Kecepatan yang Mencengangkan

1130 Words
Laras menyandarkan dagunya di atas meja, melihat ke depan ke arah guru yang terus menjelaskan tanpa jeda seolah dia memiliki suara yang tak terbatas. Saat ini, Laras berpikir bahwa kelas sangat lama berakhir. Bertanya-tanya, kapan tepatnya bel istirahat berbunyi? Dia tidak sabar untuk segera keluar dari kelas dan berlari ke kantin untuk bertemu dengan Kevin, sang pemilik hatinya. Namun sayang sekali, jam dinding yang diletakkan di atas papan tulis tampak ingin menguji kesabarannya. Waktu menjadi lebih lambat dan lambat, sehingga Laras hampir berpikir bahwa waktu telah berhenti. Untungnya jarum jam yang bergerak lambat memberinya sedikit kenyamanan bahwa waktu masih berjalan. Laras gelisah di tempat duduknya, menghela napas berulang kali hingga membuat Rena yang duduk di sampingnya merasa terganggu. "Kamu kenapa lagi? Beban hidupmu kayaknya tidak kelar-kelar," kata Rena, berdecak lidah sembari menatap ekspresi cemas di wajah Laras. Laras mendengus, "Istirahat lama bangat, aku mau cepat-cepat ke kantin untuk bertemu Kevin." Mendengarnya, Rena tertawa mengejek. "Ya, tunggu saja Kevin sampai monyet bertelur." "Kevin benar-benar akan ke kantin kali ini," kata Laras penuh kepastian. Kemudian dia tersenyum senang, "Aku sudah mengatakan akan makan bersamanya sebentar dan dia setuju." Rena tidak percaya perkataan Laras. Baginya, semua kata-kata Laras hanyalah bualan mimpi yang tak akan terwujud. Dia melirik ke arah gadis itu yang tersenyum bodoh untuk pemuda yang ingin menghindarinya dan merasa sangat miris. "Kenapa kamu tidak lupakan saja Kevin dan cari cowok lain? Aku rasa ada banyak cowok yang bisa menerima cewek bruntal dan tak tahu malu seperti kamu, daripada Kevin yang terus menjauh." Laras memutar matanya, "Salahkan saja hatiku yang selalu memilih yang terbaik. Bahkan jika banyak cowok yang menyukaiku, aku pasti yang akan menjauhi mereka." "Kamu sih, pilih-pilih," cibir Rena. "Seolah kamu tidak saja," balas Laras. "Sudah, jangan ganggu aku. Aku lagi sibuk," lanjutnya dengan kesal. Rena menoleh ke arah Laras, ingin melihat kesibukan apa yang sedang dilakukan gadis itu. Namun berbeda dari harapannya, Laras hanya terbengong menatap jam dinding dengan tatapan penuh harap. Benar-benar kesibukan yang tidak bermanfaat. Setelah lama menanti, akhirnya bel istirahat yang ditunggu-tunggu Laras akhirnya berbunyi. Laras spontan berdiri, tanpa menunggu salam penutup dari guru, dia dengan cepat mendahului yang lain untuk melangkah ke luar kelas. Namun sayangnya, sepertinya keadaan selalu tak mendukungnya. Sebelum dia sempat menginjakan kaki ke luar kelas, guru memanggil namanya. "Laras, kemari kamu," panggil Bu Sintia, guru mata pelajaran Biologi. Panggilan tersebut lantang dan jelas, bahkan jika Laras ingin berpura-pura tidak mendengarnya, dia tidak bisa. Jadi dengan enggan, Laras menoleh ke belakang melihat ke arah guru yang kini menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dia mengerti. "Ada apa, Bu?" Tanya Laras dengan langkah lambat menuju ke arah Bu Sintia. Bu Sintia menggelengkan kepalanya melihat siswi yang satu ini, dia mengambil sebuah kertas tak tahu darimana asalnya dan menyerahkannya kepada Laras. "Lihat jawaban kamu dalam ulangan harian minggu lalu," pintanya. Laras mengambil kertas yang ternyata adalah kertas berisi tulisan tangannya. Dengan patuh, Laras menatap ke kertas itu, melihat tanda silang merah terang di setiap jawaban dengan bingung. Melihat Laras tidak memiliki reaksi apa pun, Bu Sintia menjadi cemas. "Kamu sudah lihat?" Laras mengangguk, "Sudah, Bu." "Apakah kamu pernah buka buku sekali saja untuk menghadapi ulangan harian ini? Kenapa bisa di antara 15 soal, hanya satu jawaban yang benar?" Tanya Bu Sintia dengan marah. Laras mengamati kertas di tangannya baik-baik dan juga heran dengan dirinya yang begitu bodoh. Dia terdiam ketika mendengar pertanyaan guru, merasa menyesal karena tidak menyontek saat itu. "Sekarang kamu kembali ke bangkumu dan jawab soal ini kembali dengan benar. Jika sudah selesai, berikan padaku di kantor," kata Bu Sintia, segera mengemasi buku di atas meja dan berniat keluar. "Tapi Bu sudah istirahat," kata Laras cemas, melihat ke arah jam dinding untuk memastikan bahwa waktu istirahat belum habis. Bu Sintia menatap Laras seolah sedang memandang murid yang bermasalah, "Kamu boleh melihat buku catatan atau buku cetak. Selesaikan dulu, baru kamu bisa istirahat." Seolah tak menerima bantahan, setelah mengatakan itu, Bu Sintia berjalan dengan anggun ke luar kelas tanpa memedulikan ekspresi Laras yang telah hancur. Rena hampir saja tertawa keras ketika melihat Laras kembali ke bangkunya dengan cemberut. Untung saja dia berhasil menahan tawanya atau dia akan menyinggung singa yang sedang sensitif. "Dasar guru tak berprikemanusiaan, menghilangkan hak murid untuk istirahat." Laras mengomel sembari mencari buku catatan Biologi dan pena di laci mejanya. Laras tak pernah membawa pulang buku dan alat tulisnya. Dia dengan tenang mempercayakan itu semua ke dalam lacinya, sehingga terkadang dia menemukan sesuatu hilang, namun dia tidak begitu peduli. "Oi, buku catatanmu mana?" Laras membuka buku catatannya sendiri hanya untuk melihat bahwa selain tulisan cakar ayam satu halaman, semua lembaran buku tersebut kosong. Dia tanpa harapan hanya bisa bertanya kepada Rena. Rena mengambil buku catatannya, memberikannya kepada Laras sebagai teman yang baik. "Jangan dicoret-coret," pintanya. Laras hanya bergumam malas, lalu dengan kecepatan yang mencengangkan mulai menulis jawaban dari soal-soal yang telah dia salah jawab sebelumnya. Karena terburu-buru, Laras sadar bahwa ada beberapa jawabannya yang salah dan asal. Tetapi dia tidak peduli, dan hanya ingin mengerjakannya dengan cepat sehingga dia bisa dengan cepat juga bertemu Kevin. Bagaimana jika dia terlambat dan Kevin sudah selesai makan? Memikirkan hal tersebut, kecepatan tangan Laras bertambah ke titik hingga setiap huruf tidak bisa lagi terbaca. Setelah untuk waktu yang menegangkan, Laras akhirnya menyelesaikan misi yang diberikan guru dan segera bangkit berdiri untuk lari ke luar kelas menuju kantor guru. Rena sedikit takjub dengan kegigihan Laras, akhirnya dia tak bisa menahan diri dan tertawa dengan bahagia atas penderitaan temannya itu. Laras berlari di sepanjang koridor, mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya dan melompati dua hingga tiga tangga sekaligus dengan lincah. Setiap murid yang dilewatinya sedikit terpesona oleh tindakan Laras yang tampak seperti ninja. Mereka menatap kepergian gadis itu dan mulai bertanya-tanya apa yang dilakukannya lagi kali ini. Namun Laras tidak begitu peduli dengan pikiran para murid itu. Dia segera sampai ke kantor dengan terengah-engah dan menuju ke meja Bu Sintia untuk meletakan kertas jawabannya yang baru ke atas meja. "Bu, aku sudah selesai, aku pergi dulu." Setelah mengatakan hal tersebut, Laras segera berlarian lagi untuk tujuan lain, kali ini dia berlari ke kantin dengan gusar. Bu Sintia melihat murid itu dan menggelengkan kepala pelan, lalu dia melihat kertas jawaban yang dikirim Laras dengan tatapan kosong. Berpikir bahwa tugas yang diberikannya tampak tidak berguna dan bermanfaat. Setiap jawaban tidak bisa terbaca sehingga membuatnya tidak mampu berkata-kata. Laras sampai ke pintu kantin dan segera berhenti berlari. Dia merapikan rambutnya yang berantakan dan menyeka keringat di wajahnya dengan tisu yang selalu ada di sakunya. Tidak mau membuang waktu begitu lama, Laras akhirnya berjalan ke dalam kantin dan menemukan sosok Kevin masih ada di dalam sedang duduk tampan di sebuah meja. Senyuman Laras akhirnya berkembang, dia melangkah mendekati Kevin namun segera membeku di tempat. Di meja yang sama dengan Kevin, ada seorang gadis duduk di hadapannya. Dan gadis itu adalah Tania.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD