Takut Hantu

1687 Words
Tania segera gugup ketika melihat kedatangan Laras, dia mundur beberapa langkah dan bersembunyi di belakang Kevin. Jika dia tahu Laras juga hadir, maka dia pasti tidak akan pergi ke pasar malam ini. "Apa yang kamu lakukan bersembunyi di belakang Kevin?!" Seru Laras dengan kesal. "Aku yang mengajaknya," kata Kevin, menghalangi pandangan Laras dari Tania. Laras membuka matanya tak percaya, dia menunjuk ke arah gadis yang ketakutan di belakang Kevin dengan kesal. "Kenapa mengajaknya? Dia hanya merusak kesenangan saja." Mendengar itu, Kevin tanpa sadar mengernyit tidak setuju. Baginya yang merusak kesenangan dan hiburan adalah Laras. Alangkah baiknya jika gadis itu tidak ikut ke sini. Laras yang tidak mendapatkan jawaban dari Kevin memiliki perasaan seperti batu yang tersangkut di hatinya, itu sangat tak nyaman. Dia ingin berbicara kembali namun mendengar suara batuk isyarat dari belakang. Dia menoleh dan melihat Randi menatapnya penuh makna, artinya sangat jelas sehingga tanpa kata-kata pun Laras tahu bahwa Randi memintanya untuk tidak menyebabkan masalah. Laras merasa tidak bahagia, namun dia berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan perasaan itu. Wajahnya yang cemberut kesal segera berganti, dia tidak ingin meninggalkan kesal buruk kepada Kevin. Jadi dia kembali tersenyum dan mengabaikan kehadiran Tania. Ya, sebenarnya inilah kesempatannya untuk memperlihat kepada gadis penakut itu bahwa dia tidak pantas untuk Kevin. Laras melirik ke arah Tania, melihat baju yang sangat sederhana yang digunakan gadis itu membuat rasa percaya diri Laras kembali muncul. Terlebih lagi Tania datang tanpa riasan, sudah pasti dia sangat buruk jika dibandingkan dengannya. "Baiklah, aku tidak peduli dengan gadis itu. Yang penting ada kamu," kata Laras dengan senyuman kecil di bibirnya, menatap Kevin dengan mata yang berbinar terang. Laras memakai gaun biru muda selutut, ditambah dengan sepatu hak tingginya yang memiliki warna yang sama tampak sangat serasi. Dia mengurai rambut panjangnya, dengan bagian kiri ditahan di belakang telinga oleh jepitan kecil dan bagian kanan dibebaskan untuk berada di depan atau belakang bahunya. Terlebih lagi riasan wajahnya yang sangat halus dan tidak berlebihan, membuat wajahnya yang paling bersinar dan mengesankan di antara gadis yang hadir. Sebenarnya, ketika Laras tiba, banyak pemuda telah memusatkan pandangan mereka ke arahnya. Beberapa merasa bahwa Kevin sangat beruntung bisa disukai oleh gadis tersebut, beberapa lagi berniat untuk merebut hatinya. Bahkan ketika Laras tampil dengan kesal ketika menatap Tania, itu terlihat sangat elegan dan menawan. Mereka merasa bahwa sifat itu tidak bisa disalahkan kepada Laras, karena dia memiliki penampilan yang menunjukkannya bebas mengungkapkan segala macam ekspresinya. "Ya, ya, kamu tidak perlu peduli dengan orang lain," kata Wawan yang telah terpesona dengan penampilan Laras. Laras mengangguk, tatapannya tidak pernah pergi dari Kevin. Dia segera mengambil langkah mendekati pemuda pujaannya itu, berusaha menggapai lengan Kevin namun sayangnya dihindari begitu saja. "Apakah kamu tidak bisa jalan jika tidak memegang tangan orang lain?" Tanya Kevin dengan dingin. Laras telah terbiasa dengan kata-kata dingin dan acuh tak acuh dari Kevin sehingga dia tidak memasukkannya ke dalam hatinya. Dia tersenyum dengan sangat centil, menggoda kaum Adam di sekitarnya namun pemuda di depannya tetap dapat menangkis pesonanya itu. "Bukannya tidak bisa, aku hanya merasa aman jika dekat denganmu." Laras berkedip lima kali sekaligus dalam satu detik, dengan tangan terangkat menyapu beberapa helai rambut yang ingin melewati batas dari telinga kirinya. Beberapa pemuda di sekitar ingin sekali menawarkan lengan mereka untuk digenggam Laras. Bahkan ada yang dengan sengaja memperlihatkan lengan kuat berototnya untuk menarik perhatian gadis itu. "Lenganku kosong, kamu bisa memilikinya sepuasnya." Kata Dion— menunjukkan lengannya yang kuat kepada Laras. Laras mendelik menatap Dion, memberinya tatapan tajam. "Aku hanya membutuhkan lengan Kevin, bukan siapa pun!" Wawan tertawa, menepuk bahu temannya— Dion untuk menghiburnya. "Baiklah, ayo kita pergi. Jangan hanya berdiam diri di sini." Laras menyapu pandangannya ke sekitar, kali ini memperhatikan berapa orang yang ikut berkumpul bersama mereka. Kebanyakan dari mereka adalah teman sekelas atau teman basket Kevin, mungkin orang di bawah kelas 12 hanyalah Laras dan Tania. Ada 9 orang yang berkumpul, 5 pemuda dan 4 gadis. Dua gadis lainnya tampil dengan wajah yang sangat arogan, tampaknya ingin memperlihatkan senioritasnya kepada dua adik kelas yang hadir. Tetapi sayangnya, Laras bukan tipe orang yang bisa ditindas. Semakin sombong orang di sekitarnya, dia akan semakin menunjukkan kesombongannya yang tak terbatas. "Tapi kita akan kemana?" Tanya salah satu gadis dari kelas 12 IPA 1— Liana, memakai pakaian yang ketat dan riasan yang tebal. Dalam hati, Laras mengomentari betapa buruknya riasan yang ada di wajah kakak kelas itu. Daripada cantik, malah membuat wajah Liana terlihat seperti tante-tante. "Kalian ada ide?" Tanya Wawan, sepertinya dia adalah orang yang paling aktif mencairkan suasana. Terkadang orang seperti itu sangat dibutuhkan dalam perkumpulan kelompok. "Bagaimana kalau naik kora-kora?" Saran dari Rian, salah satu teman basket Kevin. Liana dan temannya— Fafa memasang ekspresi ngeri. "Kita baru sampai dan kamu sudah merekomendasikan wahana mengerikan itu." "Silakan para gadis untuk berbicara," Dion segera membuat gerakan untuk mempersilakan kepada kedua gadis tersebut. Liana segera mengeluarkan pendapatnya dengan senang hati, "Bianglala!" Serunya. Mendengar jawabannya membuat para pemuda tanpa sadar memasang ekspresi kosong. Wawan segera memveto, "Itu sangat membosankan, kita baru saja sampai dan kamu telah merekomendasikan wahana seperti itu." "Itu menyenangkan, kamu yang membosankan! Lalu kita akan main apa?" Tanya Fafa, tatapannya berkibar ke sekitar dan sekilas melewati Randi. Laras langsung mengerti bahwa gadis itu menyukai kakak sepupunya, dia kemudian tersenyum sinis merasa kasihan kepada Fafa. Meski Kevin selalu dingin padanya, tetapi dia setidaknya akan menanggapinya. Tetapi jika seseorang mendekati Randi, maka mereka harus siap dianggap angin lalu oleh pemuda itu. Sebelumnya, Laras telah memikirkan wahana apa yang ingin dia kunjungi dan mendiskusikannya dengan Rena. "Bagaimana kalau kita ke rumah hantu?" Tawar Laras dengan senyuman kecil yang mempesona, membuat sebagian besar pemuda di sekitarnya setuju tanpa perdebatan. Jika mereka pergi ke rumah hantu yang memiliki cahaya remang dan menyeramkan, Laras bisa mengambil kesempatan untuk dekat dengan Kevin. Terlebih lagi dia dapat bertindak seolah dia sangat takut dan memegang lengan pemuda pujaan hatinya dengan posesif. "Ya! Rumah hantu juga bagus, kalian para gadis bagaimana? Apakah tidak berani?" Tanya Wawan dengan wajah menantang, membuat hati para gadis merasa mendidih. "Hanya rumah hantu, kami berani!" Seru Liana setuju meski dia sangat kesal dengan ide tersebut, terlebih lagi itu ide dari gadis tak jelas yang selalu bertindak menyebalkan di depannya. Akhirnya mereka semua setuju dan pergi ke tempat dimana rumah hantu berada. Laras menutupi mulutnya dengan tangannya dan tersenyum sangat lebar. Dia menatap ke arah Kevin dengan penuh harap namun pemuda itu malah menoleh ke arah lain dan berbicara dengan suara pelan kepada gadis penakut dan kaku di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa ke rumah hantu?" Tanya Kevin dengan perhatian yang nyata dalam suaranya dapat terlihat jelas. Tania dengan kaku mengangguk, "Iya," jawabnya dengan bisikan yang sekecil suara semut. Mereka mungkin berbicara dengan pelan, namun Laras yang selalu menolak menjauh dari Kevin dapat dengan jelas melihat interaksi mereka. Kobaran api yang tadinya padam segera muncul kembali, tangannya mengepal kuat menatap ke arah Tania dengan geram. "Ambil kembali tatapanmu," tegur Randi yang entah kapan telah berada di sampingnya. Laras menoleh ke arah kakaknya, wajahnya cemberut dengan keluhan di matanya. "Kenapa gadis itu mendapatkan perhatian Kevin?" Tanya Laras dengan berbisik pelan. Tania hari ini hanya menggunakan pakaian yang sederhana, bahkan Laras tidak memakai baju jelek itu di rumah. Apalagi gadis itu mengikat rambutnya secara sembarang, ada banyak anak rambut yang tersebar berantakan. Laras hampir mengira gadis itu gelandangan yang tersesat di antara mereka. Tetapi kenapa bisa gadis yang norak itu mendapatkan perhatian Kevin? Laras tidak mengerti, terlebih lagi Randi yang tidak begitu peduli dengan hal-hal di sekitarnya. Randi melihat ke arah Kevin dan Tania, lalu menggelengkan kepalanya pada pertanyaan Laras untuk menunjukkan dia tidak tahu. "Lihat gadis jelek itu, jika kamu harus memilih jalan dengan salah satu dari kami. Siapa yang kamu pilih?" Tanya Laras dengan ekspresi serius, berpikir bahwa kakaknya tidak mungkin berbohong padanya. Randi menjawab tanpa daya, "Kamu." Tentu saja dia tidak berani menyebut nama gadis lain, atau tuan putri segera meledak dan marah. "Ya, tentu saja," Laras mengangguk dengan ekspresi mengerti segalanya. Dia berpikir sejenak dan merasa bahwa pilihan Randi memang masuk akal. Atau, jangan-jangan Kevin sedang menguji perasaannya? Pemikiran yang sepintas itu membuat jantung Laras berdegup kencang. Apalagi semakin dia memikirkannya semakin dia merasa dugaannya itu benar. Jika Kevin benar-benar bersikap baik pada Tania hanya untuk menguji keaslian perasaan Laras, maka itu bisa dibenarkan! Lagi pula tidak mungkin seorang Kevin— pemuda dengan tingkat popularitas tertinggi di sekolah suka dengan gadis cupu yang lemah seperti Tania. Laras terkikik senang, dia harus menghadapi ujian yang diberikan Kevin dan membuktikan bahwa cintanya murni 24 karat. Mereka segera sampai di depan penjual tiket rumah hantu, dan masing-masing membeli tiket untuk diri mereka sendiri. Laras menunggu di luar antrean, tidak terlalu suka berdesakan dengan orang lain. Tatapannya hanya terus tertuju pada Kevin. Ketika dia melihat Kevin membelikan tiket untuk Tania, mata Laras langsung gelap namun dia tidak menunjukkannya dan tetap tersenyum dengan manis. Dia tahu bahwa semua perilaku Kevin adalah palsu sehingga tidak perlu untuk cemburu. "Ambil tiketmu," Randi menyerahkan sebuah karcis kecil persegi kepada Laras. Laras menerimanya, segera melangkah mendekati Kevin agar bisa masuk bersamaan dengan pemuda tersebut. "Vin, jangan jauh-jauh dariku ya? Aku sangat takut dengan hantu," kata Laras dengan manja. Namun di telinga Kevin, suara menggoda Laras lebih menyeramkan daripada efek suara tawa kuntilanak yang keluar dari rumah hantu. Dia segera mengambil langkah menjauh dari Laras, "Jika takut, jangan masuk." Laras menggigit bibir bawahnya dengan centil, dia mengambil langkah untuk mengikis jarang dari Kevin. "Tidak mungkin, aku ingin masuk bersamamu. Dengan hanya di sampingmu, aku akan merasa aman." Randi yang berdiri di belakangnya menaikkan sedikit alisnya mendengar omong kosong adik sepupunya itu. Takut pada hantu? Laras telah tinggal di rumah yang besar dan luas seorang diri selama bertahun-tahun, bahkan ketika lampu padam pun dia terlalu malas untuk merasa panik. Pernah suatu waktu, Randi dan keluarganya pergi ke bioskop atas desakan Rani— ibu Randi dan mengajak Laras. Mereka menonton film horor yang paling dibahas dan terkenal mengerikan saat itu. Laras— gadis yang berumur kurang dari 13 tahun menatap kosong ke layar lebar dan terus berkomentar betapa jeleknya hantu yang muncul tanpa rasa takut sama sekali. Sekarang Laras mengatakan dia sangat takut pada hantu? Bahkan jika Randi ingin percaya, dia tidak bisa mempercayainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD