Sakit yang Tak Tertahankan

1863 Words
Laras menarik Rena dengan paksa, "Pak, Rena juga ikut!" Serunya antusias. Rena melotot marah kepada Laras, "Aku? Kenapa aku juga? Aku mau main bulu tangkis." Laras tidak melepaskan Rena, genggamannya malah semakin kuat untuk menahan gadis itu. "Kamu temanku, bukan? Masa kamu biarin aku sendirian mengurus gadis cupu itu?" Katanya dengan suara pelan menyerupai bisikan agar tidak terdengar oleh orang lain. Ada sedikit dilema dalam tatapan Rena sebelum dia dengan enggan menyerah bermain bulu tangkis dan akhirnya ikut bersama Laras bermain bola voli untuk melawan kelas 10. Alasan Laras mengajak Rena bukan hanya untuk menemaninya saja, tetapi karena dia tahu bahwa Rena sangat berbakat dalam bidang olahraga ini. Jadi untuk membuat perhitungan pada Tania, kontribusi Rena sangat dibutuhkan. Kemudian ada empat gadis lagi yang menawarkan dirinya untuk ikut bertanding. Bagaimana pun bola voli merupakan salah satu permainan yang populer ketika jam pelajaran Olahraga, jadi tak heran untuk sangat mudah menemukan murid yang ingin memainkannya. Laras, Rena, dan empat siswi lainnya dibawa ke lapangan voli oleh Pak Fadli, sedangkan murid lainnya mengambil kegiatan olahraga lain untuk bersenang-senang. Di bagian lapangan voli, murid-murid kelas 10 juga sangat antusias dengan pertandingan bersama kelas 11. Mereka mulai mengajukan diri mereka sendiri untuk ikut bermain, tidak sabar untuk meraih kemenangan dari kakak kelas. Namun ketika guru Olahraga beserta enam kakak kelas perempuan datang, tidak ada lagi yang berniat mengajukan diri. Bahkan murid sebelumnya yang telah menawarkan diri langsung menyerah dan mundur dengan perlahan. Alasannya sangat mudah, mereka melihat Laras dan mereka memilih menghindar. Lagi pula, jika kakak kelas yang bernama Laras itu bersedia ikut permainan bola voli ini, maka itu bukan lagi permainan melainkan p*********n. Pasti ada niat yang tidak baik dalam keikutsertaannya. Pak Udin —guru Olahraga kelas 10 merasa heran dengan para muridnya yang tiba-tiba tenang dan menghindar dari permainan ini, padahal sebelumnya mereka sangat antusias sehingga saling berebutan untuk ikut. "Ayo, cepat maju yang angkat tangan tadi. Kenapa kalian mundur?" Katanya dengan bingung. "Fani? Kenapa kamu sembunyi di belakang? Bukankah kamu angkat tangan tadi? Ayo maju!" Seru Pak Udin, masih mencoba merekrut pemain. Fani dengan takut-takut memunculkan kepalanya dari belakang temannya, menatap Pak Udin dengan wajah bodoh. "Aku angkat tangan? Tidak Pak, aku tadi hanya melakukan peregangan." Setelah itu dia menyelinap ke paling belakang, takut akan ditunjuk oleh Pak Udin. Selain Fani, beberapa juga membuat alasan yang kurang lebih sama untuk menghindari permainan ini. Bagaimana pun mereka semua masih kelas sepuluh yang ingin mencari kedamaian dalam melanjutkan hidup di sekolah ini. Tidak ada satu pun di antara mereka yang ingin menyinggung kakak kelas, apalagi Laras yang terkenal menunjukan cinta dan bencinya secara langsung tanpa peduli dengan apa pun. Laras melihat tingkah para murid kelas 10 dan memutar matanya dengan bosan, dia menatap satu persatu adik kelas itu dan setiap tatapannya dihindari atau membuat mereka bersembunyi gugup. "Serius Ras, kamu cocok bangat jadi antagonis. Kasihan adik-adik kelas kita ketakutan tak berdaya," kata Rena berdecak lidah melihat situasi di kelas 10. Pak Fadli maju untuk berdiskusi bersama dengan Pak Udin, sementara para murid ditinggalkan untuk beberapa waktu. Mengambil kesempatan perhatian kedua guru itu tidak tertuju kepada mereka, Laras menarik Rena dan berjalan mendekati para murid pengecut itu. "Kamu, kamu, kamu, kamu, kamu, dan kamu! Kalian berenam ikut bermain bola voli dengan kami." Dia menunjuk ke beberapa murid secara asal dan tentu saja termasuk Tania. Melihat ekspresi keenam murid yang ditunjuknya menunjukkan pemberontakan, dia menjadi tidak puas. "Apa? Kami telah bersedia bermain dengan kalian, tetapi kalian menolak kami?" Tanya Laras dengan tatapan tajamnya. Laras selalu memiliki hal menarik di sekitarnya sehingga empat murid lainnya dari kelas 11 IPA 2 berdiri di sisi Laras untuk menonton pertunjukan. Mendengar apa yang dikatakan Laras, wajah keempat gadis menjadi ganas dan ekspresi sombong yang menunjukkan senioritas segera muncul. Di hadapkan dengan enam kakak kelas yang begitu kuat dan berkharisma, tidak ada yang berani melawan. Enam orang yang ditunjuk termasuk Tania maju dengan gugup karena takut membuat para kakak kelas tersinggung dan akhirnya tidak puas. Lagi pula pemikiran mereka juga sangat sederhana, mereka tidak menyinggung siapa pun jadi tidak masalah untuk ikut bermain. Lagi pula target Laras adalah Tania, jadi orang yang seharusnya takut dan gugup adalah Tania. "Pak Guru! Kami sudah menentukan pemainnya, apakah kami sudah boleh bermain?" Teriak Laras dengan senyuman lebar seolah sangat tak sabar untuk bermain bola voli. Pak Udin baru saja ingin bernegosiasi untuk membatalkan permainan ini bersama Pak Fadli, tetapi mendengar teriakan Laras dia agak tidak percaya dan menoleh untuk menemukan bahwa enam muridnya sudah maju bersiap bertanding dengan kelas 11. Dia langsung mengangguk, menyerahkan bola voli kepada mereka dan mulai mengatur kegiatan murid lainnya di lapangan lain. Laras tentu saja senang melihat Pak Udin pergi mengurus hal lain, dia tersenyum kecil dan menatap Pak Fadli yang masih di sekitar. "Pak Guru tidak perlu mengawasi kami, ini hanya permainan santai. Bapak harus awasi anak laki-laki, mereka suka membuat masalah di lapangan basket." Dia berkata dengan wajah serius hingga hampir menipu semua orang yang mendengarkan. Di sampingnya, Rena mencibir pelan, benar-benar kagum dengan wajah Laras yang sangat tidak tahu malu. Akhirnya lapangan voli tidak memiliki satu pun guru yang mengawasi, hanya beberapa murid yang berdiri di pinggir lapangan untuk menonton pertandingan. Laras pergi ke satu sisi lapangan bersama teman sekelas lainnya dan berbisik pelan kepada mereka tanpa bisa didengar murid kelas 10. "Pukul bolanya dengan keras ke Tania, ingat jangan beri ampun! Pastikan kalian terus menargetkan dimana gadis cupu itu berada." Berita tentang Laras yang mengganggu adik kelas bukanlah rahasia lagi, hampir seluruh murid di sekolah mendengar gosip tersebut terlebih lagi murid dari kelas 11 IPA 2 yang tiap hari mendengar gerutu kekesalan Laras pada Tania. Para remaja sangat mudah bergaul dan bercampur dengan perilaku yang salah. Mereka jarang memikirkan hal lain dan memilih untuk gabung bersenang-senang. Terlebih lagi empat murid lainnya dari kelas 11 IPA 2 berpikir bahwa mereka hanya bermain voli biasa dan menargetkannya ke Tania tanpa melakukan kekerasan, untuk tindakan Laras atau pun Rena, itu bukan urusan mereka. Jadi mereka berenam sepakat untuk terus menjadikan Tania titik target serangan bola. Ketika permainan dimulai, para adik kelas yang kikuk benar-benar kewalahan dengan kemahiran para gadis kelas 11 yang sangat semangat. Terlebih lagi mereka tidak memberi ampun ketika melakukan pukulan smash, dan selalu membuat poin dengan lancar. Setiap kali bola jatuh kepada Laras, dia akan mengopernya ke Rena dan Rena segera memukul bola ke arah Tania dengan keras sesuai dengan permintaan Laras. Tania yang jarang bermain bola voli merasa takut dan menghindari bola yang tertuju padanya, menciptakan poin tambahan untuk tim Laras. "Tania, kamu jangan menghindar mulu." Temannya yang lain mengeluh, terlebih lagi mereka tidak mendapatkan satu pun poin sejak pertandingan dimulai. Tania merasa gugup, dia mengangguk ragu dan kembali ke tempatnya. Dia juga sadar bahwa bola selalu menargetkan dirinya, tetapi dia sama sekali tidak berani untuk memprotes. Ketika bola datang kembali ke arahnya, Tania tidak menghindar. Namun bola datang dengan kecepatan yang tak bisa dia kendalikan. Tak bisa menghindar, Tania mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya yang membuat benturan keras bola memukul lengannya. Laras tersenyum senang melihat gadis itu meringis kesakitan, dia dengan senang menepuk bahu Rena. "Bagus, kamu memang teman terbaikku." Rena mendengus, menerima bola dari tim lawan dan mengopernya kepada teman sekelasnya yang menjadi server. "Teman? Tidak, kamu menganggapku pisau untuk menikam musuhmu." Laras tertawa senang, sama sekali tidak membantah sindiran dari Rena yang membuat temannya itu semakin kesal. Namun bagaimana pun, Rena selalu ada di samping Laras melakukan kebaikan dan kejahatan bersama. Meski tahu tidak baik, tetapi ada kesenangan tersendiri dalam menunjukkan kekuatan kepada orang lain. Lagi pula sebagai teman, Rena juga memiliki kekesalan pada Tania karena pengaruh Laras. "Aku ingin mencoba smash juga," kata Laras dengan antusias. Skill bermain bola volinya rata-rata, lebih rendah dari Rena, namun bukan berarti dia tidak bisa. Terkadang dia juga ikut bermain bola voli bersama Rena sehingga kurang lebih dia tahu bagaimana melakukan servis, passing, atau pun smash. Rena mengangguk, jadi ketika permainan kembali berlanjut, Rena memberikan bola kepada Laras dengan ketinggian yang telah dia perkirakan sebelumnya untuk memudahkan Laras memukul bola. Laras melirik ke posisi Tania, dia segera mengejar bola dan melompat, lalu memukul dengan keras. Tepat ketika dia akan mendarat, kaki kanannya yang terlebih dulu menyentuh tanah langsung terasa nyeri hingga membuatnya terjatuh. Dia menjerit kesakitan dengan air mata yang berkumpul di bawah matanya. "Kamu kenapa?" Rena segera mendekat, melihat Laras meringkuk kesakitan memegang pergelangan kaki kanannya. "Kakimu sungguh masih sakit?!" Tanyanya dengan terkejut. Rena kemudian meminta bantuan yang lain untuk membawa Laras ke UKS. Ketika Laras mengatakan kakinya tidak sakit dan bahkan bertindak jalan memutar untuk memperlihatkan dia sangat sehat di depan Pak Fadli, Rena mempercayainya. Lagi pula ketika Laras menolak lari keliling lapangan, Rena berpikir dia hanya tidak ingin berlari dan membuat alasan yang berlebihan. Namun dia tidak menyangka kaki Laras benar-benar bermasalah yang membuat gadis itu meringis kesakitan dengan air mata tak tertahankan. Laras dibawa ke UKS, untungnya ada perawat di dalamnya yang sedang mengatur kotak P3K. "Dia kenapa? Cepat bawa ke tempat tidur," kata perawat dengan gesit. Laras menutup wajahnya, sangat kesakitan sehingga dia bahkan takut untuk menggerakkan kaki kanannya. Perawat yang bertugas memeriksa pergelangan kaki Laras yang bengkak dan memar, lalu melihat ke arah temannya yang masih berdiri untuk menenangkan Laras. "Kamu bawa kompres dingin," pintanya kepada Rena. Rena mengangguk cepat, tidak ada es dalam UKS sehingga dia segera berlari ke kantin untuk membeli air dingin. Tidak tega melihat seorang murid terus meringis kesakitan, perawat tersebut menyerahkan air dan obat penghilang rasa sakit kepada Laras. "Minum dan kamu akan baik-baik saja," katanya dengan lembut memberi penenang. Laras mengangguk, meminum obat yang diserahkan perawat dan kembali berbaring dengan posisi kaki kanannya lebih tinggi bertumpu di bantal. Dia menutup matanya untuk membuat dirinya rileks dan melupakan rasa sakit. Tak lama Rena datang dengan membawa sebotol air dingin, dia menumpahkan semua air ke baskom kecil yang ada di dalam lemari kaca UKS dan mengambil kain bersih untuk mengompres pergelangan kaki kanan Laras. Rasa dingin yang membeku membuat Laras menyentakkan kakinya ingin menghindar, namun ditahan oleh Rena. "Coba gerakan kakimu lagi dan aku akan memukulnya. Sudah tahu sakit, masih juga sok ingin melakukan smash." Laras langsung diam, menyerahkan kaki kanannya kepada Rena. Lagi pula rasa dingin yang membuatnya menggigil berangsur-angsur menyejukkan kakinya sehingga membuatnya merasa nyaman. Dia terdiam cukup lama, lalu menghela napas berat dengan kesal. "Gadis cupu itu pasti sedang bahagia sekarang, apalagi dia telah melihatku seperti ini. Menyebalkan!" Serunya frustrasi, ingin sekali mengulangi waktu dan mencegah dirinya terlihat konyol di depan musuh. Rena tertawa dingin, "Jika kamu tidak bertingkah mengesankan dalam kondisi kakimu yang buruk, maka kamu tidak akan terlihat seperti ini." "Diam kamu!" Seru Laras kesal, tidak ingin mendengar sindiran dari Rena. Lagi pula dia paling enggan mengakui bahwa dirinya salah. Setelah Rena mengompres kaki Laras dengan air dingin selama 10 sampai 15 menit, perawat segera membungkus area yang bengkak dengan perban medis elastis. Laras mengamati kakinya yang menyedihkan dengan tatapan rumit, merasa sedikit linglung tanpa alasan. "Istirahat sebentar di sini, ketika kembali ke kelas nanti, usahakan untuk tidak memberi beban kepada kaki kananmu. Kamu bantu dia ketika berjalan," kata perawat memberi instruksi. Laras dan Rena berseru mengungkapkan kepatuhan mereka. "Nah selain pisau, aku juga adalah tongkat hidupmu," cibir Rena, merasa heran pada dirinya sendiri karena bisa begitu betah berteman dengan Laras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD