Penyakit Ingin Ketemu Kevin

1152 Words
Ketika Laras kembali ke kelas, semua teman sekelasnya memberi tatapan penuh arti padanya. Dia melotot membalas tatapan setiap orang dan duduk di bangkunya dengan cemberut. "Nah, sekarang aku tidak bisa melihat Kevin. Sangat menyebalkan!" teriak Laras, dia mengeluarkan buku dari dalam lacinya dan ingin merobek dan merusak semuanya. Untung saja Rena sangat cepat tanggap dan merebut buku yang akan teraniaya dari tangan Laras. "Kamu kalau lagi marah jangan rusakin benda di sekitarmu dong." Dia meletakkan buku Laras ke atas mejanya, memastikan tidak ada yang rusak. Bukannya apa, jika Laras merusak bukunya maka yang akan menderita adalah Rena. Laras pasti akan terus mengganggunya untuk meminjam bukunya untuk mengerjakan tugas, terlebih lagi kalau ada pemeriksaan catatan. Laras mencibir, "Terus aku harus apa? Kakiku sudah begini dan sangat tidak manis untuk melihat Kevin hari ini." "Apakah kamu tidak bisa jika tidak memikirkan Kevin sehari saja?" Rena memutar matanya kesal, dia tidak habis pikir dengan Laras yang setiap waktu hanya memikirkan Kevin, Kevin, dan Kevin. Laras menjawab dengan pertanyaan lainnya sebagai balasan. "Apakah kamu bisa sehari saja tidak bernapas? Jika bisa, maka aku juga bisa sehari tidak memikirkan Kevin. Tetapi nyatanya itu mustahil!" "Apa hubungannya bernapas sama memikirkan Kevin?" tanya Rena dengan tatapan tak mengerti. "Tidak ada hubungannya tetapi memiliki kesamaan, yaitu sama-sama suatu keharusan yang tidak bisa aku tinggalkan." Laras tersenyum sinis, merasa menang karena telah membuat Rena tidak bisa berkata-kata. Tak lama, guru mata pelajaran masuk dan memulai kelas. Selama itu, Laras merasa sangat bosan dan hanya bermeditasi di tempat dengan tatapan lurus ke mejanya yang memiliki buku tertutup rapat. "Laras, maju kerjakan soal yang ada di papan!" seru bu Sintia dengan lantang. Melihat Laras tetap terdiam tanpa reaksi sedikit pun, Rena segera menyenggolnya. "Apa sih?" tanya Laras merasa terganggu. "Bu guru memanggilmu," bisiknya mengingatkan. Barulah saat itu Laras melihat ke depan, menemukan bahwa tatapan bu Sintia memang mengarah padanya. "Maju dan kerjakan soal ini," bu Sintia menunjuk ke papan tulis yang berisikan soal yang tampak rumit di mata Laras. Laras bangkit berdiri, sebelum dia maju ke depan, tangannya secara alami mengambil buku Rena tanpa jejak. Rena bahkan tidak terkejut dengan tindakan Laras, dia sudah terbiasa dengannya yang sangat menyebalkan. Maju ke depan papan tulis dengan kaki pincang, Laras melihat soal di depan matanya dengan serius seolah sedang berpikir tentang cara menjawabnya padahal dia sama sekali tidak mengerti apa-apa yang dinyatakan soal, terlebih lagi yang ditanyakan soal tersebut. Namun untungnya dia telah terbiasa melakukan hal ini karena para guru memiliki kebiasaan buruk yaitu selalu menargetkannya untuk menjawab soal-soal. Laras yakin bahwa guru-guru itu memintanya dengan berbagai soal karena ingin melihat kesalahannya, lalu menghukumnya tanpa perlu susah payah. Sayang sekali, Laras tidak semudah itu ditundukkan. Dia membuka buku Rena secara terbuka menganggap bahwa itu adalah bukunya sendiri. Yang lain juga tidak melihat Laras merebut buku Rena sehingga berpikir bahwa buku itu adalah milik Laras sendiri. Jadi setelah Laras menjawab dengan begitu lancar, beberapa merasa tidak percaya dan mulai ragu. Bahkan tatapan bu Sintia pada Laras juga penuh kecurigaan, tidak percaya Laras bisa menjawabnya dengan benar. Tetapi apa peduli Laras? Dia hanya tersenyum penuh kebanggaan membalas tatapan curiga orang lain. Lalu dengan jalan tertatih-tatih, dia kembali ke bangkunya. Karena dia memfokuskan semua beban tubuhnya ke kaki kiri, keseimbangannya kurang baik dan hampir terjatuh. Untung saja dia segera berpegangan pada meja di sampingnya sehingga mencegah dirinya terlihat konyol di depan teman sekelasnya. "Kakimu kenapa?" tanya bu Sintia, kecurigaannya pada jawaban Laras segera ditimpa oleh rasa penasarannya pada kaki Laras yang diperban. Laras melihat ke arah kakinya dan memasang ekspresi sedih yang sangat tragis. "Aku adalah gadis yang lemah lembut dan rapuh, semalam aku tidak sengaja terkilir, lalu semakin parah ketika aku memaksakan diri bermain voli melawan adik kelas untuk mengharukan nama kelas." Beberapa murid menunduk dan tersenyum serta tertawa diam-diam mendengar jawaban Laras. Bahkan bu Sintia pun tidak bisa menjaga ekspresinya tetap tegas, apalagi memarahi jawaban palsu Laras. "Kembali ke bangkumu sana," kata bu Sintia, tidak lagi memanggil Laras untuk maju ke depan. Laras menghela napas lega, mengembalikan buku Rena ke tempat semula. "Kamu memang teman terbaikku," katanya dengan santai. Rena mendengus. "Tidak, aku bukan temanmu. Aku hanyalah keadaan yang kamu sadari ketika kamu butuh dan abaikan ketika kamu tidak butuh." Laras tertawa mendengar deskripsi Rena yang begitu tragis, tetapi sebagai teman yang telah menjalani lika liku persahabatan, dia tidak mengelaknya sama sekali. Ketika bel istirahat kedua berbunyi, Laras dengan jenuh berbaring di atas mejanya. Dia ingin sekali ke kantin untuk bertemu Kevin, atau tidak, pergi ke kelas Kevin langsung. Tetapi sayangnya takdir selalu mengujinya, membuatnya semakin menjauh dan lebih menjauh dari Kevin. Takdir bahkan mempertemukan Kevin dengan Tania! "Yakin kamu di kelas saja?" tanya Rena yang duduk santai di bangkunya sembari memakan keripik. Dia memang jarang ke kantin, bahkan dalam sebulan ini dia hanya ke kantin sekali yaitu untuk membeli air dingin sebelumnya untuk mengompres kaki Laras. Itu karena perut Rena memang tidak bersahabat untuk makan di waktu jam istirahat pertama, dan dia tidak memiliki napsu makan dengan menu-menu di kantin. Jadi biasanya dia selalu menyediakan beberapa keripik kentang di tasnya setiap hari dan menghabiskan waktu istirahatnya di kelas. Laras juga tidak begitu menyukai makanan di kantin. Meski murah, tetapi rasanya tidak enak seperti kekurangan bumbu. Tetapi karena dia bisa melihat Kevin, ya kenapa dia harus peduli pada lidahnya? Laras membenturkan kepalanya di atas meja, bertahan dalam posisi tersebut. "Aku ingin ketemu Kevin," lirihnya. Dia merasa sangat depresi, hatinya gatal ingin sekali bertemu sang pujaan hati namun otaknya sadar bahwa kondisinya sekarang tidak memungkinkan. Dalam dilema yang berat, dia merasa energinya terkuras banyak dan bahkan tidak dapat lagi untuk duduk tegap. Sepertinya dia terkena penyakit parah yang hanya bisa sembuh setelah bertemu dengan Kevin. Rena tidak tahan melihat Laras yang memiliki penampilan menyedihkan seolah dunia akan berakhir. "Ya sudah, pergi sana ke Kevin." "Kamu gila?" Laras menatap Rena dengan pandangan tidak percaya. "Lihat kakiku! Aku tidak mungkin tampil seperti ini di depan Kevin, bagaimana jika Kevin menjauhiku karena ini?" katanya dengan ngeri. Rena ingin mengatakan bahwa tanpa semua itu pun Kevin telah menjauhinya, namun dia tidak tega untuk melakukan itu. "Jadi bisakah kamu tidak berpenampilan menyedihkan seperti itu?" "Tidak, aku tidak bisa." Laras dengan jujur menggelengkan kepalanya. "Aku tanpa Kevin bagaikan bulan tanpa cahaya matahari." Rena memutar matanya dan enggan untuk mengobrol dengan Laras lagi. Bahkan sampai waktu pulang sekolah pun, Laras bertekad tidak bertemu dengan Kevin. Dia berjalan tertatih-tatih dengan Rena sebagai tongkat hidupnya di sepanjang koridor. Saat keluar dari gedung, tatapan Laras langsung tertuju ke tempat parkir dan melihat Kevin sedang menyalakan mesin motornya. Namun hal yang menarik perhatiannya adalah seorang gadis yang duduk di belakang Kevin. "Dasar cewek cupu itu," geram Laras menatap kesal ke arah mereka. "Aduh, sakit!" Rena memukul tangan Laras yang mencengkram lengannya sangat kuat. "Ya jangan lampiaskannya ke aku," katanya kesal. Laras tidak memedulikan keluhan Rena, tatapannya masih dengan tajam melihat Kevin dan Tania berboncengan keluar dari tempat parkir. "Apa sih yang gadis itu lakukan sehingga Kevin tidak menghindarinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD