Kevin Marah

1029 Words
"Kenapa kamu senyam senyum gitu?" Rena menatap ke arah Laras dengan bingung. Pesta telah berakhir, Laras dan Rena kembali pulang dengan naik mobil Randi sebagaimana mereka berangkat. Karena Rena terlalu tergoda dengan makanan di pesta, dia tidak mengikuti Laras setelah Kevin potong kue sehingga dia tidak tahu hal menarik apa yang membuat Laras tersenyum sedari tadi. Laras melirik ke arah Rena dan terkikik senang, namun dia tidak memberikan jawaban yang memuaskan. "Hehe, coba tebak?" Rena memutar matanya sembari berdecak malas. "Aku tebak pasti berkaitan dengan Kevin, tetapi apa yang terjadi dengan kalian?" Laras diam dengan senyuman penuh misteri, dia menatap Rena dengan senang hati mengamati ekspresi temannya itu yang semakin kesal dan kesal karenanya. Setelah lama terdiam, dia akhirnya angkat suara. "Kamu masih penasaran?" tanya Laras dengan penuh perhatian. "Tidak!" sergah Rena, terlanjur terprovokasi. Laras tertawa bahagia untuk beberapa saat, merasa senang telah berhasil membuat Rena kesal. "Ran, antar Rena dulu." Dia menoleh ke arah kakak sepupunya untuk memberi pesanan sebelum kembali menatap Rena. "Kevin perhatian sama aku!" katanya dengan antusias, senyuman lebar bertahan di bibirnya, tampak tak bisa untuk dihilangkan. Setelah seruan yang bahagia itu dikatakan, mobil segera hening dalam waktu sepuluh detik yang sangat mengganjal. Laras mengerutkan keningnya, menatap Rena dengan bingung. "Kamu tidak kaget?" "Aku kaget," kata Rena, "sangat kaget sampai aku tidak bisa berkata-kata." "Benarkah?" Laras terkikik, "Ayo ajukan pertanyaan, aku tahu kamu pasti memiliki pertanyaan untuk itu.' Rena mengangguk dan berkata, "Ya, aku memang memiliki pertanyaan." "Ajukan," kata Laras memberi temannya itu persetujuan. Rena tersenyum, dia memajukan tubuh atas mendekat ke arah Laras dan bertanya dengan suara pelan. "Kamu sedang bermimpi?" "Hah?" Laras mengerjap matanya bingung, kemudian dia mendorong Rena jauh-jauh darinya dengan kesal. "Kamu yang bermimpi!" serunya keras. "Serius, bagaimana mungkin Kevin perhatian sama kamu? Atau mungkin saja kamunya aja yang kegeeran." Rena tidak menyembunyikan kecurigaannya dan mengatakan langsung, sama sekali tidak peduli akan menghancurkan hati berbunga-bunga temannya. Laras melotot marah, dia membuka mulutnya ingin mengeluarkan amarahnya namun disela oleh sopir pribadi mereka. "Sudah sampai," kata Randi dengan tenang. Baru saat itulah Laras dan Rena menyadari mobil telah berhenti dan mereka berada di depan rumah Rena. Rena segera mengangguk, membuka pintu mobil sembari menoleh ke arah Randi. "Terima kasih, Kak Ran." "Um," jawab Randi dengan gumaman pelan. Kemudian Rena turun dan menatap Laras dengan ringan. "Berhentilah bermimpi," katanya memberi pengingat yang bersahabat. Laras melotot marah, dia mau membantah tetapi Rena telah menutup pintu mobil mengisolasi suaranya sesegera mungkin. "Kamu yang bermimpi!" "Apaan sih, Kevin benaran perhatian padaku, kenapa dia tidak percaya?" gumam Laras, tidak senang karena tidak dapat membagikan kebahagiaannya kepada orang lain. Terlebih lagi dia dicurigai terlalu banyak berpikir. Mobil kembali melaju ke depan, mengambil jalur putar yang membuat perjalanan dua kali lebih lama. "Kenapa lewat sini? Lewat perempatan saja biar cepat," protes Laras, mengambil berbagai topik untuk dapat digunakan mengobrol saat ini. "Kamu hanya perlu duduk manis di belakang, biarkan sopirmu yang menentukan jalan." Randi menjawab dengan nada datar, Laras bahkan yakin kakaknya itu pasti sedang memutar matanya. Laras mendengar kata 'sopir' dan terkikik geli. Kemudian dia memajukan tubuhnya ke depan, wajahnya penuh minat seolah ingin mengatakan hal yang menarik baginya. "Sopir, apa kamu percaya Kevin perhatian padaku?" tanyanya dengan senyum senang. Randi melirik singkat ke arahnya dan mengangguk pelan, "Percaya." "Nah kan! Kamu sangat pintar, tidak seperti Rena, dia sangat menyebalkan dan tidak akan percaya sama sekali denganku." Laras kemudian mengatakan semua isi hatinya yang bahagia dan berbunga-bunga kepada sang sopir pribadinya. Namun seperti biasanya, kebahagiaannya ini tidak akan bertahan lama. Ketika baru saja datang ke sekolah, Kevin langsung mencarinya. Laras yang selalu memiliki pikiran penuh kebahagiaan bersama Kevin berpikir bahwa pemuda itu ingin mengutarakan cinta atau menyerah keras kepala dan akhirnya ingin bersamanya. Jadi Laras tersenyum dengan gembira, menghadapi Kevin yang saat ini memiliki ekspresi gelap di wajahnya. Kevin mengerutkan keningnya dalam, melihat senyuman Laras, Kevin merasa lebih marah lagi. "Kamu bangga telah mengunci seseorang di gudang?" tanyanya dengan penuh penekanan, emosi yang bergejolak dalam suaranya tidak bisa ditahan. Senyuman Laras segera membeku ketika mendengarnya. Dia tanpa sadar merasa gugup, melirik ke arah Rena yang ada di sampingnya. "Apa, apa yang kamu katakan?" tanya Laras sembari tertawa garing. Kemudian untuk menutupi keganjalannya, dia berkata dengan cepat. "Kenapa kamu mengatakan omong kosong? Bagaimana kalau kita sarapan ke kantin saja? Atau ..." Kevin menyela ucapan Laras, "Apa omong kosong? Kamu tidak ingin mengakui bahwa kamu yang mengunci Tania di gudang malam itu?" Dia telah berusaha untuk mengendalikan suaranya, mencegah emosinya keluar. Namun melihat Laras tidak ingin mengakui kesalahannya dan malah mengalihkan topik pembicaraan membuat Kevin merasa muak untuk terus mendengarnya. Untung saja itu adalah seorang gadis, jika bukan, maka Kevin tidak tahu bagaimana menahan dirinya lagi. Tatapannya sangat tegas, ancaman yang dingin di matanya membuat orang melihatnya menggigil ketakutan. "Berapa kali aku harus memintamu untuk tidak mengganggu Tania? Apakah kamu pikir aku bercanda waktu itu?" Laras tersentak oleh tatapan Kevin, dia menjadi cemas dan melangkah maju mendekati pemuda itu. "Vin, jangan dengarkan gadis itu, itu ... itu bohong. Aku tidak, sama sekali tidak. Sungguh, aku tidak." Dia berkata dengan panik, membuat ucapannya menjadi tidak jelas dan terbata-bata. Pandangannya berkeliaran ke segala arah sebelum menoleh ke Rena dan meraih lengannya. "Tanyakan saja pada Rena. Ya kan Ren?" Rena mengangguk bingung, melangkah maju meraih tangan Laras. "Iya, kamu memintaku bertanya padanya karena dia temanmu berbuat kejahatan! Kamu pikir karena aku tidak lihat maka aku tidak akan tahu?" Kevin mengangkat volumenya, menarik perhatian murid-murid di sekitarnya. Meski Kevin selalu menolak dan mengabaikannya, dia tidak pernah membentaknya sekali pun. Laras melebarkan matanya, tidak tahu bagaimana harus bertindak. "Tania, Tania yang menjebakku! Dia pasti berbohong. Jangan percaya sama dia," Laras menggelengkan kepalanya dengan keras. Kevin menurunkan pandangannya, merasa lelah untuk terus meladeni gadis ini. "Bukan dia yang memberitahuku," katanya dengan suara rendah. Kemudian nada suaranya menjadi lebih tegas, memberi peringatan serta ancaman. "Ini terakhir kalinya aku mengatakannya, jangan pernah mengganggu Tania lagi. Jika kamu melakukan hal seperti ini lagi, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Kamu tahu, aku sebenarnya seorang pedendam. Jangan mencoba memancing emosiku lagi, aku bersungguh-sungguh kali ini." Laras mengerutkan bibirnya menjadi satu garis, menatap Kevin dengan keras kepala. Dia belum sempat membalas kata-kata Kevin ketika pemuda itu telah berbalik dan pergi dengan langkah berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD