Nasi Goreng Spesial

1873 Words
Keesokan harinya, Kevin menemukan coklat dan bunga dari dalam lacinya. Tidak perlu susah payah menebak, karena dia langsung tahu bahwa ini pasti perbuatan Laras. Seperti biasa, dia memberikan coklat itu kepada temannya yang rakus dan membuang bunga tanpa pandang bulu. Namun hal tersebut terjadi hampir setiap hari. Selalu setiap pagi, ketika dia datang ke kelas, dia memeriksa lacinya dan menemukan bunga dan coklat telah tersedia. Kevin segera menjadi ragu, bagaimana bisa gadis itu memasukkan benda-benda tersebut ke dalam lacinya? Akhirnya dia tidak bisa menahan diri dan mengatakannya kepada Randi— kakak Laras. "Randi, adikmu setiap hari meletakkan coklat dan bunga di laci mejaku." Randi yang sedang mencatat mengangkat kepalanya dengan tenang, dia mengangguk pelan ketika mendengar perkataan Kevin, bagaimana pun dia yang paling tahu hal tersebut. "Apakah hal itu mengganggumu?" tanya Randi dengan ragu, jika Kevin menjawab 'ya', maka dia akan segera melarang Laras melakukan hal tersebut lagi. Dikatakan mengganggu sebenarnya bukan masalahnya, hanya saja Kevin merasa itu sangat tidak pantas. Lagi pula dia tidak bisa menerima perasaan Laras, tidak baik untuk gadis itu melakukan hal tersebut. Dia menghela napas panjang. "Bukankah minggu depan sudah ujian semester? Kenapa kamu tidak ingatkan adikmu fokus pada ujian daripada melakukan hal seperti ini?" tanya Kevin memberi saran. Randi mengernyitkan keningnya. "Aku sudah mengingatkannya, tetapi dia tidak pernah menurut." Kemudian dia seolah memikirkan sesuatu dan menatap ke arah pemuda di sampingnya. "Bagaimana jika kamu membantuku memberitahunya? Dia mungkin mendengarkanmu," katanya dengan tenang. Kevin sangat enggan, namun dia menganggukkan kepalanya tanpa daya. Ketika dia pergi ke kantin, seperti biasa, Laras telah menunggunya di depan pintu kantin dengan semangat. Gadis itu mungkin selalu memperhatikan kedatangan setiap orang, sehingga ketika dia baru saja muncul, Laras langsung menemukannya. "Kevin, kamu datang!" serunya dengan semangat, tersenyum lebar sembari melangkah cepat ke arah Kevin. Kevin bergumam singkat, memesan makanan dan duduk di meja yang kosong. Hari ini Wawan dan Dion memilih makan cilok yang ada di depan pagar sekolah, sehingga hari ini Kevin hanya duduk ditemani oleh Laras. Laras merasa senang karena akhirnya dua curut itu pergi sehingga dia akhirnya bisa makan berdua bersama Kevin lagi. "Vin, apakah bunga hari ini indah? Aku memilihnya lama sebelum mengambil yang itu, wanginya juga sangat harum, aku suka!" Kevin sama sekali tidak memperhatikan bentuk atau aroma setiap bunga yang dikirimkan Laras akhir-akhir ini, tetapi dia mengangguk santai sebagai jawaban, terlalu malas untuk membahas topik tersebut. "Kamu berhenti mengirimku hal itu lagi, bagaimana pun ujian sekolah akan dimulai minggu depan." Kevin berkata dengan acuh tak acuh, berharap gadis itu menjadi patuh. Sayangnya Laras tidak semudah itu untuk berhenti melakukan apa yang dia minat. Dia terkikik mendengar kata-kata Kevin, namun dengan tegas menggelengkan kepalanya. "Apakah kamu takut nilaiku akan rendah? Tidak perlu khawatir, aku akan belajar semalam sebelum ujian." Kevin melirik Laras sekilas dan memilih diam daripada terus meminta Laras untuk belajar dan gadis itu malah salah paham kepadanya. Ketika kembali ke kelas, Laras dengan senang hati membagikan berita bahagia ini kepada Rena. "Kevin perhatian bangat sama aku," katanya dengan hati yang berbunga-bunga. Rena mendengarkan cerita Laras dengan serius, dan merasa temannya ini sangat mudah dipuaskan. "Mungkin saja Kevin mengatakan itu hanya untuk menghentikan kamu mengirim coklat dan bunga." Laras melotot tajam ke arah Rena, tidak ingin mempercayai dugaan Rena yang tidak ada bagus-bagusnya. "Tidak mungkin, kamu jangan asal ngomong." "Kenapa aku asal ngomong? Bayangin aja jika kamu makan coklat setiap hari, bukankah kamu akan eneg pada akhirnya?" tanya Rena dengan menggunakan logika. Laras mengerutkan bibirnya, tidak ingin mengakui hal tersebut. Dia diam lama untuk berpikir, kemudian mengeluarkan ponselnya untuk mencari ide baru dari internet. Lama dia berselancar di dunia Maya, akhirnya ide yang sangat menakjubkan muncul di depan matanya. "Aku akan buat bekal untuk Kevin!" katanya dengan antusias, merasa sangat bersemangat dengan idenya itu. Rena yang mendengar ucapan Laras langsung memasang ekspresi terkejut. "Kamu? Buat bekal?" tanyanya dengan raut wajah yang jelas tidak percaya. Laras mendengus keras, menganggukkan kepala dengan percaya diri. "Ya! Aku akan memasak nasi goreng dan telur dadar, bukankah itu sangat enak?" "Hahaha, ayo bangun Laras. Kamu masak air saja gosong, gimana caranya masak nasi goreng?" Rena tertawa dengan keras, berpikir bahwa Laras sangat pandai melawak. "Apaan sih, mana ada air gosong." Laras memutar matanya kesal, menjauhkan bangkunya sedikit dari Rena. "Pokoknya aku akan memasak nanti, buat bekal cinta untuk Kevin." Pulang sekolah, Laras berlari ke dalam rumahnya, melemparkan tas ke sofa secara acak dan pergi ke dapur. "Bi Ina? Bi Ina?" panggilnya dengan keras. Di rumah yang besar dan luas, hanya kesunyian yang menjawab panggilannya. Laras memasang ekspresi cemberut, melihat makan siangnya sudah jadi di atas meja yang berarti bi Ina telah pulang. Dia dengan enggan memanaskan masakan di atas meja dan makan dengan suasana hati yang buruk. Padahal dia ingin meminta bi Ina mengajarinya memasak nasi goreng yang enak, tetapi sepertinya dia harus menunggu hari esok untuk itu. Tidak! Perasaannya pada Kevin tidak bisa menunggu hari esok untuk belajar membuat nasi goreng! Laras selesai makan dengan cepat, dia mengganti seragamnya lalu berlari keluar rumah menuju rumah tetangga. "Ibu Rani! Ibu Rani! Ibu Rani!" teriak Laras, bahkan sebelum dia masuk ke dalam rumah. Ketika dia masuk, dia melihat seorang pria yang memiliki tubuh tegap duduk di depan televisi. "Ayah Raka, Ibu Rani mana?" tanya Laras pada pria itu. Raka menunjuk ke belakang dengan dagunya, fokus menonton berita yang ditampilkan di layar televisi. "Ada di dapur, cari saja." "Oke," Laras terkikik dan segera lari ke dapur. "Ada apa Laras? Kalau kamu cari Randi, dia ada di kamarnya," kata Rani saat melihat kedatangan Laras yang bersemangat. Laras menggelengkan kepalanya kuat, "Aku mencari Ibu," katanya dengan senyum malu. "Oh? Ada apa?" Rani menoleh ke arah Laras, dengan penuh minat menatap gadis yang telah dianggap seperti anaknya sendiri. "Butuh bantuan Ibu?" tanyanya dengan lembut. Laras mengangguk antusias, "Bu Rani, tolong ajarin aku masak nasi goreng yang enak dan lezat!" pintanya dengan mata memelas. Mendengar permintaan Laras, Rani sedikit terkejut. "Kamu ingin belajar memasak?" tanyanya untuk memastikan kembali. Laras mengangguk dengan yakin. "Ran, Laras mau belajar masak." Rani menatap ke anak laki-lakinya dan memberitahunya informasi itu dengan senang hati. Laras langsung menoleh ke belakang, menemukan bahwa kakak sepupunya telah masuk ke dapur untuk mengambil air mineral. "Masak untuk apa?" tanya Randi bingung. "Untuk menunjukkan cinta kepada Kevin!" jawab Laras dengan bangga, mengeluarkan senyum lebar yang ceria. Rani menepuk kepala Laras dengan lembut, "Sediakan alat tulis, Ibu akan menyebutkan bahan-bahannya dan memintamu praktek sekarang juga." Laras mengangguk cepat, berlari segera sembari menarik Randi untuk masuk ke kamar kakak sepupunya, dengan gelisah mencari alat tulis. "Randi, kakakku tertampan, dimana buku dan penamu? Aku ingin pinjam, ayo serahkan." "Kembalikan setelah digunakan," kata Randi penuh penekanan sembari menyerahkan buku dan pena kepada Laras. Laras merebut benda di tangan Randi dengan gusar, matanya melotot ganas. "Pelit!" ledeknya segera berbalik untuk lari kembali ke dapur. "Alat tulis sudah siap," katanya segera menunjukkan buku dan pena kepada Rani. Rani kemudian menyebutkan nama-nama bahan dan bumbu yang diperlukan untuk membuat nasi goreng spesial yang enak dan lezat sesuai permintaan Laras. Laras dengan patuh menulis setiap kata yang keluar dari bibir bibinya. Dia terlihat seperti murid yang patuh dan sangat disiplin. Setelah mengatakan semua bahan dan langkah-langkahnya, Rani meminta Laras membuatnya seorang diri dengan pengawasan darinya. "Eum, aku sudah tulis semua, praktiknya besok pagi saja ketika aku akan membuatnya." Laras berkata sembari melihat catatan di buku, itu terlihat mudah dan sederhana. Sepertinya tidak memerlukan kesulitan untuk membuatnya. Rani menggelengkan kepalanya, "Apa yang kamu tahu anak kecil? Bahkan memecahkan telur pun cangkangnya ikut masuk ke wajan, dan kamu menyepelekan hal ini?" Laras merasa malu ketika Rani mengungkit sejarahnya hitamnya. Dia menekan bibirnya sembari berpikir, "Tapi aku sudah makan, nanti siapa yang akan makan nasi gorengku?" "Ada Randi," kata Rani segera membuang masalah ini ke anaknya sendiri. Laras akhirnya mengangguk dan dengan bantuan Rani, dia mulai membuat nasi goreng. Meski Rani mengatakan dia akan membiarkan Laras yang melakukannya, nyatanya sebagian besar proses dilakukan olehnya. Laras hanya membantu untuk hal-hal kecil seperti memecahkan telur, menyiapkan nasi, atau memasukkan semua bahan ke wajan. Namun hal tersebut sudah menjadi kebanggan tersendiri untuk Laras, bagaimana pun dia sebelumnya bahkan enggan untuk sekadar masak air. Setelah nasi goreng dengan aroma yang menyenangkan siap, Laras segera mengambil piring dan menyajikannya dengan rapi. "Aku akan memberikannya ke Randi," katanya sebelum berlari ke kamar kakaknya. "Hati-hati," kata Rani mengingatkan gadis ceroboh itu. "Randi, kamu terpilih sebagai salah satu orang beruntung yang bisa menikmati masakan dari seorang Laras Filandari." Laras menyingkirkan buku dari hadapan Randi dan meletakkan sepiring nasi goreng buatannya di atas meja. "Harum, bukan?" tanyanya dengan bangga. Randi menghirup aroma nasi goreng di hadapannya dan mengangguk. "Kamu sungguh yang membuat ini?" tanyanya dengan pandangan tidak percaya. "Sungguh! Ya ... bersama dengan ibu Rani sih," kata Laras dengan malu. Randi mengangguk paham, bagaimana pun nasi goreng ini ada campur tangan Laras yang memang merupakan makanan yang langka. "Kalau begitu aku akan makan?" "Tidak, lihatin aja terus sampai nasi gorengnya beranak." Laras menjawab ketus, melotot tidak puas pada Randi. "Ya dimakan lah, emang aku buat susah payah untuk apa kalau bukan untuk dimakan?" Randi tertawa kecil, "Aku pikir kamu hanya ingin memamerkannya padaku," katanya dengan jujur. Laras dengan kesal mengacak rambut kakak sepupunya itu gemas. "Dih, ngeselin kamu. Dah ah, aku mau pulang, sediain bahan-bahan untuk besok pagi." Setelah mengatakan itu, Laras benar-benar lari ke luar sembari memegang buku catatan Randi yang berisi resep rahasia nasi goreng spesial ala ibu Rani. Laras segera pergi ke dapurnya, membuka kulkas untuk melihat persediaan apa saja yang kurang dan membutuhkannya pergi membeli ke supermarket. Untungnya, bi Ina selalu ingat mengisi kulkas serta bumbu-bumbu dengan lengkap. Laras sangat serius memperhatikan setiap bahan dan bumbu, lalu akhirnya merasa tenang ketika melihat semuanya tersedia. Di pagi hari, seperti biasanya, Laras terbangun oleh alarm ponselnya. Laras berguling-guling lama di atas tempat tidur, sebelum bangkit mematikan alarm dan bergegas bertempur di dapur. Pertama, dia memasak nasi menggunakan rice cooker— penanak nasi yang mempermudahkan segalanya untuk orang seperti Laras yang tidak tahu masak nasi menggunakan dandang. Selama nasi sedang proses dimasak, Laras mengeluarkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan dan segera mulai membersihkannya. Kemarin, sebagian besar proses pembuatan dilakukan oleh Rani, sehingga Laras sama sekali tidak merasa sulit. Baru sekarang, Laras merasa membuat nasi goreng sangatlah merepotkan. Dia bahkan kesulitan mengupas kulit bawang putih dan merah. Laras menyeka matanya yang berair dengan lengan bajunya, tiba-tiba saja menangis karena memotong bawang merah. "Ahhh! Sakit! Sakit! Sakit!" jerit Laras, melempar pisau dan bawang menjauh darinya dan lompat-lompat di tempat sembari memegang tangan kirinya. Laras dengan ketakutan melihat jari telunjuknya di tangan kiri memiliki garis tipis sepanjang satu senti, cairan kental merah perlahan keluar dari celah garis tersebut. "Pisau sialan! Mati kamu!" umpat Laras kesal, segera membersihkan darah dari jarinya di bawah air mengalir dan menempelkan plester ke lukanya. Dia berjongkok di lantai dengan sedih, merasa takut untuk melangkah ke dapur lagi. Tetapi setelah beberapa saat, dia ingat tujuannya untuk membuat makanan penuh cinta. Tekad Laras langsung kembali bangkit. Luka kecil seperti ini tidak akan bisa membuatnya mundur untuk menunjukkan cinta kepada Kevin! Dengan semangat juang yang kembali berkobar, Laras masuk ke dapur dengan tegas. Matanya langsung penuh permusuhan menatap pisau yang telah menjadi pelaku kekerasan rumah tangga. "Kamu bisa Laras! Kamu pasti bisa!" sorak Laras untuk dirinya sendiri, kembali memegang gagang pisau dan mulai membersihkan kulit bawang lebih hati-hati dari sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD