Reaksi Kevin

1608 Words
Laras turun dari motor, menyerahkan helm ke Randi dengan asal dan segera lari masuk ke dalam gedung sekolah. "Hati-hati, jangan lari—" Randi menghela napas melihat tingkah adik sepupunya. Dia meletakkan helm dan berjalan mengikuti Laras dari belakang. Meski masih sangat pagi, penjaga sekolah telah tiba untuk membuka kunci setiap pintu kelas. Laras dengan senang hati pergi ke wilayah kelas 12 dan mengintip ke dalam kelas 12 IPA 1. Seperti yang diharapkan, belum ada satu pun murid yang tiba. Laras segera santai, berjalan masuk ke ruang kelas dengan nyaman seolah itu kelasnya sendiri. Dia sudah sering masuk ke kelas ini, sehingga tanpa bantuan Randi, Laras dapat menemukan meja Kevin seorang diri. Dia mengeluarkan amplop merah muda dari tasnya, melihatnya dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada kerutan sedikit pun. Kemudian dengan sangat perlahan dia meletakkan amplop ke dalam laci di atas tumpukan buku Kevin. "Sudah?" tanya Randi, bersandar di kusen pintu mengawasi setiap tindakan Laras. Laras memperhatikan posisi suratnya dengan serius dan mengangguk cepat. Dia mengangkat kepalanya, menunjukkan senyuman yang ceria untuk mengungkapkan antusiasnya yang menggebu-gebu. "Sudah, apakah Kevin akan menemukannya? Aku meletakkannya di atas buku Biologinya, dia pasti lihat bukan?" tanya Laras, merasa cemas namun kebahagiaan tidak lepas dari ekspresinya. Randi mengangguk, "Hari ini ada pelajaran Biologi, dia pasti akan menemukannya." "Bagus!" Laras menghela napas lega, duduk di bangku Kevin dengan bahagia. "Aku sengaja mengambil bangku di urutan ke tiga untuk sama dengan posisi Kevin," katanya mengungkapkan rahasia kecilnya. Randi berjalan menuju ke meja di urutan pertama depan papan tulis, tempat duduknya. "Ujian semester tidak lama lagi, kamu tidak boleh terus memikirkan hal seperti ini dan mengabaikan belajarmu." Laras memutar matanya, bibirnya mengerucut mencibir dalam diam. "Kamu dengar?" tanya Randi ketika tidak mendengar jawaban dari Laras. Laras mendengus, "Iya, dengar, dengar." Dia bangkit dari bangku Kevin, berjalan ke depan, di samping kakak sepupunya yang kini sedang membuka buku cetak. "Ran, sepertinya hidupmu sangat datar dan membosankan. Kenapa kamu tidak memperhatikan gadis-gadis di sekitarmu? Percayalah, cinta bisa membuat hidupmu lebih berwarna," kata Laras dengan bersungguh-sungguh, berbaik hati memberi saran kepada Randi. Randi meliriknya. "Melihatmu membuatku berpikir cinta hanya membuat orang menjadi bodoh." "Kamu yang bodoh!" seru Laras kesal, berjalan ke pintu dengan setiap langkah ditekan berat. "Aku mau ke kelas, pacaran saja sana sama buku seumur hidupmu!" Randi melihat ke arah pintu selama beberapa detik sebelum kembali membaca buku di depannya. Ketika Rena datang ke kelas, dia melihat temannya— Laras telah tiba. Dia sedikit terkejut karena pasalnya Laras selalu datang di dekat waktu bel masuk. Belum lagi Rena menemukan bahwa gadis itu saat ini sedang duduk bersemangat di kelasnya seolah sedang mengantisipasi hal yang besar. "Kok kamu tumben datang cepat?" tanya Rena, duduk di bangkunya sendiri. Laras tersenyum bahagia, dia tidak bisa menahan tawa gembira ketika mendengar pertanyaan Rena. "Tentu saja untuk mengirimkan surat cinta kepada Kevin!" jawabnya dengan jujur. Rena mengernyit, "Emang Kevin datang sepagi itu? Lagi pula kenapa harus memberikan surat itu sangat pagi?" "Heh aku meletakkan suratnya secara diam-diam di dalam laci Kevin. Aku datang sangat pagi agar tidak ada yang tahu, ini adalah kejutan!" Laras terkikik kecil, membayangkan reaksi Kevin ketika melihat surat cintanya. Rena mengangguk paham, tetapi belum bisa mengisi rasa penasarannya. "Apa isi suratmu? Apakah kamu punya duplikat? Kasih lihat aku," katanya dengan antusias. Sayang sekali, Laras menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku menulis surat cinta untuk Kevin, otomatis surat itu hanya ada satu dan itu diberikan kepada Kevin. Jika ada dua, bukankah itu berarti hatiku mendua?" "Lebay," gumam Rena, menjadi tidak tertarik lagi. Selama kelas berlangsung, pikiran Laras mengembara jauh dari belajar. Hatinya sangat menggebu-gebu memikirkan reaksi Kevin ketika melihat suratnya. Ada seribu satu reaksi di kepalanya, membuatnya sangat antusias dan tidak sabar bertemu Kevin untuk menanyakannya secara langsung. Dia telah menulis dengan sungguh-sungguh dan serius, jadi pasti kata-kata cintanya akan menusuk hati Kevin. Laras yakin Kevin akan menyukainya dan berniat memulai hubungan dengannya. Memikirkannya saja sudah membuat Laras terbang ke langit ketujuh. Matanya tak henti-henti melihat ke jam dinding, merasa waktu berjalan sangat lambat sehingga mencegahnya bertemu sang pujaan hati. Dia hampir putus asa dengan bel yang tak kunjung berbunyi. Jadi ketika bel istirahat akhirnya terdengar, Laras langsung bangkit dan lari keluar kelas dengan antusias. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia ingin ke kantin, menunggu Kevin, dan bertanya tentang surat cintanya. Mungkin Laras lari terlalu cepat, sehingga di kantin belum banyak yang hadir. Dia berkeliaran di depan pintu kantin, menunggu Kevin dengan sedikit tidak sabar. Karena suasana hatinya sedang baik, dia tidak menghalangi pintu kantin dan dengan baik hati memberi jalan murid lain untuk masuk. Dia menunggu sekitar beberapa menit lagi dan akhirnya sosok tampan Kevin muncul di area pandangnya. "Kevin!" teriak Laras bahagia, segera berlari mendekati Kevin. Kevin hampir saja putar balik ketika melihat Laras bergegas ke arahnya. Namun dia menahan dirinya dan hanya mengabaikan Laras seperti biasanya. "Aku menunggu dari tadi, ayo kita—" kata-kata Laras berhenti ketika dia melihat sosok Tania berada di belakang Kevin. Ekspresi bahagianya langsung retak, dan bahkan memiliki keinginan untuk mendorong gadis itu jauh-jauh dari pandangannya. Untungnya dia tidak ingin membuat Kevin marah padanya lagi sehingga dia mendengus dan berniat untuk mengabaikan gadis itu. Yang penting jauhkan dia dari Kevin! Setiap meja di kantin memiliki empat bangku. Kevin datang bersama dua kawan setianya— Wawan dan Dion serta tak sengaja bertemu dengan Tania di tengah jalan. Dengan kehadiran Laras maka perkumpulan mereka akan menjadi lima orang. Setelah membeli makanan, Laras buru-buru mengambil tempat di samping Kevin, menatap penuh kemenangan pada Tania yang berdiri kaku. "Oh tidak cukup tempat, kamu bisa pergi ke meja lain," katanya dengan senyuman. Tania melirik ke arah Kevin lalu Laras dengan hati-hati, kemudian dia mengangguk dan duduk di meja sebelahnya. Laras belum sempat merasa bahagia ketika Kevin bangkit berdiri dan duduk di meja yang sama dengan Tania. "Kevin, kamu, kenapa kamu pindah?" tanya Laras dengan terkejut, menekan perasaan kesal di hatinya. Kevin sama sekali tidak memedulikan ekspresi Laras, dia hanya menjawab dengan asal. "Aku akan menemani Tania di sini, lagi pula kamu di sana masih memiliki Wawan dan Dion." Laras melirik ke arah Wawan dan Dion yang mengeluarkan senyuman bersahabat ke arahnya. Dia segera mendelik, menatap kedua pemuda itu tajam, lalu bangkit dan duduk di meja yang sama dengan Kevin. "Aku hanya ingin bersamamu," kata Laras mengungkapkan senyuman menggodanya kepada Kevin. Mungkin karena telah terbiasa, Kevin sudah menebak hal ini akan terjadi. Dia mengabaikan omong kosong Laras dan mulai memakan makanan di depannya. "Oh iya Kevin," Laras mengaitkan mie ke garpu di tangannya sembari berkata dengan lembut, "apakah kamu menemukan surat hari ini?" Matanya berbinar terang ketika bertanya, dengan fokus memperhatikan ekspresi wajah dingin Kevin. Kevin menghentikan tangannya ketika mendengar pertanyaan Laras. Tadi dia menemukan amplop surat di laci mejanya, hanya saja Kevin tidak terlalu memperhatikannya dan membuangnya begitu saja. Ternyata itu surat dari Laras? Dia menatap gadis yang sangat antusias menunggu jawabannya dan mengangguk singkat, kembali lanjut makan dengan tenang. "Sungguh? Jadi bagaimana isi suratnya? Apakah bagus?" tanya Laras lagi, tidak sabar mendengar komentar Kevin tentang kata-kata cinta yang dia rangkai dengan hati-hati hingga tengah malam. Kevin mengangguk acak, sama sekali tidak mendengarkan perkataan Laras. Namun Laras tidak menyadari detail jelas seperti ekspresi Kevin yang tampak acuh tak acuh. Tatapannya hanya terfokus pada Kevin yang mengangguk setuju yang berarti dia juga merasa kata-kata cintanya dalam surat sangat bagus. Laras terkikik bahagia. Tidak sia-sia waktu dan energi yang dia gunakan untuk menulis surat tersebut. Jika Kevin suka, maka dia bahkan bisa membuat seribu surat cinta lagi. Dia menatap Tania di seberangnya dengan ekspresi bangga, berusaha memamerkan dirinya dengan jelas untuk membuat gadis itu sadar betapa rendahnya dia dibandingkan dirinya. Setelah bel masuk berbunyi, Laras hanya fokus bermain dengan ponselnya di kelas. Dia bersembunyi dari guru, diam-diam mencari trik untuk mengejar sang pujaan hati melalui penelusuran web. "Bunga, coklat, ...," gumam Laras sembari membaca artikel dengan serius. "Coba kamu letakkan keseriusanmu itu ke pelajaran daripada untuk hal seperti itu, aku yakin kamu pasti akan dapat masuk peringkat 10 besar." Rena di sampingnya tidak tahan melihat temannya begitu tenggelam dengan hal-hal berantakan itu. Laras mendengus, tidak memasukkan kata-kata Rena ke dalam hatinya. "Kamu tidak tahu saja bahwa Kevin menyukai surat cintaku, jika aku berhenti sekarang, bukankah perjuanganku akan sia-sia?" kata Laras dengan nada yang tegas, merasa dirinya benar dan Rena yang salah. Rena menggelengkan kepala lelah, "Terserah kamu saja, yang penting aku udah ingatin." "Apaan sih ngomongnya kayak gitu," Laras menendang kaki Rena di bawah meja. "Kan ujian nanti, kamu akan bantu aku," katanya dengan percaya diri. "Jika aku bisa ya aku bantu. Masalahnya ruang ujian kita akan pisah!" Rena berseru kesal, menendang kaki Laras kembali. Mata Laras melebar, dia menatap Rena dengan pandangan tak percaya. "Siapa yang coba kamu takuti? Bukankah semester lalu kita masih bersama?" Rena tertawa mengejek, "Murid-murid dengan pikiran sepertimu lah yang memberi ide sekolah untuk merombak ruang ujian." Laras membeku, merasa hidupnya telah berakhir. Rena, teman multifungsinya akan berpisah darinya ketika ujian yang menandakan nilainya untuk semester ini tidak lagi dapat diselamatkan. "Kaget?" tanya Rena dengan penuh minat. "Aku bisa menjaminmu, jika kamu serius belajar seperti ketika kamu serius mencari cara mendekati Kevin, nilaimu pasti akan lebih tinggi daripada ketika kamu menyontek jawabanku." Laras melihat tatapan Rena yang serius, namun tetap saja dia tidak mempercayainya. Belajar? Laras bahkan berharap dia tidak perlu menghadapi kata itu. Ketika ke sekolah, tujuannya hanya untuk bertemu Kevin. Untuk sesuatu yang membutuhkan kemampuan berpikir yang keras dan logika yang ketat, Laras menyerah dan dengan sangat sadar diri menyerahkan hal berat tersebut kepada orang lain. Dia cemberut, tatapannya tertuju ke ponselnya, mengamati hal-hal yang tertulis di artikel dalam diam. Daripada pusing memikirkan ujian semester, kenapa dia tidak mencoba berpikir apa yang akan dia berikan kepada Kevin? Coklat atau bunga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD