Akhir Sia-Sia

1708 Words
Mereka di arahkan untuk masuk oleh penjaga rumah hantu, Laras segera mengikuti langkah Kevin, tak ingin jauh-jauh dari pemuda pujaannya itu. Mereka baru saja melangkah masuk ke dalam, namun cahaya yang minim membuat langkah mereka menjadi hati-hati dan waspada. Terlebih lagi para gadis, yang berdiri berdempetan mencari rasa aman dari orang lain. Suara efek tawa dan tangis yang menyeramkan disertai lagu khas rumah hantu, membuat mereka bergidik ketakutan. Tania mencoba untuk tegar, setiap langkah dia merasa gugup, terlebih lagi dia selalu merasa hawa yang tidak menyenangkan dari sekitarnya membuat bulu kuduknya berdiri. "Tidak apa-apa, jangan takut." Kevin di sampingnya berkata untuk memberinya kenyamanan. Tania mengangguk pelan, tetapi tidak bisa mengurangi rasa takut yang telah menguasai hatinya sejak melangkah masuk ke dalam rumah hantu. Tiba-tiba suara guntur menggelegar, ruangan yang gelap tiba-tiba mendapatkan cahaya selama sepersekian detik yang menyilaukan bagai kilat. Wajah yang hancur mengerikannya muncul di hadapan setiap orang, membuat teriakan yang memekik terdengar merusak gendang telinga. Laras ikutan berteriak, mengambil kesempatan itu untuk bersandar pada Kevin, namun pemuda pujaannya telah menoleh ke arah lain dengan sigap, membuat rasa takutnya menjadi sia-sia. "Tidak apa-apa, mereka semua palsu," Kevin berkata dengan pelan dan sabar kepada gadis yang memegang lengannya dengan gemetar. Tania tahu bahwa semua itu palsu, apalagi hantu-hantu di sekitar adalah manusia yang menyamar. Namun bagaimana pun dia mengolah pikirannya, rasa takut itu tampak terus terbayang tak ingin pergi darinya. Wajahnya sudah sangat pucat, untung saja dia berada di tempat gelap sehingga Kevin dan yang lainnya tidak bisa melihatnya. Laras melotot melihat pemandangan di sebelahnya, dia meraih lengan kemeja Kevin, mengambil alih perhatian pemuda itu dari gadis cupu yang sok takut itu. "Kevin, Kevin, aku takut. Hantu itu sangat menyeramkan, muka mereka sangat jelek!" Seru Laras dengan lantang, membuat suaranya menjadi sepanik mungkin untuk mengekspresikan ketakutannya. Orang-orang yang menyamar menjadi hantu mendengar teriakan Laras dan terpana selama beberapa detik, bertanya-tanya apakah wajah mereka benar-benar jelek atau riasan menakutkan mereka telah berhasil? Namun pikiran para hantu di rumah hantu tidak ada dalam kepedulian Laras. Dia bahkan hanya melirik sebentar pada hantu yang menggantung lehernya dengan menyedihkan, tidak memiliki fluktuasi emosi yang disebut ketakutan. Lengan bajunya ditarik-tarik membuat Kevin merasa kesal, dia menoleh untuk mendapatkan ekspresi heboh dan seruan ketakutan berlebihan dari Laras. "Terus apa? Jangan menarik bajuku," kata Kevin dengan dingin, sangat berbeda dengan nada yang dia gunakan untuk berbicara kepada Tania. Tangannya dihempas pergi, Laras menjadi tidak senang dan ingin terus melekat di sisi Kevin. Dia baru saja mengulurkan tangannya ingin berpegangan pada lengan kuat Kevin, namun pundaknya di tahan seseorang. "Kenapa sih, Ran?" Tanya Laras kesal karena diganggu. Randi berhenti melangkah, menoleh ke arah Laras dengan tanda tanya. "Ada apa?" Tanyanya sembari melangkah mendekati Laras, menjauh dari kedua gadis yang terus berteriak di sekitarnya. Laras segera terdiam, melihat bahwa kedua tangan Randi tidak terulur sama sekali membuatnya waspada. Dia segera menarik tangan yang ada di pundaknya dengan kasar dan menyikut orang yang berani menyentuhnya tanpa tahu malu. Suara teriakan menyedihkan terdengar di telinga setiap orang, mereka semua menoleh ke arah suara dan menemukan sosok dengan wajah mengerikan dan penuh darah berdiri di belakang Laras memasang ekspresi kesakitan. Namun karena ekspresinya itu lah yang membuat penampakannya menjadi lebih dan lebih mengerikan. Segera suara teriakan mereka terdengar, bahkan Tania segera menarik tangan Kevin dan lari dengan ketakutan. Laras melotot marah, menoleh ke arah hantu jelek di belakangnya untuk melampiaskan kekesalannya. "Jelek!" Serunya dengan kesal sebelum melangkah cepat mengejar Kevin. Namun ruangan sangat gelap, dia tidak berhati-hati dan malah tersandung tengkorak mainan yang tersebar di lantai. Jika saja Randi tidak ada di sampingnya untuk menahan lengannya, maka dia mungkin akan jatuh dengan konyol di dalam rumah hantu ini. Laras dengan kesal menendang tengkorak yang tak tahu tempat itu, tetapi jangan lihat kepalsuannya, nyatanya tengkorak itu sangat berat sehingga membuat kakinya kesakitan. "Jangan konyol," tegur Randi, menarik adiknya yang susah diatur itu ke sisinya. Laras meringis kesakitan, air mata telah berkumpul di matanya namun dia tidak menyerah untuk mengejar Kevin. "Aku mau kejar Kevin!" Serunya pada Randi, memberontak untuk melepaskan lengannya. "Jika kamu terus membuat masalah, maka aku akan langsung menarikmu pulang." Randi mengencangkan tangannya, suaranya penuh ancaman dan tegas membuat Laras terdiam. Pekikan suara gadis terdengar lagi, Fafa melihat Randi berjalan sangat lambat dan ingin mengambil kesempatan untuk mendekatinya. Namun sayang sekali, dia tidak menyadari suasana hati Randi sedang buruk sehingga sebelum dia bisa mendekat sepenuhnya, dia telah diberikan tatapan dingin sekilas oleh pemuda itu. Laras berjalan dengan tertatih-tatih, matanya terus melihat ke kegelapan di depannya, mencari sosok Kevin yang telah menghilang jauh ke depan mereka. Dia sangat kesal pada Tania, kenapa gadis itu menarik Kevin? Apakah dia sengaja untuk memisahkan mereka? Jika saja kakinya tidak sakit dan Randi tidak menahannya, maka dia akan lari cepat ke depan dan memisahkan mereka, lalu buang saja gadis cupu itu kepada hantu-hantu di sini. Sayang sekali, Laras memiliki banyak rencana di kepalanya, namun dia tidak bisa untuk mewujudkan semuanya. Keluar dari rumah hantu, Laras melihat sekeliling dan tidak ada sosok Kevin yang menunggu mereka di luar. Laras menjadi panik dan ingin berlari untuk mencarinya. Namun sekali lagi, lengannya ditahan kakak sepupunya. Laras menatap Randi dengan sangat kesal, namun pemuda itu tampaknya tidak peduli dengan ekspresinya dan menariknya duduk di bangku panjang yang kosong. "Kenapa? Aku mau cari Kevin! Jangan mencegahku!" Seru Laras dengan marah. Randi menatap teman-temannya yang masih di sekitarnya, "Kalian pergi dulu." Yang lain saling memandang dan mengangguk dengan penuh pemahaman, lalu berjalan ragu meninggalkan mereka. "Randi! Kamu kenapa sih?!" Tanya Laras dengan melotot tajam, dia ingin bangkit berdiri namun kembali didorong duduk oleh Randi. Randi mengetuk kepala Laras tanpa tenaga, "Apakah kamu tidak bisa untuk tenang sedikit? Lihat kakimu itu, jika kamu terus berlarian maka mungkin akan menjadi parah." Laras mengelak dari tangan Randi, dia menunduk melihat ke kaki kanannya yang terasa sakit dengan penuh keluhan. "Cuman keseleo sedikit, tidak sakit sama sekali," katanya membantah ucapan Randi. "Ayo kita pulang, obati lukamu dan diam di rumah." Randi mengambil keputusan segera setelah melihat sifat keras kepala Laras kembali muncul. Jika dia membiarkan gadis ini tetap disini dan mengejar Kevin maka mungkin kakinya yang sakit akan diabaikan dan hanya Kevin yang dia pedulikan. Bagaimana mungkin Laras setuju dan membiarkan kesempatannya mendekati Kevin hilang begitu saja? Laras dengan tegas menolak, "Tidak! Aku ingin tetap di sini, aku ingin bersama Kevin!" Dia memalingkan kepalanya dari Randi, sangat marah dengan sikap protektif kakak sepupunya yang tidak peka itu. Dia ingin mendekati Kevin dan kesempatan seperti ini sangat langka, tetapi kenapa Randi tidak bisa mengerti dan terus berusaha memisahkan mereka? "Oke, kamu tetap di sini. Jangan pernah mencariku lagi, kejar Kevinmu sana." Randi langsung berbalik dan berjalan menuju tempat parkir, meninggalkan Laras yang terpana dengan tindakannya. Laras membeku sesaat mendengar kata-kata dingin yang diucapkan Randi kepadanya, kemudian dia bangkit berdiri melirik ke arah keramaian yang dia yakini Kevin ada di sana. Kakinya sudah tertuju ke arah sana, ingin sekali melangkah dan berlari untuk mencari pemuda pujaan hatinya. Namun pada akhirnya dia tidak melakukannya. Dengan kepala tertunduk, dia berjalan tertatih-tatih mengejar Randi. Setiap langkah sangat menyakitkan, seolah dia tidak berjalan di tanah yang datar namun di tanah penuh paku. Tetapi hal yang lebih membuatnya tak nyaman adalah dadanya yang terasa berat, seolah beban yang tak dikenal menekan jantungnya, membuatnya tidak dapat bernapas dengan baik. "Randi," panggil Laras dengan lirih. "Kakiku sakit," katanya kemudian berdiam diri di tempat. Bibirnya ditekan menjadi satu garis, dengan tatapan keras kepala menatap ke arah punggung kakak sepupunya yang kian menjauh. Pada akhirnya, Randi tidak begitu tega meninggalkan Laras. Dia menoleh ke belakang dan mendekati Laras yang menatapnya tegas dengan mata berair penuh air mata namun bersikeras untuk tidak menangis. "Tidak mengejar Kevin?" Tanya Randi pada gadis itu. Laras membutuhkan waktu lama untuk bergumam dengan enggan sebagai jawaban, "Um." "Ayo pulang," Randi membantu adik sepupunya yang sedang patah hati itu melangkah dengan hati-hati dan membawanya masuk ke dalam mobil. Laras bersandar di belakang, membuang semua beban beratnya ke sandaran kursi. Kepalanya menoleh ke jendela, mengamati kegiatan yang di tampilkan dari kaca transparant dengan pandangan kosong. Padahal dia sangat senang sebelumnya, dengan semangat mengatur bagaimana dia akan tampil di depan Kevin malam ini selama berjam-jam. Namun akhirnya semua tampak sia-sia saja, dia pada akhirnya menyakiti kakinya dan tidak juga mendapatkan perhatian Kevin. Apa mungkin dia salah? Kevin sebenarnya tidak ingin mengujinya lewat Tania, dan itu hanya pikirannya untuk membuat diri sendiri bahagia. Dalam perjalanan pulang, mobil sangat hening, bahkan suara musik tidak terdengar sama sekali. Tak tahu kapan terjadi, Laras tertidur kelelahan dan bangun ketika mereka telah sampai. Randi membuka pintu untuk Laras, melihat gadis itu telah bangun dengan bingung dan memberinya perintah dengan nada tegas yang tidak menerima bantahan. "Turun dan masuk ke rumahku, obati lukamu dulu dan makan malam di sini." Laras tidak berani untuk menolaknya. Dia tahu Randi saat ini sedang marah sehingga dia tidak berani menyinggungnya lagi. Bagaimana jika Randi benar-benar melarangnya untuk mencarinya lagi? Itu adalah hal yang mustahil. Selama bertahun-tahun, dia hanya hidup sendiri dan tentu harus membutuhkan bantuan Randi dan keluarganya untuk bertahan hidup di kota besar ini. Sehingga meski Randi hanya kakak sepupunya, tetapi dia merasa lebih akrab dengannya daripada kakak kandungnya sendiri. Dia mengikuti Randi ke dalam rumah, dengan patuh mengolesi krim obat di bagian kaki kanannya yang terasa sakit dan makan malam disini. Rani menyediakan makan malam untuk mereka dengan terkejut, "Ibu pikir kalian tidak akan makan malam di rumah," katanya tidak menyembunyikan isi pikirannya. Laras juga berpikir seperti itu, tetapi siapa yang tahu bahwa dia pulang sangat awal dari yang dia pikirkan. Dia memasang ekspresi cemberut, melihat Randi yang makan dengan tenang tanpa suara membuatnya menghela napas panjang. "Bu Rani, Randi marah sama aku," keluhnya. Randi mengangkat kepalanya, memberi Laras tatapan peringatan. "Kalian kenapa lagi?" Tanya Rani dengan senyuman geli di wajahnya, mengusap kepala Laras dengan penuh kasih sayang. Laras adalah anak dari adik perempuannya, dia juga telah lama bersama gadis ini sehingga sudah menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri. Laras mengerucutkan bibirnya, dia berkata dengan pelan. "Hanya masalah kecil, dia sungguh tak masuk akal." "Katakan sekali lagi jika kamu berani, siapa yang tidak masuk akal?" Tanya Randi dengan ancaman. Laras melotot marah, langsung menoleh ke Rani untuk meminta pembelaan. "Randi," tegur Rani dengan lembut. Randi langsung mengambil kembali tatapannya dan makan dengan tenang. Hanya menyisakan suara Rani dan Laras yang mengobrol dengan riang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD