Sorakan dan Hinaan

1952 Words
Laras masuk ke dalam rumahnya dengan kesal, selama menuju ke kamarnya, dia akan melempar barang-barang ke lantai yang dia temui. Suara benturan keras ke lantai dan pecahan kaca terdengar sebagai peredam emosi untuk Laras. Namun hal itu membuat Laras semakin marah. Dia masuk ke kamarnya, membongkar seprai dan membuang bantal-bantal dari atas tempat tidur. Merasa tidak cukup, dia menendang kursi di sekitarnya. Tangannya terangkat ingin membuang semua benda di atas meja, namun tertahan segera. Kesadaran Laras segera kembali, dia meletakkan tangannya di atas dadanya, menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Hampir saja dia membuang alat riasnya yang telah menemaninya dalam suka maupun duka. Segera dia menjauh dari meja rias, takut kehilangan kendali dan merusak apa yang akan dia sesali nanti. "Laras?" Panggilan dari luar terdengar. Laras melirik sejenak, namun langsung melangkah untuk mengunci pintu. Beberapa saat kemudian, suara ketukan pelan terdengar. "Ibu memintaku membawa makanan ke sini, cepat keluar dan ambil." Laras mengabaikan ucapan Randi, dia mendengus keras dan berbaring diam di atas tempat tidurnya yang telah teracak. Ketika dia marah, dia tanpa sadar menyebarkan amarahnya pada sekitar. Tidak peduli benda ataupun orang, dia akan membenci mereka. Meski itu salah, tetapi Laras tidak bisa mengendalikannya. Dia hanya merasa kesal dan tidak ingin berbicara dengan orang lain. Tetapi bagaimana mungkin Randi tidak menyadarinya? Randi telah mengenal Laras sedari gadis itu masih bayi dan bersama dengannya hingga saat ini. Dia berhenti mengetuk pintu, mengernyit melihat ke pintu yang tertutup rapat. "Aku akan meletakkan makanannya di atas meja makan. Jika kamu berani membuangnya, aku akan mengatakannya kepada Ibu." Randi berkata dengan lantang, berupaya agar Laras mendengarnya. "Pergi!" Seru Laras kesal, melempar satu-satunya bantal yang masih tersisa di atas tempat tidur ke pintu dengan keras. Suara langkah kaki yang menjauh terdengar, setelah beberapa saat, tidak ada lagi suara yang terdengar. Hanya ada keheningan dan kebisuan di sekitarnya. Laras terdiam lama, dia ingin tidur namun perutnya menggerutu minta diisi. Dia akhirnya ingat bahwa dia tidak makan dengan kenyang sebelumnya di kantin dan kembali merasa kesal. Akhirnya dia beranjak dari tempat tidur, memutar kunci, dan membuka pintu. Kekacauan yang dibuatnya sebelumnya telah dibersihkan. Tidak ada lagi pecahan kaca di lantai atau pun benda-benda keras yang dilemparnya. Lantai kembali bersih seperti semula, seolah Laras tidak pernah mengacaukannya. Laras melihat hal tersebut, namun dia sama sekali tidak peduli. Dia pergi ke meja makan dan melihat sebuah kotak makan elektrik terletak di atasnya. Dia ragu-ragu sejenak, lalu membuka kotak makanan tersebut. Asap tipis segera keluar setelah terbebaskan, disertai dengan aroma kaldu yang kental membuat Laras meneguk ludahnya. Tanpa menunggu lama lagi, dia segera menghabiskan sup ayam dari kotak makanan tersebut dengan lahap. Tak sampai beberapa saat, rantang makanan telah kosong tanpa sisa. Laras bersendawa puas, dia mengambil air minum dan meninggalkan kotak makanan begitu saja di atas meja. Biarkan nanti pembantu rumah tangga datang dan membereskannya. Mungkin makanan bisa menurunkan emosi seseorang sehingga Laras merasa dia tidak terlalu kesal lagi dan dapat berpikir jernih. Dia duduk di sofa ruang tengah dengan malas, televisi di depannya kini memutar program varietas yang penuh dengan efek suara berlebihan. "Bagaimana caranya untuk membuat gadis itu menjauh dari Kevin tanpa ketahuan sama Kevin?" Laras bergumam pelan, kakinya berayun pelan ke atas ke bawah ketika dia sedang berpikir keras. Laras jarang menggunakan otaknya untuk berpikir, sehingga ide sama sekali tidak muncul bahkan setelah acara di televisi telah berganti. Dia menggelengkan kepala kuat, frustrasi dengan tingkat kebodohannya yang tampaknya tidak menunjukan perbaikan. "Bodoh amat, kalau jauhin tinggal jauhin saja. Selama mulut gadis itu ditutup, Kevin pasti tidak akan tahu." Itu yang dia pikirkan, dan itu pula yang dia lakukan. Hanya saja Laras menemukan bahwa Kevin dan Tania tampaknya lebih dekat dalam sehari. Ketika di sekolah, dia mencoba untuk mencari Tania di kelasnya namun tidak menemukannya hingga bel berbunyi. Ketika dia mencari sampai ke daerah terpencil di sekolah, Laras menemukan bahwa selain jam pelajaran, Tania— gadis itu selalu bersama Kevin. "Apaan sih cewek ini? Kayaknya sengaja bangat mancing emosiku," kata Laras kesal. Dia menendang kaki meja di hadapannya yang membuat murid yang duduk di depannya tersentak kaget. "Ras, jangan nendang-nendang gitu," tegur murid itu. Laras hanya bergumam malas, sama sekali tidak menganggapnya serius. Ketika murid tersebut berbalik lagi ke depan, Laras dengan usil menendang kaki meja lagi yang langsung membuat murid di depannya marah. "Aku lagi nyalin PR, Maemunah. Diem dikit, napa dah?" "Oh? Emang hari ini ada PR?" Laras menaikan alisnya, bertanya dengan santai. Namun sebelum ada yang bisa menjawabnya, guru masuk ke dalam kelas dan menjawab pertanyaan itu. "Pekerjaan rumah kumpulkan di atas meja, yang tidak kerjakan maju ke depan." Laras langsung panik, dia menatap ke arah Rena yang mengeluarkan buku tugasnya dan ingin mengantarnya ke meja depan. "Kamu kerjakan PR dan tidak beritahu aku?" Tanyanya dengan tatapan tidak percaya, merasa telah dikhianati. "Lah, kamu tidak minta jadi aku pikir kamu sudah selesai." Rena mengelak dari tuduhan Laras, dia menggelengkan kepala dengan tatapan tak berdaya. "Tolong sisakan ruang sedikit untuk belajar di otakmu, jangan melulu tentang Kevin, Kevin, dan Kevin." "Apaan sih, sudah pergi sana!" Laras mengebaskan tangannya ke arah Rena, mengusirnya untuk pergi mengantar bukunya. Sedangkan dia dengan enggan melangkah ke depan bersama dua murid lainnya yang tidak mengerjakan tugas. "Kalian kenapa tidak mengerjakan tugas?" Tanya Bu Ranti, guru Matematika yang terkenal galak. Matanya yang melotot bulat menatap satu persatu murid yang tidak mengerjakan tugas rumahnya. Melihat ketiganya diam tanpa jawaban, Bu Ranti segera menunjuk ke pintu. "Berdiri di luar sampai pelajaran selesai!" Titahnya dengan tegas. Laras dan dua murid lainnya dengan patuh berjalan ke luar kelas. Sesampainya di luar, angin sepoi-sepoi yang nyaman menghantam wajah mereka. Laras menarik napas panjang dengan rakus, merasa sangat segar. "Hukuman yang indah," gumamnya sembari berdiri di tempat angin terus menerpa. Dua murid lainnya adalah Rahmat dan Halim, murid yang sering menimbulkan masalah di kelas dan terbiasa menerima hukuman. Jadi mereka bertiga berdiri di luar kelas, daripada tertekan, mereka malah asik mengobrol sendiri. "Buset dah Ras, kamu punya Rena di sampingmu, kenapa ikut berdiri disini juga?" Tanya Halim, pemuda memiliki rambut landak yang berdiri tajam tampak akan menusuk orang lain jika menyentuhnya. Laras menyipitkan matanya, menikmati angin silir menyisir rambutnya. Mendengar pertanyaan dari teman sekelasnya, dia menoleh sedikit dengan alis terangkat. "Bagaimana denganmu? Kenapa ada disini dan tidak menyontek ke teman sebangkumu?" Halim tertawa, "Aku ingin nyontek, tapi lihalah siapa teman sebangkuku." Saat mengatakan itu, dia merangkul pundak Rahmat yang cengir. Mereka berdua duduk bersama, memang bukanlah hal yang baik. Laras merasa itu lucu dan tertawa kecil, "Kalian mending ganti tempat duduk deh." Halim dan Rahmat terpaku menatap Laras. Gadis itu selalu tampak garang dengan wajah angkuh yang menatap orang lain dengan sinis. Sangat jarang bisa melihatnya tersenyum seperti ini, terlebih lagi efek angin yang berembus menerbangkan beberapa helai rambutnya. Cahaya dari sinar matahari tampak silau, membuat kehadiran Laras tampak seperti makhluk surgawi yang tak terjangkau. "Ras, kamu move-on saja dari Kevin. Sama aku saja," kata Rahmat tanpa sadar. Senyuman di bibir Laras segera hilang, dia memutar matanya dengan tatapan mengejek. "Tolong ya, aku menyukai Kevin dan akan menjadi kekasihnya. Jangan bermimpi terlalu jauh," katanya. "Tetapi dia tidak suka sama kamu, mending sama aku kan? Tampan, ramah, dan juga mau menemanimu di luar kelas seperti ini." Rahmat mempromosikan dirinya sendiri, menghitung kelebihannya jika dibandingkan dengan Kevin. Laras mendelik jijik, "Apanya menemaniku, itu karena kamu juga dihukum!" Dia mengalihkan pandangannya, mengabaikan kedua pemuda di sekitarnya. Enak saja memintanya move-on dari Kevin, sebelum Kevin menjadi miliknya, itu adalah hal mustahil untuk menghilangkan rasa sukanya ini. Dua pemuda itu dengan bercanda terus menggoda Laras, menghasutnya untuk melupakan Kevin, lagi pula pemuda yang tidak bisa menghargai keindahan tidak pantas untuk memilikinya. "Diam kalian!" Seru Laras kesal, dia mengernyit ke suatu arah, sepertinya mendengar beberapa sorakan serta percakapan dari arah tersebut. "Kelas apa yang olahraga hari ini?" Tanyanya dengan penasaran, lalu matanya segera berbinar terang. "Ini kelas Kevin!" Dia tanpa peduli dengan apa pun segera berlari menuju ke lapangan basket yang kini dikuasai oleh kelas 12 IPA 1. Di lapangan basket sedang berlangsung pertandingan antara pemuda dari kelas 12 IPA 1, sedangkan untuk para gadis berdiri di samping lapangan bersorak dan memberi semangat. Laras ikut bergabung dengan pemandu sorak tanpa peduli bahwa hanya dia murid kelas 11 yang bergabung dengan para kakak kelas 12. Dia berjinjit, mencari kehadiran Kevin dan menemukan bahwa pemuda itu sedang memantulkan bola di lantai sembari melangkah maju. Segera dia ikut bersorak, suaranya lantang mengalahkan semua sorakan para gadis di sekitarnya. "Kevin! Ayo Kevin! Kamu pasti bisa! Maju terus! Kalahkan mereka! Mereka hanyalah sebutir pasir kecil yang tak terlihat dibandingkan kamu!" Teriak Laras lantang. Suaranya membuat beberapa gadis lainnya berhenti bersorak dan menoleh untuk menatap aneh kepada Laras. Beberapa pemain di lapangan juga langsung menoleh untuk mencari siapa orang yang berteriak itu. Namun Laras tidak pernah peduli dengan apa yang orang pikirkan dan katakan tentangnya. Dia melompat-lompat di tempat, matanya hanya terpaku pada Kevin seolah hanya pemuda itu yang ada di lapangan dan yang lainnya adalah angin yang tak perlu dihiraukan. "Ayo, Kevin! Kamu pasti bisa! Kamu yang terbaik!" Kevin merasa kesal dalam hatinya, namun tetap mengabaikan suara bising dari gadis yang selalu mengganggunya itu. Ketika dia telah setengah jalan ke ring lawan, bola di tangannya direbut. Dia menoleh dan melihat Randi berlari melewatinya membawa bola dengan lincah melewati setiap lawan dan membuat posisi aba-aba akan melempar bola. Saat itu, Laras langsung menjerit. "Randi! Apa yang kamu lakukan?! Itu bola Kevin! Kembalikan bola Kevin! Jangan curang!" Tangan Randi yang terulur dan menembak segera tergelincir, bola di tangannya jatuh bahkan tidak mengenai pinggir ring. Dia menghela napas panjang, menoleh untuk menatap ke arah Laras dengan lelah. Laras melihat bahwa bola berada di tangan tim Kevin, dia kembali bersorak. Di lapangan tersebut, hanya suara keras Laras yang terdengar bersorak untuk tim Kevin dan menghina tim lainnya. Sehingga tidak heran jika tim Kevin menang dengan penuh tawa mengejek tim lawan. Mereka benar-benar menyukai cara Laras memuji-muji tim mereka dan menjatuhkan tim lawan. Setelah pertandingan selesai, Laras melihat botol mineral yang masih tersegel, mengambilnya, dan berlari ke arah Kevin. "Kamu sangat keren!" Serunya bahagia, menyerahkan sebotol air pada Kevin. Kevin berjalan melewatinya, pergi ke bangku panjang dan mengambil sebuah botol air beserta handuk. "Aku sudah punya air, berikan saja pada yang lain," katanya dengan acuh tak acuh. Laras menatap botol di tangannya, dia ingin membuangnya namun melihat sosok kakak sepupunya mendekat. "Randi, buat kamu!" Serunya sembari melempar botol mineral kepada Randi. Randi melihat botol di tangannya, lalu ke sebuah tempat dimana dia meletakkan botol airnya sebelumnya telah lenyap. Dia menggelengkan kepalanya tak berdaya dan meminum air dengan ujung matanya mengawasi adiknya yang selalu membuat masalah. "Kevin! Kamu pasti lelah, duduk saja dulu." Laras mengarahkan Kevin untuk duduk di bangku panjang. Dia mengambil handuk kecil dari tangan Kevin, kemudian dengan hati-hati menyeka keringat di dahi pemuda tersebut. "Loncatanmu tadi itu sangat keren, terlebih lagi saat kamu menggiring bola, itu bagus bangat. Orang lain sama sekali tidak bisa menyentuhmu, kamu menghindar sangat cepat. Dan juga sekali tembak, kamu langsung mengenai keranjang ..." Kepala Kevin hampir meledak mendengar semua omong kosong Laras. Dia terus menjauhi wajahnya dari handuk yang yang dipegang Laras, ingin sekali mendorong gadis ini menjauh darinya. "Kenapa kamu tidak masuk di kelas?" Tanya Kevin, berharap bisa membuat gadis ini pergi sesegera mungkin. Laras menggigit bibirnya, tidak mungkin menceritakan bahwa dia tidak mengerjakan tugas rumah dan diusir dari kelas oleh guru yang mengajar. Dia hanya bisa menggunakan otaknya yang berkarat untuk membuat alasan. "Itu, ada tugas yang diberikan guru. Siapa pun yang telah selesai boleh istirahat duluan. Aku selesai lebih cepat dari yang lain, jadi tidak perlu ada di kelas lagi." Dia berkata dengan ekspresi percaya diri, merasa jawabannya sangat bagus. "Soal itu sangat mudah, aku bisa menjawabnya bahkan tanpa perlu menghitungnya di buku," lanjutnya dengan usil membuat kesan pintar untuk dirinya sendiri kepada Kevin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD