Rencana Lainnya

1098 Words
Laras duduk di sofa dengan pandangan cemberut menatap televisi yang menampilkan iklan. Kaki kanannya yang memiliki perban terangkat di atas meja dengan tubuhnya bersandar ke belakang. Dia tampak sangat malas, dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan tentang Kevin yang begitu dekat dengan Tania. Apa mungkin Kevin menyukai Tania? Laras segera menggelengkan kepala, menolak pertanyaan yang menyebalkan yang muncul tiba-tiba di kepalanya. Terdengar suara pintu terbuka. Gadis itu segera melirik ke samping dan menemukan kakak sepupunya masuk dengan wajah tidak ramah. "Kakimu sudah sakit kenapa kamu harus bermain voli?" tanya Randi langsung ketika dia melihat sosok Laras beserta kakinya yang masih terbungkus. Laras juga menatap kakinya, merasa kesal karena perban ini, dia tidak bisa mendekati Kevin dengan bebas. Melihat gadis itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya terdiam dengan pikirannya, Randi berjalan mendekati Laras. "Apakah sudah dikompres?" Laras mengangguk, "Tadi di sekolah sudah dikompres di UKS." "Mau aku kompres lagi?" tawar Randi dengan baik hati. Meski dia selalu direpotkan sama adiknya itu yang menimbulkan masalah dimana-mana, tetapi tak terelakkan bahwa dia lah alasan kenapa Laras begitu manja dan suka seenaknya. "Kalau terus dikompres, kakiku akan cepat sembuh?" tanya Laras dengan tatapan berbinar. "Jangan berpikir untuk mengompres kakimu selama 24 jam, kamu ingin kakimu membeku?" Randi segera menghancurkan isi pikiran absurd Laras. "Oh," Laras yang pikirannya ketahuan tidak merasa canggung, dia malah tertawa dengan acak. Randi menggelengkan kepala dan bangkit untuk mengambil kompres dingin dan membuka perban di kaki Laras dengan perlahan. "Masih sakit?" tanyanya dengan hati-hati. "Tidak," jawab Laras dengan jujur, "tetapi jika ditekan, akan sakit." Mendengar hal tersebut, gerakan tangan Randi menjadi lebih ringan untuk memastikan dia tidak menyentuh kulit Laras bahkan sedikit saja. Sembari melakukan hal tersebut, dia tidak bisa tidak memperingati gadis di depannya. "Jangan hanya memikirkan hal-hal berantakan di otakmu, kamu hanya akan terus menyakiti diri sendiri." Laras tidak setuju dengan ucapan Randi, "Jika bukan karena kakiku keseleo tadi malam, maka ini tidak akan terjadi. Aku pasti sudah memberi pelajaran pada gadis itu jika saja kakiku baik-baik saja!" "Pelajaran apa?" Gerakan Randi berhenti tiba-tiba, dia mengangkat kepalanya menatap lurus ke arah Laras dengan peringatan yang keras dalam matanya. "Ya ... maksudku mengalahkan Tania dalam permainan voli di sekolah. Aku ingin memperlihatkan bahwa aku pandai main voli untuk membuat dia tidak percaya diri." Laras dengan cepat mencari alasan untuk dirinya sendiri, jangan sampai Randi berpikir dia sangat susah diatur dan menjadi lebih ketat dalam mengawasinya. Bagaimana pun, sejak dia tinggal seorang diri, Kevin yang mengambil tanggung jawab untuk merawat dan menjaga Laras sebagai kakak. Tentu saja Randi tidak begitu saja percaya bahwa permainan voli yang berlangsung sebelumnya sangat normal dan baik-baik saja. Dia akan menegur Laras namun melihat tatapan gadis itu berkeliaran tak tentu arah seolah menghindar darinya. Karena itu, Randi hanya bisa menyerah dan memberinya pengingat yang ramah. "Jika kamu terus membuat masalah, Kevin tidak akan menyukaimu." Mata Laras melotot tajam ke arah Randi, seolah bisa mengeluarkan laser yang akan membunuh pemuda di depannya itu. "Omong kosong! Kevin akan menyukaiku dan pasti akan menyukaiku!" bantah Laras dengan penuh kepastian. Randi memutar matanya, terlalu malas untuk membantah kembali ucapan gadis itu. "Terserah kamu," gumamnya. Setelah kaki Laras kembali di perban, Randi bangkit berniat kembali ke rumahnya. Besoknya dia akan mengikuti kompetisi Fisika sehingga dia harus memanfaatkan waktu luangnya sekarang untuk belajar. "Randi!" panggil Laras, menghentikan Randi yang akan pulang. Randi menoleh ke belakang, melihat tatapan gadis itu telah berubah menjadi tatapan memelas dengan keinginan yang tersembunyi membuatnya merasa waspada. "Ada apa?" "Kamu kan teman sekelas Kevin," kata Laras dengan nada malu, "bantu aku untuk dekat dengan dia, ya?" "Tidak," jawab Randi tanpa berpikir. "Kenapa?!" Laras menjadi panik dan kesal. "Aku adikmu bukan? Kenapa kamu tidak mau membantuku?" "Kenapa kamu tidak mau menyerah saja?" Randi bertanya balik tanpa niat menjawab pertanyaan Laras. Bukannya Randi tidak ingin membantu Laras, bagaimana pun Laras adalah adik yang telah dia jaga dan pasti akan memberikan apa saja yang diinginkan gadis itu selama masih batas jangkauan Randi. Tetapi untuk mendapatkan Kevin ... Randi sama sekali meragukan hal tersebut. Dia selalu merasa bahwa Kevin tidak akan menyukai Laras dan hanya akan membuat adik kecilnya itu patah hati. Tetapi Laras selalu sangat keras kepala dengan apa yang dia inginkan. Dia merasa bahwa Randi tidak lagi memedulikannya sehingga amarahnya terkumpul menjadi kebencian. Dia berteriak dengan keras, "Jika tidak ingin mendukungku maka katakan saja! Tidak perlu mengatakan hal seperti itu untuk membuatku menyerah!" Ekspresi Laras sangat garang dengan gigi yang bergemeretak seperti binatang kecil yang telah diganggu wilayahnya, namun hal tersebut malah membuatnya sangat lucu sehingga tidak membuat Randi merasa bersalah sedikit pun. "Kamu bisa menyukai orang lain, kenapa selalu menyukai orang yang sulit didapatkan?" tanya Randi dengan heran. Lalu dia memeriksa waktu di jam dinding dan berniat untuk pergi, "Aku akan pulang, istirahat dengan baik dan jangan melakukan hal-hal yang hanya membuat kakimu bertambah parah." Laras tidak membalas kata-katanya, dia hanya terus memberi Randi tatapan sinis untuk memperlihatkan bahwa dia sedang kesal dan tidak ingin memedulikan semua ucapannya. Hal tersebut membuat Randi sedikit tidak berdaya, dia tidak bisa pergi begitu saja ketika gadis ini sedang marah. Itu karena emosi Laras sering naik turun tak terkendali. Mungkin saja ketika dia pulang, Laras yang sendiri di rumah akan membuang semua benda disekitarnya dan tanpa sengaja menyakiti dirinya sendiri lagi. Randi berpikir panjang, ingin mengatakan sesuatu tetapi merasa ragu. Hingga akhirnya dia mengalah dengan ekspresi pertentangan Laras dan memberi informasi yang diketahuinya dengan enggan. "Hari Sabtu nanti adalah ulang tahun Kevin." Laras mendengarkan dengan cermat dan akhirnya bola lampu menyala di kepala Laras dengan berbagai ide yang dia ciptakan. "Serius? Bagus! Inilah kesempatanku." Randi melihat wajah Laras telah berubah menjadi kegembiraan dan antusias, sehingga dia menggelengkan kepala dan berbalik untuk pergi. "Ya, tetapi jangan bertindak tak terkendali." Setelah meninggalkan pesan itu, dia langsung keluar dari rumah Laras. Laras tidak mengerti apa maksud dari 'bertindak tak terkendali' dari ucapan Randi. Menurutnya semua yang dia lakukan sangat terkendali, tentu saja dari otaknya. Dia langsung menelepon Rena dan memberitahunya tentang informasi tersebut. "Darimana kamu tahu?" tanya Rena dengan heran, pasalnya informasi pribadi Kevin selalu samar-samar dan tidak diketahui orang lain. Laras tersenyum penuh kemenangan, "Tentu saja dari kakakku yang tersayang!" Rena yang berada di kamarnya sedang berbaring memutar mata dengan malas, "Apakah kamu memaksa Kak Randi? Serius deh, tolong biarkan Kak Randi bebas dan biarkan dia fokus dengan sekolahnya daripada terus mengkhawatirkanmu." "Kapan aku membuatnya khawatir?" tanya Laras dengan kesal. "Silakan ke cermin dan ngaca," kata Rena. Laras saat ini sedang masuk ke dalam kamarnya, melihat cermin di depan lemari, dia melangkah mendekat dan menatap ke bayangannya yang sedang membalas tatapannya. "Sangat cantik," ucapnya dengan jujur. Rena hampir saja tersedak oleh kata-katanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD