena menaikkan alisnya. "Apakah ini masih Laras yang aku kenal? Sejak kapan kamu takut Kevin akan membencimu?" Kata-kata Rena penuh dengan provokasi, Laras merasa tertantang dan mengangkat sudut bibir tersenyum sinis. "Aku tidak takut sama sekali. Apakah aku memiliki sesuatu yang aku takuti?" Melihat senyuman menyebalkan khas Laras, Rena menghela napas dalam hatinya. Dia dengan enggan mengangguk setuju, mendukung tanpa niat. "Ya, ya, kamu paling berani, kamu tidak takut apa pun." Rena memuji dengan nada datar. Laras melihat tampang enggan Rena dan terkikik lucu. Dia menyanggah kepalanya dengan kedua tangannya, mencoba menggunakan otaknya yang telah berkarat untuk memikirkan cara bisa mendekati Kevin seperti semula lagi. "Nah kamu kenapa linglung lagi?" tanya Rena, mendorong lengan Laras dengan jari telunjuknya. Berusaha menyadarkan temannya yang kembali ke dalam mode hibernasi. Laras memutar matanya, "Aku sedang berpikir, kamu yang linglung!" serunya kesal. Rena mengangguk paham, dia tersenyum dengan jail. "Serius deh, kamu sepertinya tidak cocok untuk terlalu banyak berpikir. Orang lain melihatmu seperti linglung tanpa jiwa," kata Rena dengan jujur dari lubuk hatinya terdalam. "Lalu bagaimana cara mendekati Kevin lagi? Apakah kamu yang akan memikirkan caranya?" tanya Laras dengan mata melotot lebar kepada Rena. Tanpa berpikir, Rena segera menggelengkan kepala untuk menolak gagasan itu. "Tidak, ideku telah lenyap. Kamu kembalilah berpikir. Aku berbohong tadi, sebenarnya kamu seperti bidadari ketika sedang berpikir." Laras memutar matanya, merasa bahwa temannya ini sama sekali tidak dapat diandalkan. "Atau aku minta bantuan Randi saja," katanya akhirnya. Lagi pula kakak sepupunya itu sekelas dengan Kevin, belum lagi mereka kadang bermain basket bersama. Tiba-tiba dia merasa beruntung karena memiliki kakak yang seangkatan dengan pemuda yang dikejarnya. Pulang dari sekolah, Laras langsung pergi ke rumah bibinya untuk menemui Randi. "Laras? Kamu sudah makan siang?" tanya Rani— bibi Laras sekaligus ibunya Randi. Laras menggelengkan kepalanya sembari melepaskan sepatunya dan masuk ke dalam. "Ibu Rani, Randi ada di kamarnya tidak?" Rani mengangguk kepalanya, "Iya, kamu ada keperluan sama dia?" Laras tersenyum dan mengangguk, "Iya, keperluan yang mendesak." Dia terkikik sembari melangkah cepat ke arah kamar kakak sepupunya. "Aku makan siang di rumah nanti, Ibu tidak perlu menyiapkan untukku." Dia membuka pintu kamar kakak sepupunya tanpa mengetuk seperti biasa. Ketika dia masuk, dia melihat Randi sedang duduk di depan meja belajar, sedang mencatat dengan serius. Sepertinya setiap kali dia datang menemui Randi, kakak sepupunya ini selalu saja belajar, belajar, dan belajar. Laras menggelengkan kepala, pantas saja kakaknya ini tidak memiliki pasangan. Siapa juga gadis yang tertarik dengan pria yang hanya tahu cara memperhatikan dan menjaga buku? Jangan sampai kekasihnya nanti cemburu mati sama bukunya. "Ada apa?" Randi bertanya tanpa menggerakkan kepalanya. Tangannya tetap bergerak menulis jawaban dari tugas rumah yang diberikan guru tadi di sekolah. Dia tidak suka menunda tugas rumah, jadi setelah pulang sekolah, dia terbiasa langsung mengerjakannya. Laras melangkah maju, merebut buku di hadapan kakaknya itu untuk menarik perhatian lalu mengatakan maksud kedatangannya ke sini. "Randi, bantu aku ...," katanya dengan suara memelas. Matanya yang lebar berkedip dengan menyedihkan, mencoba menarik belas kasihan Randi. Tangan Randi bergerak memutar-mutar pena dengan lancar, dia menoleh untuk menatap Laras dengan tatapan tajam. "Kamu benar-benar mengunci gadis kelas sepuluh itu di gudang?" tanyanya langsung. Laras sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaan Randi, dia tidak menyangka kakaknya begitu cepat menerima informasi. Dia agak ragu sesaat sebelum mengangguk mengakui perbuatannya. "Lagian gadis itu selalu mengganggu, sengaja bangat memprovokasiku." Dia mendengus, mengeluh kepada kakaknya. Namun dia tidak menyangka bahwa Randi sama sekali tidak mendukungnya, pemuda itu memiliki tatapan tegas dan menegur, "Apa yang kamu lakukan itu salah. Apakah kamu tidak memikirkan bagaimana jika Kevin tidak langsung menemukan gadis yang kamu kunci itu malam itu? Bahkan jika dia dekat dengan Kevin, itu hak dia. Apakah ada yang pernah melarangmu untuk mendekati Kevin?" Laras melebarkan matanya, mulutnya terbuka menunjukkan ekspresi tidak percaya. "Dia yang memprovokasiku duluan! Hak apa yang dia miliki untuk mendekati Kevin? Dia tidak punya hak! Kevin akan menyukaiku dan dia akan menjadi kekasihku!" "Laras Filandari, kamu boleh saja menyukai seseorang, tetapi kamu tidak bisa untuk membatasi tindakan orang tersebut." Randi mengingatkan dengan dingin. Laras menendang kaki meja belajar untuk meluapkan amarahnya. "Randi Anditara! Itu adalah hakku untuk melakukan apa yang aku inginkan, kamu yang tidak boleh membatasi tindakanku! Jika aku menyukai Kevin, maka dia adalah milikku! Hak apa yang kamu miliki untuk melarangku?" Randi mengerutkan kening, dia bangkit berdiri dan mengulurkan tangan memegang pundak Laras, mendorong gadis itu menjauh dari jangkauan meja. "Apakah kamu ingin kakimu sakit lagi?" Laras menepis tangan Randi, matanya memeras karena marah, sama sekali tidak memedulikan perkataan Randi. "Itu bukan urusanmu! Mau kakiku sakit, patah, bahkan terpotong sekali pun, itu bukan urusanmu! Jangan mencampuri urusanku dan jangan juga melarangku untuk melakukan apa pun!" Dia membentak dengan keras, napasnya menjadi pendek dengan jantung yang berdetak cepat. Dia berpikir jika dia mengeluh pada kakak sepupunya, maka dia akan mendapatkan dukungan. Setidaknya Randi akan membujuknya dan memberinya solusi seperti biasanya. Tetapi kenapa Randi— kakak yang selalu mendukungnya selama ini bahkan menegurnya? Kenapa mereka semua mendukung Tania— gadis cupu itu?! Randi diam memperhatikan Laras dengan tenang. Dia akan berbicara, namun gadis itu tidak memberinya kesempatan. "Jika kamu ingin mendukung gadis bodoh itu, maka bawa dia menjadi adikmu! Aku sama sekali tidak butuh kakak yang hanya akan membela orang lain. Aku tidak butuh kakak yang akan menyalahkanku. Kamu Randi sialan!" Air mata tanpa sadar turun begitu saja, namun kedua matanya yang merah bersikeras untuk terus melotot ke arah Randi, enggan mengakui kelemahannya. "Laras," Randi menghela napas panjang, melangkah maju untuk mendekati gadis itu. "Apa?! Ingin menyalahkanku lagi? Ingin memarahiku lagi?" Laras mendorong Randi dengan keras meski tenaganya tidak mampu untuk menggerakkan pemuda itu seinci pun. Dia mengusap air matanya yang jatuh tanpa izin, dan berbalik untuk berjalan cepat ke pintu. "Aku tidak akan mencarimu lagi!" katanya sebelum menutup pintu dengan keras hingga menimbulkan suara nyaring. Randi melihat ke arah pintu yang tertutup untuk beberapa saat sebelum menghela napas lagi, mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu dan berjalan ke luar dari kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD