Kaki Kanan Terkilir

1799 Words
Rena menoleh ke arah Laras dengan ekspresi penasaran dan ingin tahu terpampang jelas di wajahnya. "Cepat cerita!" Serunya tak sabar, sedari datang sekolah selalu meminta Laras untuk mendongeng kepadanya tentang apa yang terjadi semalam di pasar malam. "Tidak menarik," kata Laras, mendengus keras dan tenggelam dalam kegiatannya sendiri merias wajah dengan berbagai perkakas kecantikan yang selalu menemaninya kapan pun dan dimana pun. "Tidak apa-apa, aku akan mendengarkan dengan baik." Rena tak juga menyerah, baginya dengan ekspresi Laras dan juga jawabannya, pasti ada hal yang menarik di sana. Sayang sekali dia tidak datang dan menikmati pertunjukan sembari memakan keripik. Laras memutar matanya, akhirnya dia memilih menceritakannya juga. Emosinya segera naik pada detik ini, dengan tatapan yang berubah setajam belati di setiap kata-katanya. "Tania— gadis cupu itu dengan berani bergabung bersama kami semalam." Ketika mendengar nama Tania, Rena segera mengerti mengapa suasana hati Laras begitu buruk hari ini padahal semalam telah 'berkencan' dengan Kevin. "Apa yang dia lakukan semalaman sehingga kamu menjadi marah begini?" Tanya Rena, rasa penasarannya berhasil dimunculkan. "Apa lagi? Tentu saja dia terus mendekati Kevin! Bahkan di rumah hantu pun dia membawa Kevin lari untuk alasan takut. Aku mengejar mereka dan akhirnya terkilir karena menabrak tengkorak sialan yang tersebar di jalan. Setelah itu, Randi tidak membiarkanku terus mengejar Kevin dan membawaku pulang." Laras berkata dengan emosi yang berapi-api, seolah jika Tania ada di hadapannya, dia akan langsung memusnahkan gadis itu. Rena mengangguk paham, "Sejujurnya aku mendukung Kak Randi, memang bagus dia membawamu pulang." "Apanya yang bagus? Aku tidak bisa mengejar Kevin!" Seru Laras dengan kesal, masih memiliki beberapa dendam karena suasana kencan romantis yang dipikirkannya hancur berantakan. "Bagus karena kamu tidak terus membodohi dirimu sendiri di sana," kata Rena dengan jujur. Dia sangat tahu sifat Laras, dia pasti akan melupakan segalanya untuk mengejar apa yang dia inginkan. Itu selalu seperti itu sehingga dia tidak ragu untuk mendukung perbuatan Randi. Laras tidak senang dengan perkataan Rena, dia memberinya lirikan tajam dan berniat mengabaikan gadis itu selama satu jam. Pelajaran pertama hari ini adalah Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, para gadis pergi ke ruang ganti untuk mengganti seragam olahraga, sedangkan para pemuda mengganti seragam di kelas. Murid kelas 11 IPA 2 dikumpulkan di lapangan besar, diminta untuk berlari mengelilingi lapangan dan melakukan beberapa gerakan pemanasan. Laras tidak suka berkeringat, itu sangat lengket dan tidak nyaman. Ketika diminta lari keliling lapangan, Laras segera mendatangi Pak Fadli— guru Olahraga mereka, meminta belas kasihannya. "Pak, kakiku sakit, habis keseleo semalam. Aku tidak bisa ikut lari," kata Laras, memasang wajah memelas. Pak Fadli menggelengkan kepalanya, dia sudah terlalu sering mendengar berbagai alasan dan keluhan gadis satu ini. Bahkan pernah suatu waktu Laras mengatakan hatinya sakit ketika memukul bola yang imut agar Pak Fadli bisa membebaskannya untuk tidak bermain bola voli. "Kamu tetap lari dengan yang lain, jangan mengeluh!" Kata Pak Fadli dengan tegas. Laras menunjuk ke arah kaki kanannya yang berdiri dengan posisi tidak normal, sedikit berjinjit seolah takut menyentuh tanah. "Lihat Pak, buka hati Bapak dan lihat betapa menyedihkannya diriku yang indah ini." Mendengar kata-kata berlebihan Laras, semua teman sekelasnya tertawa terhibur. Terlebih lagi Laras memasang ekspresi penuh keluhan menyalahkan Pak Fadli yang sama sekali tidak berprikemuridan. "Hati Bapak sudah terbuka dan melihat kamu hanya mengatakan omong kosong." Pak Fadli mengikuti kata-kata Laras, dia merasa lucu tetapi tetap memasang ekspresi tegas berpura-pura marah. "Lari cepat! Jangan menunda teman-temanmu." "Pak, kakinya memang sakit." Rena maju ke samping Laras, memberinya dukungan sebagai teman yang baik. Tetapi sayangnya, Rena terlalu sering menemani Laras melakukan 'kejahatan' sehingga dia juga tidak mendapatkan kepercayaan Pak Fadli. "Jangan mendukungnya untuk melakukan hal-hal buruk, kalian kembali ke barisan." Pak Fadli menolak mendengarkan berbagai alasan dan penjelasan mereka. Dia telah melihat berbagai drama Laras sehingga melihat kaki kanan Laras yang terangkat sedikit, dia berpikir bahwa itu hanyalah ide konyol gadis itu lagi. Rena menghela napas panjang, dia menepuk pundak Laras penuh perhatian. "Setidaknya aku telah berusaha," katanya sebelum kembali ke barisannya sendiri. "Kamu kenapa tidak kembali?" Tanya Pak Fadli tidak sabar melihat Laras tidak juga ikut berbaris dengan yang lain. Laras memasang ekspresi cemberut, dia mengangkat kepalanya dan kebetulan melihat Randi sedang berjalan di koridor sekolah dengan membawa sebuah buku di tangannya. Dia segera merasa terselamatkan dan berteriak, "Randi! Kak Randi! Kakakku!" Randi berhenti di tempatnya, menoleh dan menemukan Laras melambaikan kedua tangannya tinggi-tinggi untuk menarik perhatiannya. Dia dengan ragu berjalan mendekat ke arah gadis itu, melihatnya berdiri di hadapan guru Olahraga, Randi tidak tahu masalah apa lagi yang dibuat Laras. Laras menarik tangan Randi ke depan Pak Fadli, membuat kakaknya itu menjadi saksi hidup yang dapat diandalkan. "Kakakku, bantu aku beritahu Pak Fadli betapa terlukanya kaki kananku yang imut ini. Jangan sampai aku lari keliling lapangan dan akhirnya pingsan karena tidak mampu menahan sakit." Kata-kata Laras selalu penuh dengan omong kosong yang membuat orang lain tidak dapat mempercayainya. Bahkan Randi sendiri pun tidak akan percaya jika bukan dia yang melihatnya semalam dengan kedua matanya sendiri. Randi menatap ke arah Kak Fadli dengan serius dan mengangguk, "Kakinya benar-benar terluka, semalam dia keseleo karena tersandung dan menjadi lebih parah karena dia mencoba menendang sesuatu yang membuatnya tersandung namun tak sadar bahwa benda itu sangat keras." Jawaban Randi membuat pendengar tidak bisa tidak tertawa atas kekonyolan Laras. Bahkan Laras sendiri merasa malu ketika mendengarnya. Dia melotot dengan mata melebar bulat pada kakak sepupunya, "Kamu cuman perlu mengatakan kakiku sakit, siapa yang memintamu menjelaskannya?" Terbukti perkataan dari Randi lebih dapat dipercaya oleh Pak Fadli, terlebih lagi Randi adalah Ketua OSIS yang dapat diandalkan dan selalu jujur tanpa trik apa pun dalam menggunakan kekuasaannya. "Baiklah, kamu berdiri di sini. Tidak perlu lari keliling lapangan," kata Pak Fadli akhirnya. Laras bersorak senang, dia tersenyum lebar yang membuat pemuda di sekitarnya terpesona olehnya. Dia kemudian mendorong Randi menjauh setelah tidak dibutuhkan lagi, "Baiklah Kakakku, lakukan aktivitasmu kembali." Jadi dengan ekspresi penuh kemenangan yang sombong, Laras berdiri di samping Pak Fadli melihat teman-teman sekelasnya kewalahan lari keliling lapangan. Dia bahkan berteriak keras ketika melihat seseorang malas untuk memberikan teguran, benar-benar menganggap dirinya sebagai asisten guru. "Rahmat, jangan memotong barisan! Cahaya, lari jangan cuman jalan! Anti, apakah kamu sedang lari atau menari? Rena, jangan berhenti, terus lari! ..." Setiap orang yang memiliki namanya disebut dan ditegur memiliki keluhan dan dendam kepada Laras. Bahkan Pak Fadli hanya diam tidak berkomentar, kenapa malah Laras murid yang malas lari menegur tindakan mereka? Setelah lari tiga putaran, murid-murid dari kelas 11 IPA 2 selain Laras memiliki napas pendek dan berkeringat. Terlebih lagi Pak Fadli tidak memiliki hati dan meminta mereka kembali mengatur barisan untuk melakukan gerakan pemanasan. "Laras, kamu gabung ke barisan." Pak Fadli akhirnya menyuruh Laras yang hanya pandai menegur untuk bergabung dengan yang lain. "Kakiku masih sakit loh Pak. Masa aku ikut pemanasan juga?" Laras segera mengeluh dan menolak. Dia tidak suka berkeringat, jadi jika ada kesempatan, dia akan menggunakannya sampai akhir. Pak Fadli kebal dengan kata-kata Laras dan tidak terpengaruh olehnya, "Tidak ada yang meminta kakimu melakukan pemanasan, cukup berdiri di barisanmu dan ikuti gerakan pemanasan bersama teman-temanmu." Tiba-tiba Laras merasa menyesal karena tidak meminta Randi menemaninya di lapangan sampai pelajaran Olahraga berakhir. Kalau tidak, dengan dukungan kakak sepupunya, dia pasti tidak perlu melakukan hal-hal yang membuat tubuh berkeringat itu. Dia sadar bahwa dia tidak bisa lagi mendapatkan hal istimewa sehingga dengan enggan dia kembali ke barisan di bawah tatapan kemenangan milik teman-teman sekelasnya. "Nah, mampus kamu." Rena tertawa jahat melihat Laras berbaris di sampingnya. Laras mendengus keras, mengikuti gerakan pemanasan dengan malas tanpa tenaga, beberapa kali dia bahkan hanya berdiri diam sehingga berulang kali mendapatkan teguran dari murid lainnya. "Apa? Apa? Suka-sukaku lah, tangan-tanganku, kalian tidak perlu mengurusi hidupku!" Serunya melotot marah kepada yang lain, tidak merasa bersalah karena telah menegur teman-teman sekelasnya sebelumnya. Setelah selesai pemanasan, Pak Fadli tampaknya dipanggil guru lain dan sementara tidak mengawasi mereka. Para murid segera berhamburan dari barisan dan tidak ada lagi yang bertahan di barisannya sendiri. Rena menyenggol Laras yang memiliki suasana hati yang buruk karena sedang berkeringat, "Ras, Ras," panggilnya. Laras menghindarinya, "Ada apa sih?" Tanyanya kesal. "Itu, lihat!" Rena mengangkat tangannya memaksa kepala Laras menoleh ke satu tempat. "Itu Tania, bukan?" Laras awalnya memberontak, namun ketika dia mendengar nama Tania disebut, dia langsung patuh melihat ke tempat yang ditunjuk Rena. Tak jarang pelajaran Olahraga dari dua kelas atau lebih bertabrakan di waktu yang sama namun biasanya itu tidak menimbulkan pengaruh apa pun karena materi serta jenis olahraga mereka berbeda. Dan saat ini di lapangan voli, ada kumpulan murid dari kelas lain beraktivitas di sana. Laras mengamati mereka dan melihat gadis yang sangat dibencinya berada di sana sedang mengobrol dengan temannya. Jika saja Rena tidak mengatakannya, Laras mungkin tidak akan menyadarinya. Tetapi sekarang dia melihatnya, kebencian di hatinya segera bangkit dan ingin dilampiaskan. "Kalian kembali berbaris!" Pak Fadli berjalan kembali dan menemukan para muridnya telah berhamburan tidak jelas mencari tempat teduh. Dia segera merasa pusing dan meminta mereka untuk kembali berbaris. Setelah setiap murid berbaris dengan rapi, Pak Fadli kemudian mengatakan aktivitas hari ini. "Guru Olahraga kelas 10— Pak Udin menawarkan pertandingan bola voli antar dua kelas. Siapa di antara kalian ingin bermain voli bersama kelas 10?" Tanyanya dengan pandangan menyapu setiap murid. Mata Laras segera berbinar, dia angkat tangan tinggi-tinggi untuk mengajukan diri. "Aku! Aku ingin ikut!" Tatapan Pak Fadli serta teman sekelasnya langsung menimpanya dengan kerumitan dalam mata mereka. "Bukankah kakimu sedang sakit?" Tanya Pak Fadli dengan curiga. Laras memasang ekspresi serius dan penuh dengan ambisi, "Meski kakiku patah sekali pun, aku tetap harus ikut serta dalam pelajaran Pak Fadli. Sebagai murid yang baik dan budiman, sangat tidak pantas menggunakan alasan kaki terkilir untuk tidak melaksanakan tugas." Sikap patuh dan disiplin mendadak Laras membuat pendengar merasa pusing. Tentu saja selain Rena yang tahu rencana busuk temannya itu. Pak Fadli mengernyit, tidak melepaskan keraguannya pada Laras. "Kenapa sebelumnya kamu tidak mengatakan itu saat lari tadi?" "Pak, setiap manusia wajar memiliki kesalahan dan setiap manusia juga memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Beberapa menit yang lalu aku hanyalah murid yang tidak dapat diandalkan, sekarang aku adalah murid dengan kedisiplinan yang tinggi." Laras mengutarakan semua kata-kata mutiaranya yang terdengar mengerikan di telinga orang lain. "Tapi bagaimana dengan kakimu? Jika itu sakit, maka lebih baik kamu jadi penonton saja." Berbeda dari sebelumnya, Pak Fadli tidak memaksakan Laras untuk berolahraga. Dia tampaknya tidak peduli ketika Laras memelas untuk berdiri diam, tetapi seketika merasa peduli ketika gadis itu bersikeras untuk ikut berolahraga. Tetapi Laras sedang tidak ingin menerima kepedulian Pak Fadli. Dia segera berjalan dengan langkah normal ke depan untuk memperlihatkan kepada Pak Fadli betapa sehatnya kakinya, "Tidak masalah Pak, demi dedikasi murid yang disiplin, kakiku sangat pengertian dan langsung sembuh seketika." Drama Laras sangat menghibur sehingga teman-temannya tak berhenti ketawa dan mengamatinya dengan senang hati. Pak Fadli juga meski terlihat tegas dan memasang wajah garang, tetapi dia sangat lembut dengan murid. Dia akhirnya tertawa dan membiarkan Laras ikut ke pertandingan gabungan dengan kelas 10.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD