Menunggu

1389 Words
"Gila sih, kamu belajar menggertak orang darimana? Jika aku tidak tahu, aku akan berpikir kamu sudah sering melakukannya." Rena berdecak kagum kepada Laras, dia sangat menyesal karena tidak membawa ponsel untuk merekam kejadian tadi. Laras tersenyum sinis, "Ini disebut bakat alami," katanya penuh bangga. "Bakat menjadi orang jahat," cibir Rena. Laras mendengus kesal, berjalan kembali ke kelas bersama teman tak dianggapnya itu karena bel masuk akan segera berbunyi. Ketika jam istirahat, Laras segera pergi ke kantin tanpa penundaan. Dia berdiri di tengah pintu, menunggu kehadiran Kevin agar mereka bisa makan bersama lagi. Beberapa murid yang ingin pergi ke kantin merasa sedikit ragu karena Laras menghalangi jalan. Dari ekspresi, tindakan, dan aura tubuhnya membuat orang menjadi segan menegurnya pindah dari tengah pintu. Jadi murid lainnya hanya memilih memeras jalan sempit atau menyerah pergi ke kantin dan mencari tempat lain untuk mengisi waktu istirahat. Lama Laras menunggu namun Kevin tak juga datang, istirahat telah berlangsung setengah waktu sehingga tidak banyak waktu untuk makan dengan damai. Laras berjalan mondar mandir di depan pintu kantin dengan cemas, tatapannya sering tertuju ke koridor mengharapkan pemuda pujaannya muncul dari sana. Namun sayang, harapannya tak tersampaikan. Bahkan setelah bel masuk berbunyi, bayangan Kevin tidak terlihat sama sekali. Laras dengan murung kembali ke kelas dengan perut kosong, namun daripada perutnya, hatinya terasa lebih kosong dan hampa. Dia duduk di bangkunya, memasang ekspresi tak ramah yang membuat orang lain tanpa sadar ingin menjauh darinya, bahkan seorang murid yang duduk di bangku belakangnya harus mengambil jalan memutar untuk duduk di bangkunya sendiri karena takut dengan aura hitam yang menguar tajam dari tubuh Laras. Di antara 31 murid di kelas 11 IPA 2, mungkin hanya Rena yang masih berani untuk mengajak Laras mengobrol. Itu bukan karena dia tidak melihat suasana hati Laras yang sedang buruk, tetapi karena dia telah terbiasa dengan hal ini. Lagi pula, Rena dan Laras telah berteman lama, bahkan jika mereka sering kali berdebat, itu tak memungkiri bahwa mereka saling memahami. "Kamu kenapa? Kevin nolak lagi?" Tanya Rena sembari memakan keripik dengan santai, seolah menunggu Laras menceritakan penderitaannya dan dia akan dengan senang hati mendengarkannya. Laras memutar matanya, dia melirik ke arah Rena sebentar sebelum mencuri kemasan keripik dari tangan Rena. "Kevin tidak ke kantin," katanya dengan cemberut, menggigit keripik kentang rasa ayam panggang yang tak bersalah dengan keras untuk memperlihatkan kekesalannya. "Dih, enak aja!" Rena mengulurkan tangannya merebut kembali cemilan berharganya, "Oh, mungkin saja dia sedang menghindari kamu," katanya dengan anggukan penuh pengertian. Laras hampir meledak ketika mendengarnya, "Tidak mungkin! Kenapa coba Kevin menghindariku?" "Bukankah kamu selalu bawa cermin? Ayo keluarkan dan ngaca, biar kamu tahu alasannya." Rena berkata dengan penuh ejekan di wajahnya. Laras melotot marah, namun dia benar-benar mengeluarkan cermin dari tasnya yang membuat Rena tak bisa berkata-kata. Gadis yang sekarang memiliki ekspresi cemberut itu menatap wajah dalam cermin dengan cermat di setiap sisi tanpa melewati satu inci pun. Lama dia berkutat dengan cermin sebelum dia berkata dengan penuh percaya diri, "Sangat cantik, tidak mungkin ada seseorang yang bisa menolak kecantikan ini." Rena tersedak kripik mendengar kata-katanya, dia batuk dengan keras dan menatap Laras penuh kebencian. "Kenapa kamu begitu tidak tahu malu?" "Karena tahu malu tidak akan membuatku dekat dengan Kevin," kata Laras dengan senyuman. "Seolah ketika kamu tidak tahu malu, Kevin bakal dekat dengan kamu." Rena bergumam rendah, penuh dengan ketidaksetujuan dalam ekspresinya. Guru mata pelajaran masuk ke dalam kelas untuk memulai proses belajar mengajar, namun sepanjang pelajaran, Laras sama sekali tidak berkonsentrasi. Dia terus merenung dengan wajah kosong menatap ke depan, bertanya-tanya kenapa Kevin tidak pergi ke kantin. Lagi pula, di sekolah ini, selain kantin yang ada di lantai satu, hanya ada penjual kaki lima di depan gerbang yang bisa menjadi pilihan para murid untuk mengganjal perut mereka. Dan Laras yakin bahwa Kevin bukan tipe orang yang akan jajan di pedagang kaki lima yang tidak higenis dan murahan. Setelah kelas berakhir, Laras langsung berlari ke kantin. Berpikir bahwa mungkin saja Kevin memiliki kendala ke kantin di istirahat pertama, jadi kemungkinan besar dia datang ke kantin pada istirahat kedua sangat besar. Para murid yang belum berhasil ke kantin sebelumnya datang hanya untuk menemukan gadis dengan sikap dominan di tengah pintu kembali muncul. Jika mereka tidak tahu dengan benar, mereka akan berpikir bahwa Laras adalah penjaga pintu pusaka kantin. Aroma makanan dalam ruangan tercium di indra penciuman Laras, rasa lapar yang terus ditahannya terus melayang di sekitarnya seolah menggodanya untuk makan terlebih dahulu dan tidak perlu untuk menunggu Kevin. Tetapi tidak! Perasaan Laras selalu kuat dan teguh, rasa lapar yang kecil tidak akan mampu menggoyahkan keinginannya untuk makan bersama Kevin. Dia berjalan mondar mandir di depan pintu, setiap kali pintu menjauh dari jangkauannya, ada saja seorang murid yang berjalan cepat untuk masuk ke dalam kantin dengan perasaan bahagia berhasil melalui rintangan yang sulit. Laras tidak tahu dengan mentalitas para murid yang aneh, dia terus merasa cemas dengan ketidakhadiran Kevin. Bel masuk kembali berbunyi, namun Kevin tidak juga terlihat. Dengan perasaan kosong, Laras kembali ke kelas tanpa hasil. Aura hitam di sekitarnya lebih tebal dan penuh dengan perintah untuk tidak mendekat kepadanya. Dia duduk di bangkunya, membenturkan kepalanya ke atas meja dan menahan posisi tersebut dengan depresi. Rena tidak tahan melihatnya seperti itu. Untuk waktu yang langka, dia berusaha untuk menenangkan gadis itu. "Berpikir positif aja, mungkin saja Kevin sedang sibuk. Sibuk dengan yang lain." "Diam kamu!" Seru Laras tidak terima dengan perkataan Rena. Sepanjang hari ini, tidak ada satu pun ilmu pengetahuan yang diserap otak Laras. Bahkan sampai bel pulang berbunyi, Laras terus menahan suasana hati yang buruk yang membuatnya akan cepat marah jika disentuh sedikit pun. Namun, saat dia berjalan keluar dari kelas dengan menyeret tas sekolahnya, tatapannya segera bertemu dengan pemuda tampan yang seharian ada dalam pikirannya. Matanya segera bersinar terang, senyuman yang telah pudar kembali ke wajahnya dengan cepat. "Kevin!" Seru Laras segera berlari ke arah pemuda tersebut. Dia berdiri tepat di depan Kevin, tersenyum centil dengan jari memutar beberapa helai rambut dengan maksud menggoda. "Kamu kemana saja seharian? Aku terus menunggumu, bahkan tidak makan dari tadi hanya untuk bisa makan denganmu," katanya penuh harapan, memberi kode agar Kevin mengajaknya makan bersama. Namun sayangnya, pria di depannya tampak tidak terpengaruh oleh perkataannya. Kode yang dengan jelas diberikan, tak akan terpecahkan di tangan Kevin. "Kamu menemui Tania tadi pagi?" Tanya Kevin. Laras tersenyum karena berpikir bahwa inilah pertama kalinya Kevin mengambil inisiatif untuk bertemu dengannya. Dia berpikir pemuda itu sudah jatuh hati kepada kecantikannya sehingga juga merasa rindu karena seharian belum bertemu. Namun ketika Kevin membuka mulutnya untuk pertama kali, pertanyaan yang tak terduga keluar begitu saja. Barulah saat ini Laras memperhatikan ekspresi wajah Kevin yang tidak baik, tampak menunjukkan permusuhan yang jelas kepadanya. "Tania? Cewek penakut tadi? Ya, aku menemuinya. Tenang saja, gadis itu tidak akan mengganggumu lagi." Laras menjawab dengan jujur, merasa bangga karena telah membantu Kevin membersihkan satu pengganggu dalam hidupnya tanpa sadar bahwa dia sendri adalah pengganggu dalam hidup Kevin. Mendengar ucapan Laras membuat ekspresi Kevin semakin buruk, "Jangan pernah ikut campur dengan urusanku," katanya penuh penekanan. Senyuman Laras membeku, dia melebarkan matanya menatap Kevin dengan tak percaya. "Kenapa? Aku menyukai jadi aku akan melakukan apa pun untukmu!" "Tapi aku tidak menyukaimu," balasan dari Kevin menusuk hati Laras dengan kejam. Merasa belum cukup, pemuda itu terus mengeluarkan jarum dari kata-katanya. "Siapa pun yang dekat denganku bukan urusanmu. Kamu tidak punya hak untuk mengatur hidupku," katanya sebelum berbalik untuk pergi. "Kevin!" Laras berlari ke depan pemuda tersebut, tatapannya keras kepala menunjukkan dirinya yang pantang menyerah. "Kenapa kamu membelanya? Siapa gadis itu sebenarnya? Apakah dia mengadu yang tidak-tidak tentangku kepadamu?" Tanyanya dengan gusar, berpikir bahwa dia akan segera memberi pelajaran kepada gadis itu yang telah membuat Kevin menjadi kesal padanya. Kevin mengernyit, "Itu tidak ada kaitannya sedikit pun dengan Tania, jangan mengganggunya lagi." Setelah itu, dia berjalan pergi meninggalkan Laras dengan langkah besar seolah menghindari Laras mengejarnya lagi. "Kenapa aku tidak boleh mengganggunya?" Laras bertanya-tanya dengan linglung di tempat. Dia melihat punggung Kevin yang semakin menjauh darinya dan ekspresinya segera pecah, "Lalu bagaimana jika aku terus mengganggunya? Aku akan membuat perhitungan untuk orang itu," katanya dengan senyum sinis, dia sama sekali tidak percaya bahwa kedatangan Kevin saat ini bukan karena perbuatan gadis itu. Laras berjalan dengan angkuh, memikirkan berbagai rencana untuk menyingkirkan Tania. Masih banyak murid di koridor sekolah yang menonton pertunjukan mereka, mendengar perkataan Laras yang penuh maksud jahat yang tidak disembunyikan sama sekali membuat mereka tanpa sadar merinding.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD