Tampil Cantik

1887 Words
Pulang sekolah, Laras tidak langsung pulang ke rumahnya tetapi malah pergi ke rumah tetangga tepat di samping kiri rumahnya. Karena telah terbiasa, dia tidak mengetuk dan langsung membuka pintu begitu saja untuk masuk. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, dia tidak melihat keberadaan seseorang pun sehingga dia mulai melangkah lebih dalam untuk mencari sembari memanggil. "Randi? Kak Randi? Kak Randi Randi? Kakakku yang tampan yuhuuu!" "Laras? Kamu baru pulang?" Suara seorang wanita yang lembut terdengar, Laras segera menoleh dan menemukan Rani— ibunya Randi sekaligus bibinya sedang berdiri di belakangnya. Laras mengangguk, "Iya, baru aja. Ibu Rani, Randi sudah pulang?" Rani tersenyum kecil, wajahnya yang lembut tampak berseri menyamarkan umurnya yang tak lagi muda. "Dia sepertinya ada dalam kamarnya. Kamu temui saja." "Baik," Laras mengangguk dan ingin bergegas bertemu Randi. "Oh, iya, sekalian nanti makan siang disini." Rani buru-buru berkata sebelum Laras sempat melangkah. Laras berpikir sejenak sebelum mengangguk lagi, "Baik, Bu." Dia kemudian berlari dengan antusias untuk menemui kakak sepupunya itu. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, Laras sama sekali tidak menganggap dirinya berada di rumah orang lain. Dia dengan begitu alami membuka pintu kamar Randi dan menemukan pemuda itu sedang duduk di depan meja belajar dan menulis sesuatu di lembaran buku. Laras segera berdecak lidah, "Baru pulang sekolah dan kamu langsung belajar? Apakah kamu akan mati jika tidak cukup belajar?" Randi mengangkat kepalanya, menoleh ke arah suara dan segera kembali fokus mengerjakan soal setelah mengetahui bahwa itu adalah Laras. "Ada apa?" Tanyanya dengan tatapan lurus ke soal Fisika. "Randi," Laras terkikik sejenak, dia melangkah mendekati Randi dan merebut buku di atas meja untuk menarik perhatian pemuda itu. "Sebentar malam kamu akan pergi ke pasar malam, kan?" Bukunya telah direbut sehingga Randi dengan terpaksa melihat ke arah adik nakalnya. Ketika mendengar pertanyaan Laras, dia mengangguk dengan enggan. "Ya, sangat merepotkan." "Apanya yang merepotkan? Bukankah bagus pergi ke luar dan bermain?" Tanya Laras dengan tatapan tak percaya. Randi tidak terpengaruh dengan perkataan Laras, dia memiliki pola pemikiran tersendiri. "Lebih bagus di rumah dan mengerjakan soal-soal," balasnya. Laras memutar matanya ketika mendengar ucapan tak masuk akal dari pemuda di depannya itu. Dengan malas, dia mengebas-ngebaskan tangannya. "Ya, ya, ya, itu urusanmu. Aku hanya ingin bilang bahwa aku juga ingin ke pasar malam." "Kamu pergi dengan siapa?" Tanya Randi dengan kening berkerut. "Denganmu," jawab Laras tersenyum lebar. "Nanti malam, jam setengah 8 aku datang kemari." Ekspresi Randi sedikit berkurang ketika mendengar jawabannya, jika Laras pergi dengannya, dia bisa sedikit mengontrol gadis itu dan mengawasinya. Sangat berbahaya membiarkannya pergi sendiri tanpa pengawasan, siapa yang tahu hal buruk apa lagi yang akan dibuatnya? Randi mengangguk pelan, "Baiklah, kamu makan siang disini saja." "Ya, Ibu Rani juga memintaku makan di sini. Mana laptopmu? Aku mau nonton YouTube," Tanya Laras. "Tempat biasanya," Randi menjawab sembari merebut kembali bukunya dari tangan gadis itu. Sore harinya, Laras membuat panggilan video dengan Rena namun tidak ada jawaban. Sayangnya Laras bukan tipe orang yang akan menyerah. Dia terus memanggil hingga pada percobaan keempat, Rena akhirnya mengangkatnya. Di layar ponsel, muncul gambar seorang gadis yang memiliki mata setengah tertutup. Kepalanya bersandar di atas bantal dengan tempat tidur yang terlihat jelas. "Ada apa sih?" Tanya Rena dengan suara sengau, sepertinya dia masih sangat mengantuk. Laras melihat penampakan Rena dan tak bisa untuk tidak bertanya, "Kamu baru bangun tidur?" "Aku masih tidur jika kamu tidak menelepon saat ini!" Seru Rena dengan kesal. "Katakan, ada apa? Jika tidak penting maka aku akan langsung memblokir nomormu." "Aku akan kencan dengan Kevin sebentar malam," kata Laras langsung, kebahagiaan dari ucapannya meluap sehingga Rena bisa melihatnya dengan jelas. Mata Rena yang setengah tertutup segera terbuka lebar. Dia melihat ke layar ponselnya dan menemukan bahwa temannya itu saat ini memiliki wajah bahagia seolah bisa terbang kapan saja. "Kamu bercanda? Atau apakah aku saat ini masih tidur dan sedang bermimpi? Ya, kalau tidak kenapa bisa seorang Laras berkencan dengan Kevin?" "Asal ngomong kamu!" Seru Laras kesal, "Aku jujur sejujur jujurnya, aku sebentar malam akan ke pasar malam dengan Kevin!" "Bohong, bagaimana bisa?" Tanya Rena, ketidakpercayaan terlihat jelas di wajahnya tanpa maksud disembunyikan sama sekali. "Kenapa tidak bisa?" Laras bertanya dengan tidak puas, "Aku serius akan pergi ke pasar malam dengan Kevin malam ini." Rena memperhatikan raut wajah Laras dengan hati-hati sebelum berkompromi. "Baiklah, baiklah, coba kamu cerita bagaimana bisa kamu membuat Kevin bersedia kencan denganmu?" "Ya ... Itu ... Kevin dan teman-temannya pergi ke pasar malam dan mereka mengajakku, ya sudah aku ikut." Laras sedikit tak nyaman ketika mengatakannya dengan jujur. Rena hampir saja tertawa ketika mendengarnya, untung saja dia sudah terlatih untuk menahan dirinya di depan Laras atau dia akan membuat gadis dengan harga diri yang tinggi itu marah besar. Dia hanya bisa mengatasi rasa lucu yang menggelitik perutnya dan dengan hati-hati mengingatkan temannya itu. "Ras, kencan adalah kegiatan antara dua orang. Apakah kamu tahu?" Tanya Rena dengan lembut. Laras mengangguk, "Tentu saja aku tahu." "Tidak, tidak, kamu tidak tahu. Jika kamu tahu kencan adalah kegiatan antara dua orang, bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa kamu akan kencan dengan Kevin saat ternyata masih ada teman-teman Kevin di sana?" Tanya Rena dengan ekspresi seolah sedang melihat orang bodoh. Laras mendengus, "Lalu bagaimana jika ada orang lain? Aku akan bersama Kevin dan melakukan hal-hal bersama Kevin. Untuk orang lain cukup abaikan mereka atau tinggal menjauh saja dari mereka." "Ya, terserah kamu saja," kata Rena tak peduli. "Jadi untuk apa kamu meneleponku?" "Apakah kamu ingin ikut sebentar malam?" Tanya Laras dengan baik hati menawarkan. Rena ingin ikut, tetapi dia akhirnya hanya menggelengkan kepala dengan kecewa. "Tidak, aku ada urusan sebentar malam." "Oh, baiklah, kalau begitu bantu aku memilih pakaian." Laras langsung mengatakan maksudnya melakukan panggilan video dengan Rena. Sebelumnya, Laras telah membuka lemari untuk memilih gaun cantik yang ingin digunakannya. Tetapi telah banyak dia mengeluarkan gaun serta mencoba memilih yang terbaik dari yang terbaik, tetapi dia merasa dilema dan hanya membuang-buang waktu. Akhirnya dia memutuskan memanggil temannya— Rena untuk meminta pendapatnya. Rena juga pintar bekerja sama dengan Laras, bagaimana pun dia sudah lama berteman dengan gadis tersebut. Jadi dia tahu dengan kekhwatiran Laras dan bersedia membantunya. "Baiklah, tunjukan gaun-gaunmu." Laras segera menempelkan ponselnya di cermin lemari dengan ketinggian yang pas dengan ukuran tubuhnya. "Coba lihat gaun ini," kata Laras mengambil sebuah gaun yang ada di atas tempat tidurnya, yang telah dia perhatikan sebelumnya. Rena awalnya dengan senang hati membantu, namun setengah jam kemudian dia merasa menyesal karena telah memiliki niat baik terhadap Laras. Telah lama dia berkomentar dan mendukung berbagai gaun, tetapi Laras terus menolaknya. Gadis yang berpikir dia akan kencan itu merasa bahwa setiap gaun memiliki kekurangan dan tak dapat bersanding dengan dirinya yang cantik. Mendengar hal seperti itu membuat Rena memutar matanya kesal. Jika Laras tidak menerima pendapatnya, lalu untuk apa menanyakan pendapatnya?! "Sudahlah, aku lelah. Mungkin lebih baik aku lanjut tidur saja," kata Rena dengan kesal. Laras segera melotot, "Aku belum selesai dan kamu sudah ingin tidur kembali. Sebelum aku selesai memilih gaun, kamu tidak boleh tidur!" "Terus aku harus bagaimana? Kamu menanyakan pendapatku dan aku dengan senang hati berpendapat, tetapi kamu selalu menentangnya! Aku mengatakan yang warna hitam bagus, tetapi kamu merasa itu sangat gelap di pakai di malam hari. Aku mengatakan warna merah sangat indah, tetapi kamu mengatakan itu terlalu terang dan berlebihan dipakai di pasar malam. Aku mengatakan yang putih sangat elegan, tetapi kamu mengatakan bahwa itu sangat sederhana dan menurunkan nilai kecantikanmu. Dan semuanya kamu selalu seperti itu. Kalau semua baju tidak cocok untukmu, maka kamu tidak perlu memakai apa pun!" Sembur Rena segera mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Jika dia ada di depan Laras saat ini maka dia mungkin akan mengulurkan kedua tangannya untuk mencekiknya. Laras berdecak lidah, "Baiklah, jangan marah. Menurutmu di antara semua yang aku tunjukan tadi yang mana yang bagus?" Rena menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, berusaha untuk menghilangkan emosinya. "Yang warna biru, itu bagus dan pas untukmu, tidak terlalu sederhana atau pun berlebihan." Laras mengambil gaun warna biru yang dikatakan Rena dan menggelengkan kepala tanpa sadar, "Tetapi ini terlalu—" "Kamu menolaknya lagi maka jangan pernah meminta pendapatku lagi!" Seru Rena dengan keras, matanya melotot ke arah Laras seolah ingin menerkamnya. "Siapa bilang aku menolaknya? Aku mau bilang ini terlalu bagus dan aku akan memakainya!" Balas Laras dengan suara keras juga. Akhirnya, Laras benar-benar memilih gaun biru tersebut, gaun yang hampir saja merusak persahabatan dua gadis. Kemudian dia terus meminta pendapat Rena tentang tas, sepatu, perhiasan, dan bahkan gaya rambut. Setelah semua dibahas, dia melihat jam dan menemukan bahwa tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat. Dia merasa panik dan dengan tegas memutuskan panggilan video yang sedang berlangsung. Tanpa penundaan lagi, dia segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Dia memakai segala macam perawatan tubuh terbaik yang dimiliki, bekerja sangat keras untuk terlihat baik melebihi ketika dia menghadapi ujian. Ketika semua telah selesai, dia melihat bahwa hanya tersisa tiga menit lagi sebelum jam setengah 8. Dia buru-buru memakai sepatu hak tingginya dan berjalan ke rumah Randi. Di depan rumah, Randi telah mengeluarkan mobilnya dari bagasi dan duduk di dalamnya menunggu kedatangan Laras. Di tangannya, dia memegang buku cetak tebal, tampaknya jiwanya masih berada dalam buku sementara tubuhnya akan pergi bersenang-senang. "Kenapa kamu belajar lagi?" Tanya Laras mengambil tempat di co-driver. Randi menutup buku cetaknya dan mulai menyalakan mesin mobil, "Aku akan ikut kompetisi Fisika antar 5 sekolah lusa," jawabnya. Laras mengangguk dengan asal, tidak terlalu peduli dengan kompetisi apa yang diikuti Randi. Lagi pula dia juga tidak akan mengerti bahkan jika dia peduli. "Kenapa kita tidak naik motor saja?" Tanyanya mengganti topik sesegera mungkin. "Lihat saja tuan putri yang aku antar, aku tidak akan berani membawanya menggunakan motor." Randi menyindir dengan halus, mulai menjalankan mobil dengan kecepatan yang terbilang lambat. Laras terkikik dengan ungkapan tuan putri yang diberikan Randi padanya, dia membuka cermin dan mengamati riasan wajahnya untuk memastikan bahwa kali ini dia sudah sangat cantik sehingga Kevin akan terpesona olehnya. "Apakah aku sudah cantik?" Tanya Laras dengan antusias. "Um," gumam Randi pelan. "Sangat cantik sehingga Kevin akan menyukaiku?" Tanya Laras lagi. Kali ini Randi tidak bergumam, dia melirik sekilas Laras dan berkata dengan jujur. "Jangan terlalu berharap.' "Apanya? Jawab saja ya atau tidak?!" Ketus Laras. "Tidak," jawab Randi dengan pelan. Laras melotot marah, dia memalingkan kepalanya melihat ke jendela, berdiam diri selama perjalanan. Jika Kevin tidak akan menyukainya dengan penampilannya seperti ini, berarti dia tidak cantik. Tetapi bagaimana lagi agar dia bisa terlihat cantik di mata Kevin? Saat pikiran Laras penuh dengan tanda tanya, mobil telah berhenti di tempat parkir. "Keluar," kata Randi mematikan mesin mobil dan membuka kunci pintu. Laras bergumam panjang, membuka pintu dan keluar dengan wajah cemberut. Dia memperbaiki gaun bagian bawahnya yang memiliki sedikit kerutan akibat duduk lama dalam mobil. "Ayo," Randi melirik sekilas adik sepupunya itu dan memimpin jalan untuk berkumpul dengan teman-temannya. Laras meletakkan cermin di dalam tas, dia melangkah dengan cepat mengejar Randi untuk jalan beriringan dengannya. Awalnya dia sangat tidak optimis dengan penampilannya karena perkataan Randi yang membuatnya tidak percaya diri. Tetapi setelah dia melihat sosok Kevin, senyumannya muncul dengan sendirinya. Dia menjadi antusias dan berlari ke arah Kevin tanpa penundaan. "Hati-hati," kata Randi mengingatkan. Tetapi bagaimana mungkin Laras peduli, dia sangat senang sehingga dia ingin bertemu segera dengan pujaan hatinya. Namun rasa bahagia itu tak berlangsung lama ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan gadis yang berdiri di sisi Kevin. "Kenapa dia juga datang?" Tanya Laras tak percaya menatap ke arah Tania dengan garang, mengubah ekspresinya langsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD