Janjian

1084 Words
Kevin hanya mengangguk singkat, tidak terlalu peduli dengan kata-kata Laras yang melebih-lebihkan dirinya sendiri. Dia menghentikan tangan Laras yang begitu gigih ingin menyeka keringatnya. "Aku bisa sendiri," katanya yang merebut kembali handuk kecilnya. Dia bangkit berdiri lalu melangkah untuk bergabung dengan teman-temannya. Laras tentu saja tidak akan menyerah. Dia mengikuti langkah Kevin, menjaga jarak tak lebih dari satu meter dari pemuda impiannya itu. Suaranya yang ceria dan semangat dengan sentuhan centil dan menggoda terus terngiang-ngiang di telinga Kevin, membuat orang lain melihat mereka dengan tatapan aneh dan penasaran. Meski Laras tidak peduli dengan tatapan orang lain padanya, tetapi Kevin peduli dengan itu. Kevin telah terbiasa menjadi perhatian umum, sering kali menerima tatapan penasaran dan pujaan oleh orang lain. Namun untuk tatapan yang tampaknya penuh makna dan tawa, Kevin merasa dirinya sedang diejek. Itu membuatnya tidak nyaman. "Aku masih dalam jam pelajaran, jangan mengganggu." Kevin berkata dengan dingin. Namun sepertinya filter yang diberikan Laras pada Kevin telah sangat tebal sehingga dia mengubah maksud pengusiran di mulut Kevin menjadi sebuah undangan di telinga Laras. Mata Laras bersinar terang, senyumannya tertarik ke atas, di bawah sinar matahari yang menyengat dia tampak yang paling bahagia. "Maksudmu kamu ingin bertemu denganku setelah jam pelajaran?" Tanya Laras dengan rasa senang yang meluap, tanpa menunggu jawaban dari Kevin, dia segera mengangguk. "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Sampai jumpa di kantin," katanya sembari melambai semangat. Laras berjalan sembari melompat-lompat kecil ke arah kelasnya. Di setiap beberapa langkah, dia akan menoleh untuk menunjukkan senyum mempesonanya kepada Kevin. Banyak pemuda yang melihat segera jatuh hati dengan senyuman itu, namun Kevin tampak tak terpengaruh, dia mengalihkan pandangannya dan kembali bermain basket dengan yang lain. Ketika Laras kembali, dia melihat guru Matematika— Bu Ranti menatap galak ke arahnya di tengah pintu kelas. Jika saja tatapan bisa membunuh orang, maka Laras akan mati saat ini juga. "Darimana saja kamu? Ibu memintamu untuk berdiri di luar kelas, kenapa malah keluyuran?" Tanya Bu Ranti dengan suara lantang yang menggetarkan jiwa. Laras segera menundukkan kepala, menunjukkan penampilan murid yang teraniaya. "Aku dari toilet, Bu." Dia menjawab dengan suara kecil, melirik sesekali pada guru yang sedang mengamatinya untuk mencari tahu apakah dia berbohong atau jujur. Akhirnya, berpikir bahwa Laras mungkin saja jujur dan memiliki masalah mendesak di toilet, Bu Ranti menganggu dengan enggan mengakui kekalahan. Dia memberi syarat untuk masuk ke kelas dengan kepalanya lalu kembali berdiri di depan kelas untuk memberi pengarahan. "Ini tugas rumah kalian, jangan sampai ada yang tidak mengerjakannya lagi." Ketika dia mengatakan hal ini, tatapannya segera tertuju pada tiga murid tertentu yang tidak mengerjakan tugas rumah sebelumnya. Laras segera membuat ekspresi serius di wajahnya, dia mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti dan mengambil buku acak dari lacinya untuk menyalin beberapa biji soal yang ada di papan tulis. Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi, Bu Ranti mengakhiri kelas dan berjalan dengan penuh martabat meninggalkan kelas. Laras terkikik, dia membuang semua alat tulisnya di dalam laci meja dan bangkit untuk bergegas ke kantin. "Kamu mau kemana buru-buru gitu?" Tanya Rena dengan heran. Laras sepertinya teringat sesuatu, dia segera membuka tasnya dan mengaduk di dalamnya untuk mencari sesuatu. "Kantin, ketemu Kevin." Jawabnya cepat. Dia menarik cermin ke luar dari dalam tasnya, melihat bayangan dirinya dengan hati-hati dan mulai meng-upgrade riasan wajahnya yang luntur. "Aku sudah cantik kembali, kan?" Tanya Laras pada Rena dengan tergesa-gesa, merasa bahwa Rena sangat lambat menjawab, akhirnya dia menjawabnya sendiri. "Ya, aku rasa aku sudah sangat cantik." Kemudian dia mengembalikan semua alat riasnya ke tas dan berjalan cepat sembari bersenandung menuju ke kantin. Rena yang masih duduk di bangkunya menggelengkan kepala dengan heran, dia mengambil sebungkus keripik dari tasnya sembari bertanya-tanya. "Bagaimana bisa gadis itu selalu bisa mengembalikan antusiasmenya mengejar cowok setelah gagal berkali-kali?" Tentu saja pertanyaan itu tidak mungkin ada di pikiran Laras. Bagi Laras, apa yang dia minati harus dia miliki. Lagi pula semakin berkualitas sesuatu yang diimpikannya, pasti semakin sulit untuk mendapatkannya. Jadi memang butuh perjuangan dan kerja keras untuk mendapatkan itu semua. Laras pergi ke kantin, dia melihat ke arah kantin dan menemukan Kevin telah menempati meja bersama dua temannya. Segera, Laras juga memesan makanan dan bergabung dengan meja tersebut. "Hai, Kevin. Kamu menunggu lama ya?" Tanya Laras dengan nada bersalah. Kevin hampir saja memutar matanya ketika mendengar pertanyaan itu. Dalam hatinya dia menjawab bahwa Laras datang terlalu cepat, seharusnya gadis itu datang ke kantin ketika dia telah selesai makan dan pergi. Namun malah kedua teman Kevin yang menjawab dengan antusias. Mereka berdua menggelengkan kepala dengan senyuman, menyambut Laras dengan hangat. "Tidak lama sama sekali, silakan duduk dan makan." Laras hanya mengangguk kepada keduanya, kemudian perhatiannya kembali teralihkan kepada Kevin— sang pemilik hatinya. "Vin, aku dengar malam ini pembukaan pasar malam. Kamu mau pergi?" Kevin mengernyit, dia membuka mulutnya ingin menolak. "Iya, pergi! Kevin, kami, dan beberapa lainnya sudah janjian untuk pergi ke pasar malam nanti." Temannya— Wawan menjawab dengan semangat, dia bahkan tersenyum menawarkan. "Kamu juga ingin pergi?" Kevin segera memberikan tatapan tajam pada Wawan, memberi isyarat agar dia menutup mulutnya. Memang benar bahwa sebelumnya di kelas, Kevin telah janjian dengan beberapa temannya untuk pergi ke pasar malam untuk bersenang-senang. Tetapi jika kehadiran Laras ditambahkan, maka itu tidak bisa lagi disebut bersenang-senang. Awalnya Laras sedikit tidak senang karena Kevin telah memiliki janji dengan teman-temannya, padahal dia hanya ingin berduaan dengan Kevin. Tetapi dia sadar bahwa kemungkinan Kevin menolak berduaan dengannya sangat besar sehingga pergi dengan yang lain juga merupakan ide yang bagus. Jadi Laras mengangguk antusias, "Pergi, pergi!" Serunya senang. "Kalian janjian dimana? Jam berapa?" Dia bertanya dengan teliti, takut melewatkan waktu hiburan bersama Kevin. Dion— pemuda yang duduk di seberang Wawan menjawab dengan mudah. "Bukankah Randi kakakmu? Ikut saja dengannya, dia juga bersama kami." "Dia ikut?" Tanya Laras sedikit ragu. Setahunya, kakak sepupunya itu sangat jarang pergi ke tempat hiburan seperti itu, terlebih lagi di keramaian yang berisik. "Ya, dia awalnya menolak, tetapi kami terus memaksanya. Bagaimana pun dia jarang ikut berkumpul," kata Wawan. "Hum, dia memang selalu seperti itu." Laras mengangguk untuk mengungkapkan persetujuannya. Kemudian dia tersenyum manis pada Kevin, "Aku akan pergi dengan kakakku sebentar malam. Pasti mengasikkan bisa jalan-jalan denganmu. Kita bisa bermain beberapa wahana di sana." Kevin melirik Laras yang tampak berseri-seri, gadis itu mulai membahas beberapa wahana yang ingin dia mainkan dan memberi penjelasan serta ulasan yang detail. Sejenak muncul ide di pikiran Kevin untuk mengajak Tania juga ke pasar malam. Gadis polos dan lembut itu mungkin saja akan menerima ajakannya dan memainkan beberapa wahana bersama. Bagaimana pun hubungan mereka tampaknya sudah cukup untuk saling mengajak ke luar satu sama lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD